Sore sedang cantik-cantiknya melenggang sewaktu ia datang. Setelah sekian tahun menghilang ia muncul di beranda rumahku secara tiba-tiba. Perutnya membuncit. Cambang tipisnya dibiarkan tumbuh. Seringainya masih sama. Bertemu kawan lama biasanya menyenangkan. Tapi ia bukanlah tamu yang aku harapkan untuk bereuni. Kopi yang sedari tadi kureguk mendadak getir.
“Apa kabar Pak Joen?! Waduh sudah berapa tahun tak ketemu kita ya, tujuh tahun ada?!” ujarnya penuh ledakan intonasi.
Gayanya masih seperti dulu. Penuh vitalitas. Mantan macan kampus yang paling disegani kalau sudah berorasi. Lelaki dengan segudang jargon. Volume suaranya bisa mendidih kalau sudah protes. Tapi jangan ditanya kalau di depan gadis. Bisa-bisa rautnya memerah masuk cangkang seperti bekicot.
“Guntur?! Yah, tujuh tahun kira-kira. Kemana saja selama ini. Mari.”
“Pak Joen masih segini saja. Awet muda. Pasti sering olahraga. Bagus itu. Seumuran kita memang harus rutin jaga kondisi. Hampir kepala lima kan?! Kawan-kawan sudah banyak yang bolak-balik rumah sakit, Pak. Darah tinggi lah, diabet, stroke, macem-macem. Tiap ketemu yang dibicarakan obat-obatan,” ujarnya renyah. Pandangannya berputaran sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepala.
Aku bisa menduga isi pikirannya. Badan tipis, singletan, rumah sepetak tipe 36. Kontras dengan penampilannya sekarang yang licin dan flamboyan. Basa-basi awet muda hanya cara lain menutupi simbol kemakmuran seorang lelaki. Ya, semakin tambun seorang lelaki semakin terlihat sukses hidupnya. Tapi itulah seni berbicara. Sedikit geli sebetulnya mendengar ia memanggilku dengan sebutan ‘Pak’. Sebagai tamu yang lama tak jumpa, ia sangat berusaha menghibur tuan rumah. Apalagi setelah kejadian lalu sebelum ia menghilang.
“Masih ngopi? Kebetulan tetanggaku kasih oleh-oleh dari Papua.”
“Masih kuat. Boleh kalau tak merepotkan, terima kasih”
Cangkir pekat itu kububuhkan sedikit gula. Seharusnya pahit saja. Aku masih ingat ritual lama.
“Kalau diingat-ingat, lucu ya zaman dulu. Kuliah sering titip absen buat demonstrasi. Untung ketua jurusan dulu pembina kita, yang diperjuangkan apa, yang didapat apa. Tak ada yang berubah. Reformasi hanya ganti wajah saja.“ Bibirnya megap-megap meniup asap kopi yang masih panas.
“Dan kau sering memaksa saya ikut-ikutan. Padahal lagi asyik-asyik kencan. Jangan-jangan demo itu cuma pelarian saja.”
“Mungkin dulu soal status, Pak. Sekarang ini sangat prinsipil.” Sesapan dalamnya mengakhiri sebelum cangkir itu parkir di atas meja.
“Kita ini sudah cuci gudang. Aset negara dijual. Pulau dibeli. TKI disiksa. Seperti tidak punya harga diri lagi.”
“Harusnya bagaimana?”
“Lawan. Revolusi kalau perlu! Jangan mau dibuai mimpi-mimpi kosong. Dibuai puja-puji Bank Dunia, media Londo. Pasti ada udang di balik batu. Tak puas-puasnya mereka mengeruk tanah air kita yang aduhai ini. Tenaga kerja lokal tersingkir.”
Tanganku merangkak membuka kaleng biskuit yang isinya rengginang terasi, dodol, dan kerupuk ikan. Lalu mempersilakan.
“Makanya, mainlah ke DPC sesekali. Diskusi lagi.”
Tensinya menurun. Mungkin karena reaksiku yang biasa saja. Sejak dulu sebetulnya aku tak begitu tertarik dengan obrolan politik. Merasa salah jurusan sewaktu kuliah. Dari selentingan kabar kuketahui Guntur pernah mencalonkan diri di Pilkada namun gagal. Obsesinya memang di dunia fana itu. Pembicaraan serasa melompat jauh ke belakang, belasan tahun silam. Melewati ingatan rawan sekitar tujuh tahun lalu.
Saat istrinya datang ke rumahku perihal urusan rumah tangga. Tiba-tiba Guntur yang pemalu itu mau poligami. Istrinya sampai terisak-isak memohon solusi. Ia tak ingin rumah tangganya hancur di tengah jalan. Beberapa hari berikutnya giliran Guntur yang datang ke rumah. Aku sampaikan beberapa pandangan pribadi. Ia akui kekhilafannya main belakang. Namun kemudian meminta pinjaman uang. Cukup lumayan. Ia katakan inilah solusi yang bisa mengakhiri semua permasalahannya. Uang itu akan digunakan sebagai modal dan kompensasi pada perempuan simpanannya agar tak menuntut untuk dinikahi. Entah apa maksudnya. Yang pasti setelah itu ia menghilang tanpa kabar. Nomornya tak pernah tersambung. Alamatnya pindah.
