Aduh, celaka! Tiba-tiba ada tikus hitam besar lewat di tengah acara selamatan seribu hari meninggalnya bapak saya. Di hadapan bapak-bapak yang sedang duduk melingkar di ruang tamu rumah saya, si tikus berlari secepatnya. Sempat ia menengok ke kiri-kanan semacam permisi, kemudian lari lagi. Doa khusyuk yang dipimpin Mbah Sadak mendadak terpotong. Bapak-bapak yang lain pun juga berhenti ketenangannya. Sebagian malah ada yang refleks berdiri saking terkejutnya. Ada pertanda apa ini?
Rupa-rupanya cerita kemunculan si tikus di rumah saya tidak hanya berhenti sampai di situ. Kemungkinan seluruh istri para bapak yang hadir dalam selamatan mendapat cerita dari suami mereka. Hal ini saya ketahui setelah salah seorang teman istri saya bertanya kepada istri saya, Sumarni, tentang kejadian itu.
“Mbak Marni, apa benar kemarin ada tikus lewat waktu selamatan? Hati-hati ya, Mbak,” kata istri saya menirukan ucapan temannya.
Tak ada yang lebih menyebalkan dari hal yang sebenarnya biasa dan bisa masuk akal, tetapi dikait-kaitkan dengan pertanda supranatural. Setelah kejadian itu, banyak orang menduga-duga kejadian aneh akan menimpa saya dan keluarga. Mulai dari ramalan susah rezeki, keturunan tidak waras, sampai dugaan bahwa bapak saya tidak diterima di alam kubur. Padahal, kejadian si tikus itu bisa dicerna dengan akal sehat, jika mau.
Memang kampung kami ini terkenal banyak tikus. Setidaknya lima tahun belakangan ini. Yang aneh adalah pada tahun-tahun sebelumnya, tikus-tikus hampir tidak pernah kelihatan di sini. Saya pun heran. Sebab apa yang menjadikan tikus-tikus akhirnya berkembang biak di sini?
Kemunculan tikus-tikus itu terjadi sebulan setelah saya pindah ke sini. Awalnya saya adalah masyarakat kota yang bekerja di perusahaan besar. Semakin lama, saya dan Marni merasa kehidupan di kota sudah tidak sehat. Bukan karena masalah polusi udara atau banjir, melainkan lingkungan masyarakat yang kami tinggali sudah terkuak busuknya. Di depan kami, orang bisa saja berkata manis-manja. Akan tetapi, di belakang kami, orang-orang bagai binatang yang rakus bangkai. Ditambah lagi persaingan di dalam lingkungan perusahaan. Jatuh-menjatuhkan itu sudah biasa. Contohnya, pernah saya tiba-tiba dimarahi bos saya karena berkas yang saya urus tidak sampai ke mejanya. Belakangan saya tahu, Warta, orang yang bertugas mengecek berkas saya sebelum diserahkan ke meja si bos, sengaja menyembunyikannya. Saya dulu tidak curiga karena Warta sudah saya anggap sebagai sahabat sendiri. Tapi pada ujungnya saya tahu dia juga binatang. Itulah alasan kami memutuskan untuk pindah agak menjauh dari kota. Mencari ketenangan, mencari yang sebenar-benarnya rumah.
Masyarakat di Sambisari—nama desa ini—menerima kedatangan kami dengan sangat baik. Bahkan, saat menurunkan barang-barang pindahan dari truk, para tetangga membantu sekuatnya. Anak-anak mereka disuruhnya mengangkuti perabotan-perabotan kecil ke dalam rumah baru kami. Kesan pertama itulah yang saya pegang sebagai keyakinan bahwa saya dan Marni akan hidup tenang di sini. Kami tahu bahwa meninggalkan perusahaan besar akan menyebabkan pemasukan kami menurun. Akan tetapi, kami telah bertekad bulat untuk merasakan hidup yang sesungguhnya hidup. Kami telah belajar menjadi sederhana. Pemasukan bisa dicari dengan cara apa saja. Marni, yang memang pandai memasak, bisa membuka warung makan di depan rumah. Sementara itu, saya yang sebenarnya punya latar belakang sarjana pertanian, bisa membeli sepetak-dua petak sawah dan mengolahnya.
Kami mulai menata hidup baru. Di desa kecil ini semua terasa sederhana. Sederhana, biasa saja; tak ada yang perlu dibesar-besarkan, juga tak ada yang perlu disembunyikan. Tetangga adalah saudara terdekat. Cerita apapun yang menjadi keluh kesah kami akan kami ceritakan kepada tetangga. Begitu pula sebaliknya. Tak pernah ada prasangka.
