Perhelatan tahunan Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2018 resmi berakhir. Dimulai dari tanggal 5 sampai dengan 12 Desember 2018, FFD telah diselenggarakan dengan serangkaian agenda pemutaran film-film program, pemutaran film-film peserta kompetisi, diskusi, peluncuran program baru, lokakarya kritik film hingga pameran dan ekshibisi di dua lokasi; Taman Budaya Yogyakarta dan IFI – LIP Yogyakarta.
Malam penganugerahan dan penutupan menjadi rangkaian akhir dari gelaran FFD, yang diadakan pada Rabu (5/12) di Gedung Societet Militair Taman Budaya Yogyakarta. Acara diawali dengan kata sambutan dari Sazkia Noor Anggraini, selaku Direktur Program FFD 2018. Dalam sambutannya, Sazkia mengatakan jika selama delapan hari perhelatan FFD, 94 film telah diputar dalam 19 program. Sejak tahun 2002 hingga saat ini, FFD berusaha untuk tetap konsisten menerima film-film kompetisi.
Sambutan dilanjutkan oleh direktur IFI – LIP, Sarah Camara. “Selama 16 tahun ini, acara FFD di IFI – LIP tidak hentinya menawarkan program bermutu yang diperuntukan kepada khalayak umum dengan cara yang tematik dan beragam sehingga memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penciptaan dokumentasi,” ungkap Sarah.
Pada kesempatan ini, AsiaDoc juga turut memberikan penghargaan Akatara Award, yang disampaikan oleh Amerta Kusuma, perwakilan Forum Film Dokumenter. AsiaDoc sendiri merupakan kegiatan dari Forum Film Dokumenter, sebagai media pengembangan naskah dokumenter bagi filmmaker Asia. Dari 12 peserta, penghargaan diberikan kepada naskah film The Ant vs. the Elephant, karya Linda Nursanti, peserta asal Indonesia.
Acara inti dari malam penghargaan ini adalah pengumuman pemenang dari ketiga kategori kompetisi yang dipimpin oleh Henricus Pria Setiawan selaku Direktur Forum Film Dokumenter. Dalam kesempatan ini, Henricus menyampaikan bahwa film kompetisi merupakan ajang bagi pembuat film untuk membagikan perspektif serta pandangan kritis terhadap isu-isu di sekitar mereka. Tahun ini FFD menerima 118 film kategori panjang internasional, 100 film kategori pendek, dan 23 film kategori pelajar.
Adapun para penerima penghargaan Festival Film Dokumenter 2018, adalah sebagai berikut:
Pemenang Kategori Pelajar diraih oleh film berjudul Tarian Kehidupan (2018) karya Naira Capah dan Fauzan Syam Adiya. Alexander Matius, salah satu juri kategori pelajar menyampaikan beberapa catatan bagi finalis. Menurut juri, secara umum pilihan topik kategori pelajar cukup beragam dan menarik, namun masih memerlukan fokus, kelugasan serta perspektif yang lebih dalam. “Pemenang dipilih karena berhasil merespon isu yang dekat dengan pelajar itu sendiri dengan pengemasan yang eksploratif dan menarik. Selain memberikan gambar yang menarik dan tepat guna, filmmaker juga memperhatikan permainan suara dalam film tersebut,” ujar Alexander Matius.
Tahun ini, tidak ada pemenang dalam kategori Dokumenter Pendek. Adrian Jonathan Pasaribu, mewakili juri yang berhalangan hadir, menyampaikan beberapa catatan mengenai para peserta. “Juri menemukan adanya kesamaan cara bercerita, serta tidak cukupnya eksplorasi bahasa sinema di kelima film nominasi. Kelima film memiliki topik yang menarik namun belum bisa meyampaikan cerita secara utuh. Pembuat film harus memperhatikan eksplorasi gaya dan cara bercerita dalam proses kreatif nya. Oleh sebab itu kategori film pendek terbaik tidak diberikan pada tahun ini,” jelas Adrian. Namun juri memberikan penghargaan lainnya berupa Special Mention Jury Awards kepada film The Nameless Boy (2017) karya Diego Batara. Pertimbangan juri dalam memberikan penghargaan ini karena The Nameless Boy mencoba untuk mengeksplorasi gaya penceritaan yang berbeda, meski demikian film ini dirasa masih perlu menguatkan penyampaian isu yang dipilih.
Kategori film panjang internasional terbaik diraih oleh film asal Filipina In The Claws Of Century Wanting (2017) karya Jewel Maranan. Mewakili para juri yang berhalangan hadir, Amerta Kusuma menyampaikan catatan juri untuk pemenang film kategori panjang. “Film ini menangkap realitas dari masyarakat yang hidup dalam keberanian walau hidup terasing dari akses mata pencaharian mereka. Sisi lain dari realitas tersebut hadir melalui ambisi sutradara dan sudut pandang obsesif serta editing yang radikal,” ungkap Amerta.
Sebagai penutup, direktur FFD 2018, Ukky Satya Nugrahani menyampaikan beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam perhelatan FFD tahun ini. Yang pertama, keberadaan festival sebagai ruang dialog dan titik temu berbagai wacana dan perspektif tidak akan jadi tanpa antusiasme banyak pihak. Kedua, akan terus dilakukan evaluasi baik secara penyelenggaraan maupun organisasional dan setiap program yang diadakan tahun ini maupun selanjutnya FFD akan lebih spesifik menarget penonton agar lebih tepat sasaran.
Malam penutupan ini turut memutarkan film pemenang kategori dokumenter pelajar setelah pembacaan pemenang dilakukan. Film yang diputar adalah film dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia berjudul Tarian Kehidupan (2018) yang disutradarai oleh Naira Capah dan Fauzam Syam Adiya. Film berdurasi 17 menit ini mengisahkan tentang seorang pelajar SMP yang harus menjadikan tarian sebagai sumber penopang ekonominya.
Berikut ini adalah rekap dari pemenang kompetisi FFD 2018:
KATEGORI DOKUMENTER PELAJAR:
Tarian Kehidupan (2018) karya Naira Capah dan Fauzam Syam Adiya dari Indonesia
KATEGORI DOKUMENTER PENDEK:
Tidak ada pemenang
SPECIAL MENTION JURY AWARD UNTUK DOKUMENTER PENDEK:
The Nameless Boy (2017) karya Diego Batara dari Indonesia
KATEGORI DOKUMENTER PANJANG:
In The Claws Of Century Wanting (2017) karya Jewel Maranan dari Filipina