“Tapi utang tetap utang Pak. Bukan sedikit yang dia pinjam,” seloroh Ayu, istriku, sesaat pulang dari senam mingguan.
“Berani juga si Guntur itu datang kemari. Kalau kemarin aku ada di rumah sudah aku omeli sampai budek!” sambungnya lagi.
“Tadinya juga kupikir ia bakal lupa. Biasanya begitu kan? Siapa yang berutang, siapa yang lupa. Setelah mengobrol ngalor-ngidul, akhirnya ia bicara. Ternyata utangnya dulu dipakai buat kawin lagi.”
“Benar-benar keterlaluan si Guntur itu. Tega-teganya dia menduakan Ami. Kenalan sekampungku, Pak. Adik kelas kamu. Masalah uang kalaupun tak kembali ya sudahlah, tapi Ami.”
“Iya maka dari itu ia merasa malu. Terus menghilang. Tentang uang aku sudah ikhlaskan. Tak masalah kan Bu? Tapi ia katakan mau tetap bayar, hanya saja lewat proyek. Karena kalau tunai ia sedang tak punya. Nominalnya bisa lebih dari utang yang ia pinjam.”
“Itu riba. Seadanya saja. Sebenarnya dengan semua yang sudah terjadi, aku ragu, Pak. Masa iya politikus tak punya uang.”
“Aku juga tak berharap benar. Katanya akan ada pembangunan asrama atlet buat PON mendatang. Tinggal beberapa hari lagi. Tidak terlalu mewah tapi cukup besar. Aku diminta bantu. Ia tahu aku biasa kerjakan rumah. Sistemnya borongan.”
“Gedung buat PON kok borongan.”
“Ada beberapa tim. Masalah sistem pengerjaan ya urusan dia, Bu.” Ayu diam saja sambil memamah gorengan pisang yang ia bawa. Jeda cukup lama memupus waktu.
“Ya sudah, gimana Bapak saja.” ujarnya melengos pergi.
“Tapi jangan sampai nanti ada pikiran ‘sudah kuduga’. Karakternya itu, Ibu enggak suka.” Sambungnya lagi dari balik pintu kamar mandi.
Tawaran yang sulit kutolak mengingat kondisi dapur saat ini. Pikiranku melayang bersama bunyi debur air terjun.
***
Gedung itu dibangun di area perbukitan. Saat ini sudah hampir setengah jalan. Dengan beberapa tukang yang aku boyong dari kampung, proses pengurukan sampai dinding telah dikerjakan sesuai jadwal. Sesekali Guntur datang meninjau jalannya proyek. Ia datang sebagai tangan kanan pihak pemerintahan daerah.
“Kadang politik itu perlu siasat. Koalisi pusat dan daerah tentu berbeda. Garis merahnya adalah peran dan kontribusi,” ujarnya santai seolah menjawab pikiranku.
“Aku tak melihat soal itu, yang penting proyek ini bisa lancar tepat waktu. Para tukang ingin upahnya dibayar tunai di minggu ini. Sudah setengah pengerjaan sesuai kontrak. Beberapa perlu kebutuhan mendesak di kampungnya.”
“Soal anggaran tergantung provinsi. Tinggal masalah administrasi saja. Tapi upah dan material tampaknya tak bisa berbarengan. Ada revisi sedikit. Salah satunya menyusul bulan depan paling cepat. Bagaimana?”
Aku merasa bertanggung jawab atas kondisi para tukang. Kuputuskan upah para pekerja yang didahulukan. Terkadang hal-hal begini akan mempengaruhi kinerja.
Setiap harinya kulihat para tukang begitu bersemangat. Selama ini selalu begitu. Seperti menebus rasa syukur. Terkadang melampaui waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat. Tak terlihat ‘mental tempe’ seperti obrolan Guntur tempo hari.
“Pak Joen mohon maaf…. Akhir-akhir ini saya kehabisan waktu. Banyak yang harus saya tangani. Ya proyek, ya kegiatan partai. Repot.”
“Eee…begini, ada sedikit masalah di keuangan provinsi. Mungkin sisa dana akan tertunda lagi beberapa pekan. Bingung saya, bisa tidak untuk material ditalangi dulu dari kas kemarin?” ucapnya agak tersendat dari arah suara ponsel. Biasanya tiga hari sekali ia datang untuk mengontrol.
Kalau tak ditalangi proyek akan tertunda. Para pekerja akan menghabiskan beban operasional lebih untuk menunggu waktu pengerjaan. Upahnya akan terpakai. Pulang dulu ke kampung rasanya terlalu riskan. Ada-ada saja.
