Seorang pria berpakaian serba hitam tampak sedang menutupi wajah dengan kedua tangannya. Ia ternyata sedang melumuri wajahnya dengan cairan lengket berwarna cokelat, yang sekilas tampak seperti cat yang cair. Kemudian, di tengah tabuhan rebana dan nyanyian tembang berbahasa Sunda, ia melumuri pergelangan tangannya dan bagian atas tulang keringnya dengan cairan tersebut. Ia lalu menempelkan lututnya dan kemudian wajahnya ke sebuah pelat tembaga. Telapak tangan kirinya pun ia tempelkan pada pelat itu, diikuti telapak tangan kanannya. Dalam riuh rebana dan tembang berkalimat tauhid, ia bersujud.
Ia perlahan bangkit dari sujud dan duduk bersila di bawah pelat tersebut. Dengan cairan cokelat, ia menggambar dan menulis di atas pelat yang luasnya hampir sama dengan sajadah itu. Setelah itu, ia berpindah ke pelat lain. Ia beberapa kali melakukan hal serupa, menggambar dengan tubuhnya dan terkadang seraya menari seirama dengan iringan tembang. Pada akhirnya, ia duduk bersama orkes pengiring musik, dan lalu masuk ke sebuah kotak kaca. Dari dalam kotak itu, ia menuliskan sesuatu di jendelanya dan lalu duduk lagi sampai iringan musik selesai.
Aksi tersebut adalah bagian dari “Sujud”, karya seni pertunjukan dan seni instalasi yang menjadi bagian dari pameran tunggal Tisna Sanjaya bertajuk “Potret Diri sebagai Kaum Munafik”. Berlangsung dari 9—21 Juli di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pameran ini diselenggarakan oleh Lawangwangi Creative Space dan Artsociates. Pameran dalam rangka enam puluh tahun Tisna ini memperlihatkan karya-karya yang dibuatnya selama dua tahun terakhir, serta informasi dan reproduksi karya lain selama hidupnya.
“Potret Diri sebagai Kaum Munafik” juga merupakan judul dari sebuah karya Tisna yang turut dipamerkan pada kesempatan ini. Karya yang ia buat pada tahun 2017 tersebut dapat dibagi ke setidaknya dua bagian. Bagian pertama, dan yang paling menonjol, adalah 33 sajadah berlapiskan kanvas yang ditaburi kunyit dan kayu manis. Masing-masing sajadah memiliki pola taburan yang unik, dan kadang terlihat berpasangan. Beberapa di antaranya dibubuhi tulisan, gambar wajah, cetakan tangan, dan bahkan ditempeli dedaunan kering. Sepasang sajadah terlihat seperti bekas seseorang bersujud. Proses pembuatan karya ini pun merupakan seni pertunjukan tersendiri. Tisna melumuri badanya dengan rempah-rempah untuk memberi gambar dan rupa tertentu, termasuk bekas bersujud, dalam membuat karya ini 2017 lalu.
Bagian selanjutnya terdiri dari dua papan, hitam dan putih, dengan delapan wadah tanah liat dan empat mangkuk kunyit di hadapan keduanya. Di papan hitam, digantung baju dan celana kotor. Terdapat botol plastik yang disangkutkan ke penggantung baju. Di sekeliling pakaian kotor itu, terdapat berbagai tulisan seperti “AMAZ”, “curry & shari”, dan “PEACE”. Sementara di papan putih, terdapat lingkaran hitam, dibuat dengan menorehkan arang, dengan tulisan-tulisan yang membentuk spiral, serta bubuhan-bubuhan rempah. Karya “Potret Diri sebagai Kaum Munafik” ini kini menjadi koleksi Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum MACAN) di Jakarta.
Karya “Potret Diri sebagai Kaum Munafik” adalah hasil perenungan Tisna atas situasi politik pada akhir pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) 2017 lalu, yang berakhir dengan ditahannya Ahok atas tuduhan penistaan agama. Tisna, dengan bersujud pada pembuatan karya tersebut, mencoba melambangkan pengakuan kesalahan dan permohonan maaf atas kekerasan yang dilakukan dengan dalih agama.[1] Fokus pameran ini sendiri adalah kegelisahannya atas praktik keberagamaan saat ini yang menurutnya penuh ancaman, kebencian, dan pengafiran. Praktik-praktik demikian Tisna alami baik di masyarakat maupun di keluarganya sendiri. “Bahkan saat saya menyampaikan judul karya ini ke orang-orang terdekat saya, terjadi pro dan kontra. Hanya beberapa yang mengapresiasi,” ujar Tisna dalam diskusi pada 21 Juli lalu.
Kata “munafik” dalam judul pameran merujuk ke pihak yang Tisna akui sebagai bagian, bukan seluruh, dari kaumnya, kaum muslim. Kemunafikan yang dimaksud Tisna, mengutip kurator Hendro Wiyanto, ditandai oleh “kegagalan untuk membawa momen-momen dan pesan kebaikan melalui praktik beragama … demi tujuan sektarian, politik, dan kuasa.”[2] Rahmadi, salah seorang pengunjung, berpendapat serupa.“Menurut saya, Tisna menyebut mereka sebagai munafik karena meski mereka memakai muka agama, mereka malah berkonflik mengenai hal yang tidak berhubungan agama, atau bahkan menjauhinya,” ujar mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia ini.
