Minggu (4/11), Keluarga Pelajar dan Mahasiswa indramayu (KAPMI) Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan aksi respon cepat atas ketidakadilan yang diderita tiga petani Indramayu. Aksi tersebut dimulai dengan penyebaran selebaran kertas kepada masyarakat dan dilanjutkan dengan orasi dan pembacaan puisi oleh partisipan aksi. Aksi juga diramaikan dengan poster dan spanduk yang berisi pembelaan terhadap petani. Aksi yang berlangsung di titik 0 KM Yogyakarta itu bermaksud untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 di Mekarsari, Indramayu yang menimbulkan banyak kontroversi.
Anton Wijaya, Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan bahwa kasus tersebut bermula dari proyek pembangunan PLTU 2 di Indramayu yang cacat secara prosedural dan berdampak buruk terhadap ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat. Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa PLTU 1 yang telah ada sejak 2016 dengan kapasitas 2 x 330 MW dan 1 cerobong asap saja dalam satu bulan dapat menghasilkan lebih dari 1 ton abu. Masyarakat mengkhawatirkan dampak yang lebih buruk jika PLTU 2 dengan kapasitas 2 x 1000 MW dan 6 cerobong asap terealisasikan. Selain itu, pembangunan PLTU ini mengalihfungsikan lahan pertanian yang selama ini menjadi mata pencaharian masyarakat setempat. “Akan banyak petani kehilangan mata pencaharian utama dan sulitnya mendapat pekerjaan pengganti,” tutur Anton.
Ahmad Rifai, Mahasiswa Agroteknologi Universitas Mercubuana, selaku koordinator lapangan menyatakan bahwa sudah banyak langkah yang telah ditempuh masyarakat Mekarsari. “Masyarakat sudah mengajukan banding ke Pengadilan Bandung, tanggal 4 Desember 2017 dan mendapat kemenangan,” jelasnya. Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Indramayu (JATAYU) merayakan kemenangannya dengan memasang bendera-bendera merah putih di perbatasan pemukiman warga dan proyek. Kemenangan ini ternyata menjadi awal yang buruk bagi Sukma, Sawin, dan Nanto. Selang dua hari, masyarakat mendapati bendera-bendera beserta tongkatnya tidak berada ditempat. Hari berikutnya, ternyata bendera terpasang kembali tetapi dengan kondisi terbalik. Mereka yang tidak lain adalah penanggung jawab, dituduh telah memasang bendera-bendera dengan kondisi terbalik. Pada dini hari 24 Desember 2017, dengan kasar dan tidak etis, aparat menangkap Sukma, Sawin, dan Nanto dan menjadikan mereka sebagai tahanan jalan.
Dalam perkembangannya, pihak pengembang yaitu PT. PLN Persero memaksakan pembangunan walaupun putusan pengadilan mengharuskan menunggu surat izin dari provinsi. Di tambah lagi, 24 September 2018 lalu, Sukma, Sawin, dan Nanto dikejutkan dengan surat panggilan sidang kedua oleh Pengadilan Bandung. Berbagai masalah yang ada semakin membuat KAPMI, baik yang di Yogyakarta maupun daerah lainnya untuk membawa kasus ke ranah publik. “Kami menargetkan untuk membawa isu lokal ini dalam skala nasional, agar dapat memberikan sumbangan terhadap penyelesaian kasus,” tutur Rifai.
Hifdzun Nafsi, Pelajar SMKN 2 Yogyakarta, mengungkapkan ketertarikannya terhadap aksi tersebut. “Dengan adanya aksi ini, tentu akan dapat membantu petani dalam mendapatkan keadilan,” tuturnya. Selain itu, dia juga mengaku adanya aksi tersebut cukup berpengaruh meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar. Sebagai perwakilan KAPMI DIY, Anton dan Rifai mengungkapkan harapan besar terhadap keadilan atas 3 petani Indramayu yang dikriminalisasi, maupun kejelasan terhadap proyek PLTU 2 yang sampai saat ini terus berjalan. “Memerangi hal-hal diskriminatif, mendukung orang-orang yang terdiskriminasi, dan menumbuhkan kesadaran individulah yang perlu kita bangun bersama,” tutup mereka.