Begitu cepatnya kami beradaptasi, sampai-sampai orang dari RT jauh pun mengenal kami. Hampir tiap malam ruang tamu kami tidak pernah sepi. Mas Marwan, Mas Darmin, dan Mas Sukir biasanya datang ke rumah sekadar untuk berbincang-bincang dan minum kopi. Pernah sesekali membawa istri dan anak mereka. Mas Marwan yang paling sering. Saya pun sempat curiga kalau Mas Marwan ini sebenarnya datang ke rumah hanya untuk melihat istri saya yang memang cantik luar biasa. Tapi, saya jernihkan kepala saya kembali. Saya tidak mau berprasangka.
Tak ada hal buruk, sampai kira-kira sebulan kemudian kejadian itu menggemparkan warga. Tikus-tikus muncul di kampung kami secara tiba-tiba. Orang-orang merasa risih. Saya juga curiga, kampung setenang ini mendadak dibuat gelisah oleh kehadiran tikus-tikus. Ada apa?
Bisik lewat bisik. Saya semakin jelas mendengar bisik-bisik warga. Kemunculan tikus di desa ini ternyata dikaitkan dengan kedatangan kami. Entah apa alasannya dan dari mulut mana asumsi itu bermula. Yang jelas kami merasakan ada perubahan dalam hubungan kami dengan para tetangga. Teman-teman saya yang biasanya berkunjung ke rumah, kini tidak pernah lagi datang. Kalau di jalan bertemu dan biasanya mengobrol, sekarang hanya lewat saja, syukur-syukur disapa.
Beruntunglah orang-orang mau datang ketika selamatan seribu harinya bapak saya. Mungkin ada celetuk empati di hati mereka. Mungkin juga karena mereka ingin menghargai masakan-masakan yang sudah dibuat untuk selamatan. Maklum, selamatan semacam ini dananya tidak kecil. Bisa dilihat dari berapa banyak daging ayam yang kami pesan. Kami memang tidak memasak ayam sendiri. Tapi, untuk masakan lain, kami masak sendiri dengan dibantu tetangga-tetangga yang mau membantu kami, setelah diajak Marni.
Sayang sekali. Tak saya duga sebelumnya. Kemunculan tikus di tengah-tengah acara selamatan itu telah membikin kami dicurigai lagi sebagai orang pembawa sial di desa ini. Ditambah juga ramalan-ramalan dari mulut yang tidak bertanggung jawab.
Saya dan Marni sudah tak kuat lagi menanggung masalah ini. Saya beranikan untuk bertanya ke Mas Muji, tetangga saya yang tak pernah berburuk sangka kepada saya dan Marni. Saya datang ke rumahnya selepas magrib. Saya datang bersama Marni dengan membawa beras dan gula. Selain untuk melancarkan pertemuan kami, beras dan gula itu wujud kasihan kami kepada keadaan ekonomi Mas Muji. Dilihat dari rumahnya saja, sudah bisa ditebak bagaimana susahnya hidup Mas Muji dan keluarga. Mas Muji hanya petani kecil. Ia punya sawah di selatan desa. Letaknya dekat sungai yang menjadi batas antara Desa Sambisari dan Desa Sukoasri. Nasibnya semakin tak menentu ketika ada wacana pembangunan jalan tol. Sawah Mas Muji termasuk yang akan dilewati tol itu.
“Terima kasih, ya, Mas Arif dan Mbak Marni. Tumben-tumben datang ke sini berdua,” kata Mas Muji malu-malu.
“Ya, namanya juga tetangga, Mas. Kami ini senang bisa kunjung-kunjung. Tidak merepotkan, ‘kan?”
“Oh, tidak, Mas. Santai saja. Ini juga kebetulan sedang senggang. Jadi bisa main sama anak. Pas anak saya tidur, Mas Arif dan Mbak Marni ke sini.”
“Memangnya Mbak Winda ke mana, Mas? Dari dua minggu lalu saya tidak melihat Mbak Winda. Apa karena memang saya yang kurang acuh?”
