
©Istimewa
Ada yang berbeda dari wajah kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) seminggu terakhir ini. Pernak-pernik dekorasi dan rumah adat Sumba terlihat di sisi Timur dan Utara gedung Soegondo FIB UGM. Semenjak tanggal 23 Oktober 2018, FIB UGM menyelenggarakan Festival Sumba yang diinisiasi oleh Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA). Salah satu rangkaian acara dalam Festival Sumba ialah diskusi bertajuk “Konservasi Harimau Sumatera di Tambling Wildlife Nature Conservation” yang dilaksanakan pada hari Jum’at, 26 Oktober 2018 pukul 14.00 WIB sampai 16.00 WIB di lantai tujuh Gedung Soetopo FIB UGM.
Diskusi diawali oleh Aloysius Gonzaga Dimas Bintarta yang memberikan gambaran umum tentang keberadaan harimau di dunia dan di Indonesia. Menurutnya, konservasi harimau penting dilakukan agar tidak terjadi kepunahan lagi seperti yang terjadi pada harimau jawa. Materi diskusi kemudian disampaikan oleh Adi Bayu Firmansyah selaku pembicara dari Tambling Wild Nature Conservation (TWC). Dalam presentasinya yang berjudul “Saving Biodiversity from Extinction”, Bayu menceritakan keadaan alam serta satwa-satwa langka, termasuk harimau sumatera, di wilayah TWC. Bayu mengatakan bahwa harimau sumatera adalah satwa liar yang sangat susah ditemui karena populasinya yang terus menurun. Hanya ada tiga subspesies harimau di Indonesia dari total enam subspesies harimau di seluruh dunia. Salah satunya Panthera tigris sumatrae atau harimau sumatera.
Berdasarkan data yang dikutip Bayu, jumlah harimau sumatera ada 372 ekor pada tahun 2006 di seluruh pulau Sumatera. Keberadaan konservasi satwa di Tambling meningkatkan populasi harimau sumatera sejak 2012. TWC mendata jumlah harimau sumatera di kawasannya pada tahun 2012 sebanyak 24 ekor. Namun, sekarang jumlahnya meningkat menjadi 37 ekor. Sehingga dapat dikatakan bahwa TWC secara signifikan menaikkan jumlah populasi harimau. Bayu mengatakan bahwa TWC berusaha meningkatkan populasi harimau sumatera menjadi dua kali lipat dari sekarang.
Dalam presentasinya, Bayu mengatakan bahwa ada kekhawatiran masyarakat sekitar kawasan TWC mengenai program pelepasan harimau ke alam liar oleh TWC. Menurutnya, konflik antara harimau sumatera maupun satwa liar lainnya dengan manusia disebabkan karena kerusakan habitat. “Tidak ada mangsa dan tempat hidup bagi satwa-satwa liar tersebut”, katanya. Bayu menyatakan bahwa dalam kondisi normal dan ekosistem yang baik, jika harimau bertemu manusia atau sebaliknya, maka mereka akan saling menghindari. “Harimau ketemu orang adalah sebuah kerugian”, tuturnya. Konflik antara manusia dan harimau tidak akan terjadi jika manusia mau turut menjaga keseimbangan ekosistem dan tidak merusak habitat satwa-satwa liar. Ia menjelaskan, “Saat ini banyak penggunaan lahan untuk pemukiman dan perkebunan yang menyebabkan satwa-satwa liar kehilangan habitatnya.”
Salah satu peserta yang antusias dengan acara ini adalah seorang mahasiswa Antropologi UGM, Reza Altama. Ketertarikannya dengan diskusi ini karena dia sendiri berasal dari daerah Lampung. Sebagai orang Lampung, dia sering mendengar isu mengenai konflik antara manusia dengan harimau di daerah ladang. Reza mengaku, ”Walau sebagai orang Lampung, saya baru mengetahui keberadaan Tambling ini, yang biasa saya tahu hanya tempat konservasi seperti Way Kambas.” Baginya, harimau bukan hanya sebagai binatang buas namun harimau juga memiliki sisi yang dihormati oleh masyarakat lokal. Ia berharap ke depannya acara seperti ini bisa kembali diadakan karena pembahasannya sangat menarik, namun dengan durasi yang lebih lama.
Melalui diskusi ini, Bayu berharap agar para Lembaga Sosial Masyarakat, swasta, atau pemerintah kehutanan berkomitmen pada konservasi untuk melestarikan satwa liar dan taman nasional. Menurutnya, diskusi di hadapan para mahasiswa dilakukan karena mahasiswa dinilai sebagai “agent of change” yang punya suara untuk menyuarakan kritik atas kebijakan-kebijakan nasional yang tidak relevan dengan kondisi lapangan. Diskusi ini juga dapat menambah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai esensi boleh atau tidaknya satwa liar untuk diburu. Selain itu, Bayu berharap diskusi ini bisa mengajak para pendengar, termasuk mahasiswa, untuk senantiasa menjaga ekosistem. Menurutnya, bukan hanya harimau sumatera saja yang statusnya terancam punah, beberapa hewan lain seperti badak, lutung, dan berang-berang juga terancam keberlangsungan hidupnya. Senada dengan Bayu, salah seorang panitia penyelenggara Festival Sumba divisi workshop, Okta, mengatakan bahwa diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada audiens, khususnya mahasiswa, mengenai pentingnya konservasi harimau sumatera.
Penulis: Nadia Intan dan Huffazh Abdalla (Magang)
Penyunting: Jalu TathitÂ
1 komentar
Bussiness as Usual seolah angan2 yah… “Ada harimau dibalik Batu” wkwkwk
https://nasional.kompas.com/read/2008/07/27/18551561/takut.harimau.500.warga.minta.pindah