Kamis (29-11), Aliansi Kita Agni kembali menggelar aksi solidaritas bertajuk “Besarkan Bara Agni” di Gedung Rektorat UGM. Aksi tersebut diikuti oleh ratusan mahasiswa dan perwakilan alumni UGM. Aksi diawali dengan memukul kentung dan menyanyikan yel-yel. Aksi kemudian dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan dan ditutup dengan audiensi bersama perwakilan dari rektorat UGM.
Cornelia Natasya, juru bicara Aliansi Kita Agni, mengatakan aksi tersebut digelar untuk menuntut UGM berkomitmen menangani kekerasan seksual. Menurutnya, selama ini UGM lamban dan terkesan tidak serius dalam menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). “Kami berusaha untuk melakukan audiensi dengan pihak rektorat untuk merealisasikan tuntutan kami,” ungkapnya.
Natasya juga mengungkapkan bahwa rekomendasi dari tim investigasi yang menangani kasus tersebut hingga kini belum dilaksanakan. Selain itu, ia juga mengatakan penyintas kecewa terhadap UGM yang memutuskan membawa kasus tersebut ke ranah hukum. “Dengan membawa kasus ini ke ranah hukum, UGM terkesan ingin melepas tanggung jawabnya,” jelasnya di sela-sela aksi.
Satu jam lebih setelah aksi digelar, perwakilan dari rektorat UGM kemudian menemui massa aksi. Mereka adalah drg. Ika Dewi Ana, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, Dr. Paripurna Poerwoko Sugarda, dan perwakilan dari komite etik. Setelah dibentuk forum dengan perwakilan dari pihak rektorat, massa aksi mengungkapkan kekecewaannya atas kelambanan UGM dalam menangani kasus tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Paripurna kemudian mengungkapkan penyebab kelambanan UGM dalam proses penanganan adalah unsur kehati-hatian saat mengambil segala tindakan. Selain itu, ia juga mengungkapkan beberapa poin tuntutan tidak bisa dipenuhi karena berkaitan erat dengan hasil rekomendasi dari komite etik. “Kami tidak akan mengambil langkah yang tergesa-gesa karena kami menunggu rekomendasi dari komite etik,” tegasnya.
Pernyataan tersebut kemudian disambut dengan bunyi kentung, peluit, dan teriakan dari massa aksi. Mereka terus mendesak pihak rektorat untuk memenuhi tuntutan yang diajukan. Setelah melalui perdebatan panjang, pihak rektorat akhirnya bersedia untuk memenuhi dua dari sepuluh butir tuntutan yang diajukan.
Pertama, UGM bersedia memberikan pernyataan publik melalui konferensi pers yang mengakui bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun, terlebih pemerkosaan merupakan pelanggaran berat. Kedua, UGM bersedia memberikan pernyataan publik melalui konferensi pers yang berisi permintaan maaf dan pengakuan bahwa Rektorat UGM terlambat, tidak transparan, dan cenderung menyalahkan penyintas. Meski sempat menolak untuk menandatangani dua butir tuntutan utama, Paripurna kemudian bersedia untuk membubuhkan tanda tangan dan menyelenggarakan konferensi pers. “Konferensi pers akan dilaksanakan pada 6 Desember atau selambat-lambatnya 7 Desember 2018,” tegasnya.
Delapan hari selanjutnya, pihak UGM menyelenggarakan konferensi pers pada Jumat (07-12), untuk merespon kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni. Dari yang mulanya dijadwalkan pukul 10.30 WIB, konferensi pers baru dimulai pada pukul 11.05 WIB di Ruang Sidang Rektorat Lantai 2. Prof. Ir. Panut Mulyono selaku Rektor UGM mengakui telah terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa KKN (HS) kepada mahasiswi KKN lainnya Agni. Kasus kekerasan seksual tersebut terjadi saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2017 di Kabupaten Seram Barat, Provinsi Maluku.
“UGM mengakui telah terjadinya kelambanan dalam merespon peristiwa ini dan UGM meminta maaf atas kelambanan yang terjadi,” tuturnya. Panut mengatakan kelambanan tersebut berdampak serius secara psikologis, finansial dan akademik terhadap terduga penyintas kasus kekerasan seksual. Selain itu, pihak universitas menyadari bahwa budaya menyalahkan korban (victim blaming) masih ada dalam merespon kasus tersebut.
Masalah sanksi, UGM bersikukuh untuk tetap menunggu rekomendasi yang sedang dibuat oleh tim komite etik selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2018. Pihak UGM juga membuat Tim Penyusun Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual untuk memenuhi urusan administratif dalam kasus-kasus yang serupa.
Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Ketua Tim Penyusun Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seksual, berjanji akan membangun crisis center yang akan menangani berbagai kasus pelecehan seksual. Crisis center tersebut diharapkan dapat melaksanakan program-program atau langkah-langkah preventif dan kuratif. Selain membuat peraturan pencegahan dan penanggulangan berbasis gender, pihak UGM akan membuat kebijakan pengarusutamaan gender. Ini menandakan semua kebijakan UGM harus berbasis keadilan gender. Tim tersebut juga akan menganjurkan setiap fakultas untuk menerapkan kuliah gender sebagai mata kuliah wajib.
Dalam konferensi pers tersebut juga terlihat beberapa mahasiswa dari Aliansi Kita Agni. Mereka membentangkan beberapa poster yang berisi “Saya Agni Saya Mengawasi”. Natasya mengungkapkan bahwa kegiatan menggelar poster tersebut bertujuan mengingatkan rektorat bahwa kasus ini belum selesai. Ia juga mengatakan Aliansi Kita Agni masih menunggu jawaban dari 10 poin tuntutan.
Menurut Natasya, aksi gelar poster tersebut menunjukkan bahwa banyak penyintas yang turut hadir untuk mengawal komitmen UGM dalam memproses kasus pelecehan seksual di kampus. Natasya juga menyampaikan kekecewaannya dengan konferensi pers yang digelar UGM. Menurutnya, UGM belum memenuhi dua tuntutan yang dijanjikan sebelumnya. “Lagi-lagi kasus Agni ditolak diakui sebagai kasus kekerasan seksual yang masuk dalam klasifikasi pelanggaran berat,” pungkasnya.