Air muka Mas Muji terlihat lesu ketika istri saya menanyakan kabar istrinya. Mas Muji kemudian bilang sambil menatap ke suatu arah, “Winda itu sudah saya larang, tapi dia nekat. Saya bujuk-bujuk dia. ‘Apa tidak kasihan sama Amir?’ saya tanya. Bocah sekecil itu tentu masih butuh diasuh ibunya. Tapi dia tetap mau pergi. Dia bilang, dia mau ke Hongkong, jadi pembantu. Kata temannya, gaji di sana sepuluh juta. Nanti mau dikirimi tiap bulan, katanya. Saya, ya, sebenarnya tidak rela. Sudahlah di sini saja. Hidup susah tidak apa-apa, yang penting kumpul. Apalagi ada Amir, anak pertama. Saya juga takut Winda kenapa-kenapa di sana. Kan sekarang banyak kasus pembantu dibunuh, diperkosa, diapa-apakan sama majikannya. Ya, saya cuma bisa berdoa. Semoga selamat dan lancar di sana.”
Hati kami merasa tersentuh. Niat kami untuk bertanya hal lain terpaksa kami tunda dulu. Tidak enak rasanya mengadakan pembicaraan serius tentang hal lain di tengah suasana seperti ini.
“Barangkali Mbak Winda punya pikiran lain, Mas. Mungkin dia juga tidak tega buat meninggalkan Mas Muji dan Amir,” Marni coba menenangkan. “Kalau nanti Mas Muji sedang repot, biar saya saja yang momong Amir. Hitung-hitung latihan kalau saya punya anak nanti,” lanjut Marni.
“Terima kasih, Mbak Marni. Amir pasti senang bisa main sama Mbak. Terima kasih, ya, Mas, Mbak. Jujur saja, baru Mas dan Mbak saja yang peduli sama saya. Tetangga lain malah berpikir yang tidak-tidak soal kepergian Winda. Dikiranya saya sama Winda ini punya masalah, terus Winda minggat. Padahal tidak begitu. Saya juga pernah dengar, ada tetangga yang mengira kalau Amir ini bukan anak saya, tapi anak Winda dengan orang lain sehingga saya marah dan mengusir Winda. Padahal tidak begitu. Kan yang lebih tahu dari orang lain soal cerita saya, ya, saya sendiri. Orang-orang sini memang suka bikin cerita sendiri.”
“Termasuk soal saya dan Marni, Mas?”
Mas Muji seketika diam. Mungkin tidak disangkanya saya akan bertanya begitu. Saya juga tidak mengira kalau mulut saya berani menanyakan itu. Tapi, apa boleh buat. Sudah telanjur diucapkan. Saya juga perhatikan Marni. Saya dilihatnya dalam-dalam.
“Sepertinya begitu, Mas. Orang-orang banyak yang bikin cerita begitu. Tapi saya rasa sebenarnya cuma kebetulan saja. Kebetulan kejadian soal tikus itu terjadi setelah kedatangan Mas Arif dan Mbak Marni. Ya, kebetulan saja waktunya. Saya sendiri tidak menduga yang aneh-aneh terhadap Mas dan Mbak. Malah justru… Ya, mungkin itu.”
“Malah justru apa, Mas?” tanya saya penasaran.
“Mas dan Mbak belum tahu soal ini, ya? Baiklah, saya ceritakan biar agak jelas. Jadi, dua bulan sebelum kedatangan Mas dan Mbak, Desa Sambisari mengadakan pemilihan kepala desa. Ada dua calon yang bersaing: Pak Mustaad—yang sekarang jadi kepala desa—dan Pak Khoiri, kepala desa yang lama. Pak Mustaad ini cuma petani biasa, lulusan SMP, tapi sangat dekat dengan warga. Hubungannya baik. Saya hampir-hampir tidak menemukan celanya. Nah, kalau Pak Khoiri ini, juga dulunya baik.”
“Dulunya baik?” tanya istri saya dengan nada setengah berbisik dan memajukan wajahnya.
“Sebelum jadi kepala desa, Pak Khoiri terkenal baiknya. Mas dan Mbak tahu tanah siapa yang sekarang di atasnya dibangun masjid desa? Itu tanahnya. Maka dari itu, tidak ada yang ragu waktu dia mencalonkan jadi kepala desa. Hampir menang telak dia. Tapi, sesudah jadi kepala desa, sifatnya berubah. Pak Khoiri mudah stres. Kalau dibercandai sedikit, dia sering marah. Kata orang-orang, lagi-lagi cerita orang, dia ada main dengan wanita lain. Asumsi orang-orang ini berkembang setelah dia diceraikan istrinya. Kebetulan juga si istrinyalah yang punya harta banyak, harta warisan orang tuanya. Pak Khoiri itu sejak awal memang orang dari golongan tidak mampu, sama seperti saya. Hanya tanah itu saja harta berharganya. Jadi, setelah ditinggal istrinya, beban Pak Khoiri bertambah.
