
©Fitria/BAL
“Namaku Da Roka,” jawab anjing hitam bermata sendu itu saat kutanya nama, membuat tubuhku tersentak, sebab namanya serupa namaku: Da Roka.
Bukan hanya nama, aroma dan kondisi tubuhnya pun seolah menjadi cermin keadaanku sendiri. Busuk dan penuh luka.
“Setelah puas menyiksaku, majikan baruku membuangku,” ujar anjing itu lemah. Sepertinya ia betul-betul tersiksa.
Dengan sisa tenaga, aku bopong Da Roka (bukan membopong diriku sendiri—Da Roka Si Anjing maksudku) seperti seorang ibu mengangkat bayinya dari tempat tidur. Aku mengelus lehernya dan memeriksa keadaan hewan kurus itu lebih jeli. Bekas luka di perut, kaki, dan kepalanya masih terlihat segar. Bercak-bercak darah mengering membentuk semacam titik-titik pulau di badan Da Roka.
Aku berjalan di pinggiran kota tanpa memastikan arah tujuan. Sebab, sebagai seorang pelarian, aku tak pernah merencanakan suatu tempat tertentu untuk menjadi rumah baru. Biarkan langkah kaki dan angin membawaku ke mana pun keduanya kehendaki, pikirku. Dan kini aku tidak sendiri. Sewaktu melewati tempat penimbunan sampah, kudengar gonggongan pelan bernada mengibakan, saat menengok kutemukan Da Roka yang berjalan serupa orang tua mendekati ajal, berbicara sebentar dengannya, dan hanya butuh beberapa waktu untuk aku dan Da Roka berteman. Setidaknya—untuk sementara ini—teman adalah istilah paling tepat untuk menerangkan hubunganku dan Da Roka. Da Roka dan Da Roka. Kedengarannya aneh, tapi demikianlah.
Sambil aku meneruskan langkah dengan kaki terpincang-pincang, Da Roka yang berada dalam gendonganku kembali bersuara. Ia bersuara dalam bahasanya sendiri—bahasa anjing—tapi aku bisa mengerti kandungan kata-katanya.
“Kau belum memperkenalkan perihal dirimu, anak muda, bahkan sekadar nama pun tidak.”
“Namaku Da Roka,” jawabku seraya mengelus bulu-bulu kasar Da Roka. Kurasa dahulu bulu-bulu itu halus bagai sutra. Waktu dan kehidupanlah yang menyirnakan kehalusan tersebut. Aku terkenang pada diriku dan berpikir bahwa kadang-kadang makhluk di semesta tak ubahnya kerupuk; mulanya halus dan basah, kemudian dikeringkan di bawah matahari, dicemplungkan ke dalam wajan penuh minyak panas, untuk berakhir di usus dan kloset-kloset.
Kami—aku dan Da Roka—berada di tepi jalan raya. Kendaraan-kendaraan silih melintas tak henti-henti, gedung-gedung menjulang dan tampak angkuh di seberang, orang-orang berjalan di trotoar. Orang-orang berjalan di trotoar dengan terburu-buru, tak terkecuali di tepi jalan yang kami lintasi. Namun, gerakan jalan mereka berubah sewaktu berpapasan dengan kami. Ada yang lekas menutup hidung seraya memandangi kami seperti menahan muntah, ada yang mempercepat langkah dan bahkan berlari, dan ada yang berbalik arah lantas menjauh pergi. Aku tak tahu jelas mengapa, tapi aku tahu kami memang berbeda.
“Kau bilang majikan barumu menyiksamu?”
“Seperti itulah. Majikan baruku tidak lain adalah anak dari majikanku sebelumnya. Dulu, majikanku—yaitu ayah dan ibu majikan baruku—sangat baik padaku. Mereka merawat dan menyayangiku sepenuh hati, seperti merawat anak sendiri. Tapi, anak lelakinya itu berbeda. Sejak kecil ia memang sudah punya bakat membuat hidupku menderita. Tak terhitung berapa kali ia menyiksaku sewaktu ayah dan ibunya sedang tidak ada di rumah. Menyiramku dengan air mendidih, memukulkan tongkat baseball ke perutku, mencampur makananku dengan bubuk deterjen, dan masih banyak lagi. Jadi, aku tak terlalu heran, ketika ia terus-menerus menyiksaku kemudian mencampakkanku setelah orangtuanya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan tunggal pada suatu hari yang kelam.” Mata Da Roka laksana kaca berembun saat mengucapkan kalimat pamungkas. “Tapi, kurasa menjadi makhluk terusir seperti saat ini jauh lebih baik ketimbang berada di rumah mewah bersama manusia yang menganggapku samsak alih-alih makhluk hidup.”
Kami masih terus berjalan. Nuansa horison meremang, kelelawar-kelelawar berlintasan di udara dalam pola acak. Meski deru kendaraan, klakson, peluit polisi lalu lintas, dan gema musik di kejauhan menciciki telinga, aku merasa dunia yang sedang kutempati begitu sunyi. Seakan-akan diriku terpisah dari bumi yang kupijaki. Aku bagai ruh yang telah terpisah dari jasad. Terpisah dari ruang dan waktu yang kini melingkungiku. Tampaknya perumpamaanku berlebihan, tapi paling tidak demikianlah yang kurasakan.
“Lalu, bagaimana dengan dirimu? Kau belum menceritakan apa-apa selain namamu yang menyerupai namaku. Soal kemiripan nama kita, aku tak begitu terkejut. Nasib kita tampaknya tak jauh berbeda, jadi kesamaan nama sama sekali bukan hal aneh.”
“Keadaaanku sama dengan dirimu, Da Roka.”
