
©Norman/Bal
“Peter melihat kesendirian bukan sebagai sebuah tragedi, melainkan kewajaran. Ia bahkan menganggapnya sebagai berkah,” ungkap JJ Rizal dalam diskusi bertajuk Mengenang Hidup & Warisan Peter Kasenda. Acara ini diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI) dan Togamas Affandi pada Sabtu (15-09). Acara yang diselenggarakan Togamas Gejayan ini dihadiri oleh tiga pembicara, yaitu JJ Rizal dari Komunitas Bambu, Wildan Sena Utama sebagai akademisi dari UGM, dan Eko Prasetyo dari SMI.
Lebih lanjut, Rizal mengatakan bahwa hidup Peter Kasenda cukup lengkap dengan keberadaan keponakannya. Peter juga sudah merasa lengkap dengan kinerjanya dalam melakukan penjernihan terhadap desukarnoisasi yang merupakan proses penghilangan pengaruh Soekarno. Peter sendiri merupakan seorang sejarawan yang produktif menulis buku. Beberapa bukunya mengulas secara mendalam tentang Soekarno, seperti Hari-hari Terakhir Sukarno, Soekarno di Bawah bendera Jepang dan sebagainya.
Menurut JJ Rizal, dalam hidupnya, Peter Kasenda berusaha untuk melawan satu hantu, yaitu hantu desukarnoisasi. Hal senada disampaikan pula oleh Wildan Sena Utama. Ia mengatakan bahwa Peter menulis tentang Soekarno untuk menghindari desukarnoisasi. “Dengan menulis tentang Soekarno, kita bisa memahami Indonesia. Membaca pemikiran Bung Karno berarti membaca pendirian Indonesia,” ucap Wildan.
Buku-buku Peter Kasenda, menurut Wildan, memiliki kekuatan dalam mentransformasikan gagasan rumit menjadi lebih mudah dipahami. Peter juga mampu menyajikan teori-teori berat dengan cara yang ‘renyah’. “Mengapa PKI bisa bangkit, regionalisasi marxisme, atau teori pro-nasionalnya Aidit misalnya di tahun 50-an awal, itu semua dibahas secara lebih mudah, jernih dan mengalir di tangan Peter,” ungkap Wildan Sena Utama.
Di kesempatan berikutnya, Eko Prasetyo dari SMI, bercerita mengenai sosok Peter Kasenda secara personal. Ia mengatakan bahwa Peter adalah sosok yang mudah diajak berdiskusi. Ia tak pernah memikirkan masalah honor, transportasi, dan sejenisnya, sebagaimana pembicara pada umumnya. Uniknya lagi, di mata Eko, Peter adalah sosok pembicara yang selalu datang sebelum pesertanya. Eko menambahkan bahwa Peter adalah sosok yang sederhana. “Permintaan Peter hanya satu, harus ada warung yang ada jeruk nipis hangatnya. Itu pesanan yang sangat digemari Peter,” tutur Eko.
Sejalan dengan pemikiran Eko, sosok Peter Kasenda di mata Wildan adalah sosok yang tidak mengejar kekayaan materi. Dalam pandangannya, Peter menulis dengan hati dan didasari oleh gairah intelektual. Hal ini, menurut Wildan, mampu melampaui materi itu sendiri. “Karya-karya Peter tidak akan dicatat oleh kampus, tetapi akan abadi dicatat oleh peradaban,” pungkasnya.
Penulis: Norman Arief G
Penyunting: Litalia Putri