“Anggaran yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan publik, tidak lain adalah permainan untuk elite-elite politik,” ucap Tenti Novari, peneliti Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), saat membuka diskusi MAP Corner-Klub pada Selasa (6/11). Mengusung tema “Korupsi, Bancakan Anggaran, dan Kartel Politik”, diskusi ini berakar dari kasus korupsi Dana Alokasi Khusus untuk Kabupaten Kebumen oleh Wakil Ketua DPR, Taufik Kurniawan. Diskusi dilangsungkan di lobi Magister Administrasi Publik Fisipol UGM unit II. Selain Tenti, hadir Galih dari IDEA dan Emanuel Gobay dari LBH Yogyakarta sebagai pembicara utama.
Galih melanjutkan diskusi dengan pernyataan bahwa korupsi pada saat ini cenderung tersebar di pemerintah kota. Dalam instansi pemerintahan, korupsi ditemukan dalam bentuk presensi honorarium untuk laporan pertanggungjawaban. Pegawai organisasi pemerintahan daerah diminta menandatangani presensi honorer agar serapan dana organisasi lebih tinggi. Di sektor kepolisian, seorang polisi yang merupakan teman pembicara menyarankannya untuk mengambil SIM dengan pembayaran di jumlah tertentu, atau biasa disebut SIM tembak. Di partai politik, suap dengan amplop tak jarang ditemukan di antara calon pejabat, terutama pada pemilu 2014.
Tak hanya kasus korupsi skala kecil seperti di atas, Emanuel membahas dua kasus besar menyangkut penyalahgunaan kewenangan dan anggaran di Yogyakarta. Kasus pertama adalah pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Pembangunan bandara tersebut merupakan proyek strategis nasional yang secara legal diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Warga yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan dipaksa untuk menyerahkan lahan mereka demi kelancaran proyek. Hamengkubuwono X, Gubernur DIY, mengabaikan keluhan warga yang tak ingin lahannya diambil dan memberikan izin untuk melangsungkan proyek di lahan warga.
Kasus serupa terulang kembali pada pertengahan 2017. Di Pasar Kembang sekitar kawasan Malioboro, lebih dari 20 pedagang dengan surat dagang resmi digusur paksa tanpa kompensasi apapun. Sehari sebelum penggusuran, diberlakukan peraturan wali kota baru yang menyatakan penghapusan Pasar Kembang dari daftar pasar tradisional resmi. Emanuel menganggap hal ini “di luar logika hukum” karena kurangnya sosialisasi ke pedagang Pasar Kembang tentang peraturan tersebut.
Aktivis LBH tersebut melanjutkan dengan kritik terhadap struktur politik di DIY dengan Hamengkubuwono X sebagai gubernur. Akibat posisi Gubernur ini, semua pejabat di bawahnya tidak berani menegakkan keadilan hukum. Kelemahan itu juga menjadi alasan mereka dipekerjakan di instansi pemerintahan. Struktur pemerintahan Yogyakarta ini, menurutnya, membentuk sejenis kartel politik-ekonomi yang patut dipertanyakan.
Kurangnya perhatian publik atas kasus-kasus tersebut ikut membantu berlangsungnya penyalahgunaan kekuasaan. Di ranah akademisi, jumlah diskusi terkait topik di atas masih terhitung lemah. Hal ini dianggap mengecewakan, terutama karena posisi Yogyakarta sebagai daerah akademisi. Mahasiswa diharapkan dapat memanfaatkan hak berpendapatnya untuk mengambil inisiasi demi kesejahteraan masyarakat. “Karena kelompok kepentingan akan selalu ada, terutama di setting politik-ekonomi,” ujar Tenti.