Sabtu (27-10) Tim Balairung berkesempatan menikmati ketenangan dalam indahnya senja di Laguna Depok. Terlihat gubuk sederhana berdiri menawarkan sajian kuliner yang menggiurkan. Tercium pula harum pandan dengan air yang terseduh bersama jahe, serai, laos dan rempah lainnya. Suasana Laguna yang damai seakan menghilangkan hiruk pikuknya kota Yogyakarta. Untuk sampai di Laguna yang terletak di Depok, Kretek, Bantul ini, pengunjung cukup menempuh perjalanan sekitar enam puluh menit dari Yogyakarta. “Pemandangannya bagus, mbak. Kalau tidak mendung, matahari terlihat terbenam di tengah lautan sana, kadang juga banyak burung yang terbang di sekitarnya,” ujar Padma Dyah selaku pengelola kuliner Pasar Laguna.
Padma bercerita bahwa kawasan yang dulunya bekas kebun buah naga ini kini dikelola oleh masyarakat setempat bersama Generasi Pesona Indonesia (GenPi) dan Dinas Pariwisata (Dinpar) Bantul. GenPi yang dikelola anak-anak muda melek teknologi mencoba mengemas pasar laguna menjadi objek wisata yang ciamik. “Konsep itu dikombinasikan dengan dengan prinsip ekoturisme dan zero straw untuk menjaga lingkungan”, tutur Galang Al Tumus salah satu anggota Genpi sekaligus lurah Pasar Laguna.
Berangkat dari ide Arya Nugrahadi dari Kementerian Pariwisata, Laguna menjadi salah satu dari seratus destinasi wisata digital yang sedang dicanangkan oleh Kementerian Pariwisata. Galang menjelaskan munculnya konsep wisata digital ini berkaitan erat dengan bergesernya tujuan wisata dari refreshing menjadi kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial dalam hal ini menawarkan berbagai spot foto yang instagramable. Selain itu, banyaknya pengguna media sosial memunculkan ide untuk memopulerkan destinasi wisata digital agar dapat lebih dikenal oleh masyarakat.
Suharyanto yang akrab dipanggil Yanto, ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), menjelaskan bahwa Pasar Laguna sering digunakan untuk mengadakan acara gathering dan semacamnya oleh komunitas-komunitas lokal. Salah satunya adalah kegiatan senam massal pada 13 Oktober 2018 lalu. “Ada sekitar ribuan orang yang dateng ke acara senam itu” ujarnya.
Meski sering diadakan acara komunitas, tetapi ada yang berbeda dari wajah Pasar Laguna sebagai destinasi wisata. Bagi pengunjung yang baru menginjakkan kaki di sana, mungkin tak menemukan di mana Pasar Laguna berada. Lahan parkir belum tahu ada di mana, tempat ibadah seadanya, kamar mandi pun seadanya, bahkan sulit membedakan pengunjung dan warga biasa. “Pemandangannya bagus banget, tapi untuk kamar mandi dan untuk tempat ibadahnya masih kurang dan perlu dibenahi,” saran Alhan Izzaturohman, salah satu pengunjung Pasar Laguna.
Akan tetapi, rasa kecewa terhadap fasilitas yang serba kekurangan berusaha dijawab oleh pihak Laguna dengan berbagai keindahan alam dan kuliner yang ditawarkan. Pengunjung yang datang akan disuguhkan makanan khas Pasar Laguna yaitu bubur cemplung. “Selain buburnya yang khas, ada juga nanti ingkung wiwit, pecel gendar, tahu guling, dan aneka olahan bebek,” tutur Muhammad Naufal Firdausyan, pengurus bagian administrasi dari GenPi.
Yanto menuturkan, proses pengembangan Pasar Laguna yang dimulai sejak bulan April tahun 2018 melibatkan beberapa pihak. Dalam hal pendanaan kegiatannya dikelola Kementerian Pariwisata, sedangkan dalam infrastruktur permanen dibantu Dinpar Bantul. Di sisi lain, GenPi berperan sebagai penghubung antara kementerian dengan warga. Sedangkan, dalam kelompok masyarakat terdapat komunitas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan masyarakat sekitar yang sukarela membantu proses pengembangan Pasar Laguna.
Meski secara struktural Pasar Laguna dikelola banyak pihak, pada kenyataannya pengelolaan tidak berjalan lancar. Pasalnya, terdapat perbedaan pengelolaan antara bagian atas dan bagian bawah. Sementara ini, masyarakat hanya mengelola bagian bawah yaitu kuliner, perahu, dan semacamnya. Sedangkan, Dinpar sedang mengelola bagian atas dengan membangun infrastruktur pendukung seperti tempat parkir, mushola, toilet, dan bangunan permanen lainnya. “Setelah bagian atas rampung, barulah pengelola siap untuk mengenalkan Pasar Laguna ke khalayak umum,” tutur Yanto.
Meskipun belum siap secara menyeluruh, masyarakat tetap ingin mempertahankan Pasar Laguna. Itu terbukti dari ungkapan Padma yang menceritakan kondisi Pasar Laguna beberapa tahun lalu. “Dulu ini (Pasar Laguna) cantik, amfiteaternya melingkar, di tengah ada sungai, dan tengah-tengahnya lagi ada panggung,” tutur Padma dengan raut wajah bangga.
Sembari mengingat sesuatu hal yang ingin dilupakan, Padma menceritakan peristiwa pada akhir tahun 2017 yaitu banjir cempaka. Banjir itu menenggelamkan semua yang ada, yaitu amfiteater dan gubuk di sekitar Laguna. Selain itu juga menyebabkan seisi gubuk tenggelam kecuali atapnya yang terlihat di permukaan air. Namun, seakan tak ingin kehilangan, warga sendirilah yang langsung membenahi kondisinya dengan bergotong royong.
Padma juga menjelaskan bahwa Pasar Laguna masih bergantung terhadap acara yang diselenggarakan. Terkadang, dengan modal jualan sekitar lima ratus ribu, dirinya bisa mendapat defisit hingga tiga ratus ribu. Bahkan, pulang dengan tangan hampa. “Kalau ada acara ya laris, tapi kalau tidak ada acara bisa rugi,” ungkapnya.
Saat matahari semakin bergeser, sembari tetap melayani pembeli, Padma melanjutkan cerita tentang Pasar Laguna. Meski jualannya tidak mendapat keuntungan yang jelas, dia tetap akan berjualan. Yang dia inginkan ialah pengunjung datang dan dapat menikmati kuliner sebagai ciri khas dari Pasar Laguna itu sendiri. “Lebih baik rugi daripada ada satu pengunjung yang kecewa dan memutuskan tidak pernah kembali,” ujarnya tanpa ragu meski harus rugi.
Padma menjelaskan bahwa alasan yang membuatnya bertahan selama ini adalah karena niat. Lalu juga karena cita-cita warga mengembangkan Pasar Laguna agar bisa membantu masyarakat sekitar, “Nantinya, jika Pasar Laguna maju kan bisa menghidupkan masyarakat sekitar Laguna,” tutup Padma sore itu.