“Tapi kau manusia dan aku anjing. Itu jelas berbeda,” volume suaranya memang pelan, tapi ketegasan suaranya tidak menggambarkan bahwa ia adalah anjing sekarat yang barangkali umurnya tak lebih panjang dari umur sehelai daun pohon pinggir jalan di hari berhujan dan berbadai.
“Aku mempunyai orang tua, ayah dan ibu. Seperti orang tua majikan barumu itu, orang tuaku juga sangat baik padaku. Mereka merawat dan menyayangiku sepenuh hati. Karena aku memang anak kandung mereka sendiri. Tetapi semuanya berubah pada suatu hari yang kelam…,” ujarku, jeda sejenak.
“Baiklah. Nasib dan nama kita sama. Jadi kalau kemudian caramu bercerita sama dengan caraku bercerita sama sekali bukan hal aneh.” Kendati lesu dan mengenaskan, Da Roka masih bisa mengekspresikan kejengkelan melalui kerutan kulit wajahnya.
“Ya, itu hari yang kelam. Mungkin sama kelamnya dengan hari saat sepasang majikanmu dulu tewas akibat kecelakaan. Kedua orang tuaku juga meninggal karena kecelakaan. Bahkan aku menyaksikan sendiri detik-detik kematian mereka di kursi depan mobil. Aku berada di kursi belakang mobil saat itu.”
“Tapi kau selamat?”
“Aku selamat, tapi tidak sepenuhnya selamat. Malahan aku berpikir alangkah baiknya jika waktu itu aku mati juga bersama ayah dan ibuku. Tulang-tulangku patah dan orang-orang bilang aku punya penyakit mental akibat saat kecelakaan kepalaku terbentur parah. Aku memang masih hidup, namun sebagai manusia cacat dan aku sering berpikir kondisiku tak lebih baik daripada hewan-hewan,” aku mengambil napas, udara yang kuhirup terasa lebih dingin dan beraroma kecut. Dunia sekelilingku masih bising. “Setelah orang tuaku tiada, aku tinggal bersama bibiku. Tidak seperti ayah dan ibu, bibiku kejam, mungkin sama kejamnya dengan majikan barumu. Ia gemar menganiayaku. Menyabetku dengan sabuk milik suaminya, menjorokkan kepalaku ke dinding kamar mandi, meracuni makananku, dan masih banyak lagi.”
“Kurasa kita memang benar-benar senasib.”
“Kau tidak heran kenapa aku bisa mengerti bahasamu?”
“Aku bisa mengerti bahasamu. Jadi kenapa aku harus heran ketika kau juga mengerti bahasaku,” Da Roka sedikit mengangkat kepalanya. “jadi, bibimu juga mengusirmu seperti majikan baruku mengusirku?”
“Kurang lebih seperti itulah.”
“Caramu berbicara seperti orang yang tak yakin pada ucapannya sendiri. Tapi, tak mengapa, aku juga lelah jika harus terus-menerus bertanya kepadamu.”
Kami membisu. Langkah-langkahku teramat pelan. Namun, tahu-tahu saja, kami sudah tiba di suatu sudut jalan. Sebuah sungai lebar berair keruh membentang di sisi kami. Rupanya kami berada di atas jembatan beton. Sampah-sampah memampati sungai seolah-olah sungai adalah tempat pembuangan sampah. Aku menghentikan langkahku. Selain kelelawar, aku melihat gerombolan gagak memenuhi angkasa. Bukan sebuah pemandangan lazim gagak berkitaran di langit kota yang sibuk.
“Burung-burung pembawa kabar kematian.”
Tiba-tiba Da Roka mengatakan hal itu. Masih dalam bahasa anjing. Namun gonggongannya terdengar lebih menyedihkan dibanding sudah-sudah.
“Aku jadi ingin mengungkapkan sejujurnya padamu. Tadi aku sedikit berbohong,” katanya getir.
Aku menunggu kalimat-kalimat selanjutnya yang akan keluar dari moncongnya.
“Sebetulnya aku bukan makhluk terbuang atau terusir. Majikan baruku sama sekali tidak membuangku. Ia memang doyan menyiksaku, tapi ia tak pernah menyuruhku pergi. Aku melarikan diri.”
“Melarikan diri?” dadaku mendadak bergetar.
“Ya, aku melarikan diri. Tepatnya, setelah pagi tadi aku memasuki kamar majikan baruku, ia masih tertidur pulas, dalam gerak cepat aku melompat ke atas tempat tidurnya lalu menerkam lehernya kuat-kuat. Lalu ia mati dan aku pergi.”
Mulutku tercekat. Mataku memelotot. Gerombolan gagak berkaok-kaok.
“Tampaknya, kau juga seperti menyembunyikan sesuatu,” tanya Da Roka menyelidik.
Aku menjongkok, lalu menurunkan Da Roka dari gendongan. Meletakkannya di alas beton yang sejuk.
Kemudian aku menceritakan semuanya pada anjing itu. Bahwa bibiku sebenarnya tak mengusirku. Bahwa pagi tadi, aku memasuki kamar bibiku, ia masih tertidur pulas sementara suaminya sudah berangkat kerja, dalam gerak cepat aku melompat ke atas tempat tidurnya lalu menikam lehernya kuat-kuat dengan pisau dapur. Lalu ia mati dan aku pergi.
Setelah mengisahkan itu, aku melempar tubuh bopok Da Roka ke sungai. Aku menyaksikan tubuhnya tercebur bersama sampah-sampah. Tubuhnya tak muncul kembali ke permukaan. Lenyap ditelan air sungai yang keruh. Di langit, gagak-gagak semakin ramai dan nyanyian mereka semakin nyaring. (*)
Bekasi, Juli 2018
Erwin Setia
Lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini bermukim di Bekasi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Minggu Pagi, Solopos, dan Medan Pos. Bisa dihubungi melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.