Belakangan saya tahu kalau cerita Pak Khoiri ada main sama wanita lain itu benar. Wanita ini tiba-tiba datang. Kata orang-orang, lagi-lagi cerita orang, wanita ini sengaja ‘dikirim’ oleh pesaing Pak Khoiri di pemilihan kepala desa periode yang dulu. Ya, intinya Pak Khoiri dijebak.”
“Lantas, apa hubungannya dengan Pak Mustaad?”
“Begini, Mas, Mbak. Pak Khoiri, sejak hidupnya berubah jadi kacau, dia suka balas dendam. Tiap ada orang yang punya masalah dengan dia, orang yang punya masalah itu tahu-tahu hidupnya makin susah saja. Ada yang sawahnya dibakar, ada yang ternaknya mati. Macam-macam. Tapi tidak ada yang tahu tersangkanya siapa. Yang pasti, semua orang yang seperti itu, pasti habis ada masalah dengan Pak Khoiri. Nah, Pak Mustaad kan habis menang, habis mengalahkan Pak Khoiri. Apa yang membuatnya sulit buat dijadikan objek dendam? Saya rasa kejadian tikus ini ada hubungannya dengan itu. Mungkin Pak Khoiri berniat buat mencelakakan Pak Mustaad, tapi akhirnya salah sasaran ke Mas dan Mbak. Maka dari itu, saya bilang prasangka-prasangka yang Mas dan Mbak dapat dari tetangga-tetangga itu hanya kebetulan. Bukan salah Mas dan Mbak. Tapi orang-orang terburu-buru bikin cerita.”
“Terus, kalau soal tikus di acara selamatan seribu hari orang tua saya itu bagaimana?”
“Cuma kebetulan, Mas. Cuma kebetulan. Seekor semut pun bisa lewat di tengah-tengah selamatan. Hanya saja karena ukurannya kecil, jadi tidak diperhatikan. Sama seperti nasib ‘orang kecil’. Tidak diperhatikan.”
Sekarang mulai teranglah rasa penasaran saya selama ini. Ternyata benar, memang ada sebab lain dalam kejadian tikus ini. Saya lihat istri saya juga menampakkan wajah leganya. Kami lama-lama semakin merasa benar-benar tenang. Saya rasa, saya tidak perlu lagi merasa kaku ketika bertemu dengan orang lain. Memang bukan salah saya.
Tak terasa sudah larut malam. Saya lihat juga Mas Muji mulai mengantuk. Amir juga terdengar mengigau. Ia sepertinya mencari bapaknya. Saya kemudian mengajak istri saya untuk pamit dari rumah Mas Muji.
Jarak antara rumah saya dengan Mas Muji memang tidak jauh. Paling hanya seratus meter. Dalam jarak yang cukup pendek itu, di tengah-tengah antara rumah saya dan Mas Muji, saya dikagetkan oleh suara sapaan-pelan “Mas” dari seseorang. Saya merinding pada awalnya. Istri saya juga. Ketika saya tengok ke belakang, saya melihat Mas Maryono berjalan pelan-pelan ke arah saya sambil sesekali melihat ke arah rumah Mas Muji.
“Mas, habis dari rumah Mas Muji, ya?” kata Mas Maryono setengah berbisik.
“Ya, Mas. Kenapa?”
“Hati-hati.”
“Hati-hati kenapa, Mas? Orang sebaik itu tidak perlu dicurigai,” kata saya tenang.
“Mas dan Mbak belum tahu, ya?”
“Apa, Mas?”
“Jangan menilai orang terlalu cepat.”
“Tapi dia benar baik, Mas. Jadi apa yang mesti saya khawatirkan?”
“Sini, Mas,” kata Mas Maryono menyuruh saya dan istri saya mendekat. “Apa Mas dan Mbak tidak tahu kalau Mas Muji dulu pernah…” tangan kanannya memberi isyarat.
“Gila?” saya terkejut.
“Ya, Mas. Dan, apa Mas Arif pernah dengar soal wanitanya Pak Khoiri? Dia pelakunya!”
Saya terkejut bukan main. Apa ucapan Mas Maryono ini bisa dipercaya? Seorang Mas Muji? Saya dan istri saya seketika merasa pusing. Kami memilih undur diri dari Mas Maryono dengan alasan mengantuk. Sungguh semua ini tidak masuk akal.
Indonesia Universitas Indonesia. Beberapa karya yang telah dihasilkan:
Inkonfeso (kumpulan puisi, 2015), Valensi (novel, 2016), dan
Reminisensi (kumpulan puisi, 2017). Biasanya menulis di
harritsrizqi.blogspot.com