International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mengadakan pertemuan tahunan di Bali sejak 8 Oktober lalu. Pertemuan ini dihadiri oleh Gubernur Bank Sentral dan Menteri Keuangan dari 189 negara anggota serta sektor privat, akademisi, organisasi non-pemerintahan dan media. Menanggapi pertemuan tersebut, Aliansi Gerakan Rakyat Menentang IMF-Bank Dunia mengadakan diskusi yang membahas pengaruh keanggotaan Indonesia dalam badan keuangan internasional tersebut. Diskusi bertajuk “New World Order” ini dilaksanakan pada Jumat (12-10) sore di Lapangan Rumput Gelanggang Mahasiswa UGM.
Ditilik dari sejarahnya, Indonesia telah resmi menjadi anggota IMF-bank dunia sejak 1953. Berdasarkan penuturan Nurwahid Satrio, pembicara dari Public Defender LBH Yogyakarta, keanggotaan Indonesia sendiri disahkan melalui UU No 5 Tahun 1954 tentang Keanggotaan RI dari IMF dan IBRD. Namun, pada 1966, Indonesia menarik keanggotaannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1966. “Indonesia menarik keanggotaannya karena pada saat itu dianggap tidak membantu menyelesaikan masalah,” ujar Nurwahid.
Tidak lama kemudian, di tahun yang sama, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1966. Undang-Undang tersebut membuat Indonesia kembali menjadi anggota IMF. Kebijakan ini membuat Indonesia terjebak dalam skema pengetatan subsidi, privatisasi BUMN, dan liberalisasi perekonomian. Menurut Nurwahid, Indonesia harus menuruti perintah dari IMF dalam menetapkan kebijakan ekonominya. “Dikte dari IMF membuat kedaulatan Indonesia dipertanyakan,” tutur Nurwahid.
Nurwahid menerangkan, Indonesia sulit menentukan kebijakan ekonominya karena terikat dengan kebijakan yang ditetapkan oleh IMF. Kebijakan IMF membuat Indonesia menekan biaya belanja negara seminimal mungkin. “Kebijakan yang dikeluarkan IMF bahkan membuat kesehatan dan pendidikan di Indonesia tidak lagi terjangkau oleh rakyat,” ungkap Nurwahid.
Nurwahid menambahkan bahwa kebijakan IMF mengenai penekanan belanja negara diwujudkan dengan pemotongan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan ini kemudian digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Jalan keluar yang ditentukan IMF adalah kebijakan liberalisasi pendidikan. Universitas kini harus mencari sendiri dana dari sponsor atau penelitian dosen. “Jika masih tidak menutupi, sasarannya akan diarahkan ke mahasiswa dengan menaikkan uang kuliah,” ucap Nurwahid.
Permasalahan serupa juga diserukan oleh Zafitra Emirald, anggota Forum Mahasiswa Advokasi UGM. Menurut Emir, bentuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) merupakan akibat kebijakan Kemitraan Pemerintah Swasta yang ditekankan oleh IMF. Universitas yang menjadi PTN-BH membutuhkan banyak dana lantaran harus membiayai diri sendiri. Salah satu upaya UGM mengumpulkan uang yaitu dengan menargetkan mahasiswa. Universitas kemudian menaikkan uang kuliah dengan menambahkan golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga golongan VIII. “UKT golongan VIII muncul karena universitas menginginkan cara cepat untuk menutup kekurangan dana,” ujar Emir.
Tidak hanya mengenai kebijakan pendidikan yang merugikan, kebijakan IMF juga menimbulkan konflik agraria. Momo, dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria, menyatakan proyek pembangunan dari IMF sering kali menggusur tanah milik warga. Tanah yang tadinya digunakan untuk pertanian atau perkebunan dialihkan menjadi lahan usaha swasta. “Seperti bagaimana Suku Marind di Merauke menjadi kekurangan gizi karena hutan tempat mereka meramu diambil alih oleh investor asing,” kata Momo ketika memberi contoh bagaimana pembangunan menimbulkan konflik agraria.
Selain menimbulkan konflik, Nurwahid menambahkan bahwa kebijakan pembangunan pemerintah tidak tepat sasaran. Penentuan kebijakan yang tidak tepat sasaran dari IMF ini didasari oleh sejarah pembentukannya. Munculnya badan keuangan ini ditujukan untuk memutar kembali kekayaan-kekayaan dari negara maju ke negara berkembang. Pemutaran uang ini berupa hutang, investasi, atau hibah. “Uang-uang ini tidak boleh menumpuk di suatu tempat, makanya ‘dibuang’ ke negara-negara berkembang seperti Indonesia,” kata Nurwahid.
Momo menjelaskan bahwa keputusan yang diambil IMF tidaklah demokratis. Keputusan yang diterbitkan IMF menggunakan pemilihan yang setiap negara suaranya ditentukan oleh kuota. Kuota ini didasarkan dari seberapa besar sumbangan yang negara berikan. Negara-negara dengan hak suara yang besar tersebut menekankan pada pasar terbuka atau pinjaman modal. “Pembangunan yang berasal dari pinjaman ini membuat hutang negara semakin besar,” ungkap Momo.
Penulis: Henny Ayu
Penyunting: Muhammad Respati