“Jadi, masalah duit lagi?” tanya Ayu membuka percakapan malam di meja makan.
“Hanya menunggu beberapa minggu. Mudah-mudahan.”
“Mengapa harus mengorbankan hak Bapak untuk sesuatu yang belum pasti?”
“Berpikir positif saja, Bu. Ini proyek besar Bapak lagi setelah sekian lama. Kalau berhasil kan bagus buat portofolio. Kita bisa dipercaya untuk proyek lain yang lebih besar. Melebarkan sayap. Semakin terbuka rezeki, Bu. Buat Robi kuliah. Buat renovasi rumah. Buat modal properti. Gelang emas buat Ibu. Sudah lama Bapak tidak kasih Ibu hadiah”
“Aku tak pernah muluk-muluk. Ibu tak tahu bagaimana hubungan kalian semasa kuliah. Tapi Guntur itu pembual, Pak. Membohongi istrinya. Bohongi Bapak.”
“Sudah Bu. Jangan berlebihan! Belum kejadian sudah kalap,” Ayu belum tahu jika Guntur pernah menolongku sewaktu aku terpukul jatuh saat terjebak kerusuhan.
“Kok malah Ibu yang dibentak! Ibu hanya tak ingin Bapak menyesal kelak,” sembur Ayu seraya membalikkan badan. Tak meneruskan makan karena piring telah tandas.
Perkataan Ayu menautkan kegamangan.
Tanggal terus berlari. Semakin hari semakin tak ada kejelasan. Proyek sudah terbengkalai beberapa minggu. Dari upahku yang terpakai, hanya tersisa secukupnya saja untuk membeli sembako. Gudang material pun sudah kosong.
Tak berlama-lama menunggu, aku putuskan untuk mendatangi kantor DPC. Ternyata Guntur sudah tak diketahui rimbanya. Ia pun banyak dicari orang. Alamat rumahnya sekarang seperti tak berpenghuni. Tubuhku melemas. Terulang lagi hal yang tak diinginkan.
Proyek yang mangkrak jadi bahan pemberitaan. Mula-mula muncul di media lokal, kemudian membesar ke seantero negeri. Menjadi besar karena skandal ini menyebut nama tokoh-tokoh besar. Guntur hanya nama kecil yang terselip di bawah nama-nama politisi ibukota. Proyek ini pun adalah rentetan kasus yang terseret dari kasus-kasus lainnya yang lebih pelik dan rumit. Melibatkan jejaring kekuasaan yang jauh dari atap rumahku.
Tiga kali sudah Guntur menuai dusta. Ternyata kita tak pernah benar-benar mengenal dan mengetahui latar belakang riwayat seseorang. Dari hasil penelusuran pribadi dan riset kecil-kecilan, sejarah lama kemudian terkuak. Tirai kegelapan memendar. Indikasi kerusuhan bernuansa etnis yang pernah terjadi dan menghantamku di masa lalu kemungkinan lain adalah buah hasil rekayasa. Sengaja diciptakan kekacauan oleh pihak tertentu demi tujuan dan motif politik tertentu. Dan Guntur tidaklah sepolos itu. Kuingat dia pernah menyebutkan nama sebuah organisasi yang pernah ia ikuti dan belakangan kutahu ternyata berkaitan erat dengan peristiwa itu. Dia masih berutang sejumlah penjelasan. Utang sejarah.
“Sudahlah Pak, berhari-hari Ibu lihat Bapak kurang tidur. Jangan terlalu dipikirkan. Bapak tak terkait dengan semua ini. Bukan salah Bapak. Bapak tak akan dihukum atas sesuatu yang Bapak tidak ketahui.” Ayu memeluk dari balik kelambu. Aku hanya tersenyum kecut.
Insting seorang istri memang tajam.
Tak ada kalimat lagi yang terucap. Kata seperti sia-sia. Anganan memudar. Jemarinya lembut membelai segala kegundahan. Mengenal betul rona kebatinanku. Satu-persatu kancing mengelupas. Napasnya memburu. Hanya Ayu orang yang tahu segala ketololanku di planet ini. Bibirnya memagut. Tapi isi kepalaku tidak di sini. Aku terus membayangkan saat para penyidik itu datang menanyakan berbagai informasi. Sontak rumah akan menjadi ramai. Tetangga kasak-kusuk.
Tentu bukan cuma rengginang dan kopi Papua saja yang bisa aku suguhkan untuk mereka.
D. Hardi
Menulis prosa, puisi, dan esai, alumnus HI Universitas Pasundan, menetap di Bandung. Tulisan tersebar di: Nyonthong.com, Pikiran Rakyat, Pewara Dinamika, Simalaba.com, Karepe.com, Kompasiana, Qureta, Geotimes, Litera.co, dan Poetry prairie.