
©Balairung
Balairung UGM tengah diguyur hujan ketika massa aksi datang pada Senin (26/11). Massa terdiri dari perwakilan lembaga eksekutif di tiap fakultas dan relawan Kita Agni untuk melakukan deklarasi sebagai langkah menyuarakan kegelisahan persoalan kekerasan seksual. Aksi diawali dengan orasi oleh Obed Kresna selaku pemimpin deklarasi bersama keluarga besar UGM yang terdiri dari perwakilan mahasiswa. “Sudah saatnya semua mewujudkan UGM yang bebas dari pelecehan dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun,” ungkapnya. Deklarasi ini merupakan rangkaian acara diskusi serentak yang diadakan oleh keluarga besar UGM di setiap gugus dan fakultas, yaitu gugus Soshum, gugus Saintek, gugus Agro, gugus Medika, dan gugus Sekolah Vokasi.
Obed menjelaskan bahwa langkah-langkah yang benar dalam mengusut akar permasalahan akan mengantarkan UGM menjadi promotor universitas-universitas lain dalam menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang serupa.  Aksi ini penting diadakan karena kekerasan seksual adalah pelanggaran berat. “Pelecehan seksual telah terjadi di berbagai tempat, salah satunya institusi pendidikan yang saat ini tengah menghadapi sorotan dari media dan masyarakat,” tuturnya
Obed juga menambahkan bahwa penanganan masalah pelecehan dan kekerasan seksual sudah sepatutnya mendapat dukungan dari semua civitas akademik. “Hal ini tentu membutuhkan kontribusi dari banyak pihak, akademisi kampus, dosen, karyawan, dan juga mahasiswa.”
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu peserta aksi, Sholahuddin Alayubi selaku perwakilan dari Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB bahwa aksi yang telah dilakukan menandakan kepedulian mahasiswa terhadap kasus ini. Ia sepakat bahwa pelecehan seksual adalah hal yang tidak bisa ditolerir lagi di dalam institusi pendidikan yang mengedepankan etika dan nalar.
Deklarasi diakhiri dengan pembacaan sembilan butir pernyataan tuntutan kepada UGM. Pertama, mendorong UGM untuk memberikan pernyataan publik yang mengakui bahwa tindak pelanggaran dan pelecehan seksual dalam bentuk apapun, terlebih pemerkosaan adalah pelanggaran berat. Kedua, mengeluarkan civitas akademik Gadjah Mada yang menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan tersebut. Ketiga, memberikan teguran keras dan sanksi bagi civitas akademika UGM yang menyudutkan penyintas pelecehan seksual. Keempat, memenuhi hak-hak penyintas kekerasan seksual, termasuk hak mendapatkan informasi terkini dan transparansi mengenai proses penanganan kasus serta pendampingan psikososial, layanan kesehatan, bantuan hukum, dan penggantian kerugian materiil. Kelima, menyediakan ruang aman bagi penyintas pelecehan dan kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Keenam, menjunjung tinggi dan memastikan terpenuhinya perspektif dan privasi penyintas serta asas transparan dan akuntabilitas dalam segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual di UGM. Ketujuh, meninjau ulang dan tata kelola di tingkat departemen, fakultas, maupun universitas yang masih memberi peluang bagi terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual. Kedelapan, merancang dan memberlakukan peraturan yang mengikat di tingkat departemen, fakultas, universitas serta penanganan dan penindakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang melibatkan civitas akademik Universitas Gadjah Mada. Kesembilan, menyedikan pendidikan anti pelecehan dan anti kekerasan seksual yang berpihak pada penyintas bagi mahasiswa baru atau Pelatihan Pembelajaran Sukses Mahasiswa Baru dan pembekalan Kuliah Kerja Nyata di tingkat departemen, fakultas, dan universitas.
Selma Theovany, selaku humas relawan Kita Agni mengatakan deklarasi tersebut sebagai pernyataan sikap sekaligus dorongan bagi pihak UGM untuk berbenah dengan memenuhi sembilan tuntutan. “Apabila dilihat dari sembilan tuntutan, beberapa poin menegaskan bahwa UGM perlu melakukan perbaikan, perancangan, dan pemberlakuan tata kelola di semua lapisan kampus tentang pencegahan dan penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual,”ungkapnya.
Selma juga mengatakan bahwa pihak Agni belum memproses permasalahan ini ke ranah hukum dan masih menuntut pemecahan masalah dari UGM karena bisa saja dalam ranah hukum kebenaran tidak berpihak pada penyintas. “Dengan aksi ini kami berupaya untuk memperjuangkan hak-hak penyintas, diskusi dan deklarasi tersebut juga bertujuan untuk menuntut UGM agar membuat regulasi yang jelas mengenai penanganan pelecehan dan kekerasan seksual,” tambahnya setelah deklarasi berakhir.