Senin (13-11), Magister Administrasi Publik (MAP) Corner-Klub Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) mengadakan diskusi mingguan dengan judul âKekerasan Seksual dan Lonceng Kematian Dunia Akademikâ. Diskusi dilaksanakan di lobi MAP Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan menghadirkan Dr. Erwan Agus Purwanto, M. Si. yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Linda Sudiono yang merupakan Dosen Universitas Atma Jaya, dan Cornelia Natasya yang merupakan humas Aliansi âKita AGNIâ. Diskusi dilaksanakan dalam rangka membahas adanya kekerasan seksual dalam kampus serta implikasinya pada universitas sebagai institusi pembelajaran.
Dalam diskusi ini dibahas kembali mengenai kendala-kendala yang dihadapi dalam usaha membawa keadilan bagi penyintas. Erwan menekankan bahwa halangan terbesar yang dihadapi dalam usaha menjatuhkan sanksi pada pelaku adalah bias di birokrasi UGM itu sendiri. Ditegaskan olehnya bahwa Fisipol sudah berusaha untuk menjatuhkan sanksi dalam rekomendasi tim penyelidik pada pelaku. âKalau saya yang punya kuasa, pelaku pasti akan saya DO (Drop Out –red),â tegasnya. Ia melanjutkan bahwa pada akhirnya tetap diperlukan dukungan dari dosen-dosen lain yang menjadi bagian dari birokrasi UGM.
Linda juga berpendapat demikian. Ia mengatakan bahwa kejadian ini bukanlah yang pertama kali dan bukan akan jadi yang terakhir, mengingat ia juga pernah diundang untuk membicarakan topik kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi Fisipol. Menurutnya, sudah saatnya UGM mengambil inisiatif untuk mencegah pelecehan seksual di kampus. Linda merasa bahwa sanksi seperti penundaan wisuda sangatlah mengecilkan masalah yang terjadi. âMenurut undang-undang, kekerasan seksual itu adalah tindakan kriminal, sehingga tidak bisa kalau sanksi yang diterapkan hanya penundaan wisuda,â ungkapnya.
Linda mengungkapkan lebih lanjut bahwa masyarakat secara umum masih kurang memanusiakan manusia. âPernyataan yang membandingkan kejadian Agni seperti kucing dengan ikan itu sangat bahaya,â ujarnya. Ia juga mengatakan, penguasa pun memiliki andil dalam mengikis kemanusiaan perempuan. Percaya bahwa kemampuan reproduksi wanita memegang kunci peradaban membuat penguasa berusaha mengontrol tubuh wanita. Menurut Linda, bentuk kontrol tersebut ada dalam upaya membuat seks sebagai hal yang tabu bagi wanita. Hal itu menyebabkan terjadinya dehumanisasi perempuan dalam bentuk penggambaran wanita sebagai makhluk submisif di media. Keberadaan hal tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang normal bagi masyarakat dan bahkan ditegakkan secara religius.
Menurut Linda, adanya persepsi tersebut terhadap perempuan membuat proses meraih keadilan menjadi sulit. âPenyintas ditanyakan hal seperti, âApa kamu menikmatinya?â atau, âKamu pakai baju apa saat itu?â, jelas menyudutkan penyintas,â sebutnya. Ia menambahkan bahwa proses peradilan kekerasan seksual di Indonesia itu sangat memberatkan penyintas.
Sentimen ini disetujui oleh Natasya. Natasya menyatakan bahwa segala bentuk dukungan bagi Agni sangatlah diapresiasi, tetapi dia juga meminta agar dukungan dilakukan dengan hati-hati karena di mata masyarakat, penyintas itu serbasalah. Ia pun mengingatkan kembali bahwa sangat penting untuk memastikan dukungan yang diberi tidak kembali melukai penyintas. Natasya menegaskan, segala gerakan yang hendak dilakukan oleh relawan Aliansi âKita AGNIâ akan meminta persetujuan penyintas itu sendiri, termasuk kemungkinan mengambil jalur hukum. âSegalanya kita kembalikan lagi pada Agni,â tutupnya.
3 komentar
kalo kasus seperti ini masih di anggap ringan, apakah mungkin pemerkosaan dan pelecehan seksual hal biasa di lingkungan UGM, atau di kampus lain.
Kemungkinan seperti itu pastilah ada. Semoga kasus Agni ini membuka mata lebih banyak orang bahwa paradigma terhadap perempuan dan seksualitasnya perlu direvisi.
menganalogikan kucing dengan ikan asin itu sama aja merendahkan laki², cuman laki² goblok yg bisa bilang kaya gitu, dipikirnya laki² itu cuma bertindak berdasarkan naluri macem binatang?! TOLOL!!!