Tisna menunjukkan bentuk, kemunafikan lain dalam “Citarum”. Karya instalasi berupa tumpukan sampah ini dipajang di luar ruang pameran, tepatnya di samping pintu masuk. Sampah-sampah yang diambil dari Sungai Citarum tersebut dipajang di balik tembok kaca, sehingga pengunjung seakan melihat potongan sungai yang dipenuhi oleh sampah dan bukan air. Dalam diskusi pun, ia menyayangkan kekotoran sungai ini. “Saya pernah diajak Deddy Mizwar [Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2013 – 2018] untuk mendatangi Citarum. Bau sekali! Padahal, orang-orang yang tinggal di sekitar sungai itu mayoritas muslim!” ujarnya sore itu.
Salah satu hal yang Tisna anggap lebih pantas diperhatikan adalah pelestarian lingkungan, yang diwakili oleh “Takbir”. “Takbir” adalah karya instalasi berupa patung aluminium berwujud Tisna sendiri yang berpakaian gamis dan serban, serta memegang kuas dan palet. Patung potret diri sebagai seorang habib tersebut berdiri di atas perahu penuh lumpur yang ditanami padi hijau. Perahu itu diletakkan di atas tumpukan batok-batok kelapa, di sebuah ruangan yang dikelilingi karya-karya etsa Tisna yang terbaru. Melalui “Takbir”, Tisna, menurut Hendro, mencoba memperlihatkan bahwa takbir, “Sejatinya mengumandangkan kebajikan berisi pesan-pesan kemaslahatan bagi lingkungan sekitar.”[3]
Ajakan untuk mencintai lingkungan sebagai cara memanifestasikan agama bukanlah satu-satunya pesan yang Tisna coba sampaikan dalam pameran ini. Tisna juga mencoba mengekspresikan bagaimana keberagamaan baginya dalam “Sujud”. “Sujud” adalah karya seni pertunjukan dan instalasi dengan 99 pelat tembaga, 99 cetakan etsa, serta puluhan kertas yang dicetaki berbagai rupa gambar. Rupa-rupa tersebut dicetak dengan tinta sugar aquatint di atas kertas Hanhemühle dengan teknik etsa.
Etsa adalah teknik pencetakan menggunakan pelat logam dan asam kuat. Pencetakan dengan cara etsa pada umumnya dimulai dengan memberi lapisan pelindung berupa pernis atau lilin. Kemudian, lapisan tersebut dikerik berdasarkan gambar yang diinginkan. Pelat yang sudah digambari kemudian direndam di asam kuat, sehingga timbul relief hasil pengikisan asam berdasarkan gambar tadi. Pelat yang sudah terkikis ini kemudian dibersihkan, diberi tinta lalu ditekan ke kertas untuk mencetak karya menggunakan alat khusus. Alat pencetak etsa tersebut, dalam “Sujud”, Tisna letakkan di dalam sebuah kubus kaca yang dikelilingi puluhan pelat tembaga dan puluhan kertas hasil pengetsaan. Pelat-pelat tersebut disusun seperti sajadah-sajadah yang menghadap ke arah kotak kaca yang menyerupai Kabah.
Pengetsaan “Sujud”, yang juga merupakan bentuk seni pertunjukan, Tisna lakukan di tempat-tempat yang penting dalam kehidupannya. Proses tersebut dilakukan di Cigondewah, tanah leluhur Tisna dan Ledeng, Bandung, Jawa Barat, tempat bermainnya pada masa kecil dan kini juga menjadi tempat studionya. Tisna mulai dengan memberi cetakan sujud, tangan, kaki, bentuk, atau tulisan di atas pelat menggunakan cairan aspal yang diracik sedemikian rupa sehingga berwarna cokelat. Setelah itu, ia menambahkan bentuk lain atau mengurangi bentuk terdahulu, sebelum kemudian mencetaknya ke atas kertas dengan alat manual.
Kurator Rizki Akhmad Zaelani menyatakan bahwa selama proses pemberian tambah-kurang tersebut, “Tisna sama sekali tidak memikirkan atau merencanakan hasil cetakan tubuh yang dikerjakannya.”[4] Setiap hasil pertunjukan tersebut kemudian diberi salah satu nama dalam asmaul husna, 99 nama indah pada ajaran Islam yang merujuk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai hal ini, Rizki berpendapat bahwa Tisna, “Tidak berniat membuat asmaul husna, akan tetapi ia mengharapkan kehadiran asmaul husna dengan cara menggambar.”
Tisna mampu menjaga keselarasan antara hasil-hasil etsanya meski pengetsaan “Sujud” terkesan tidak terencana. “Yang Maha Mendengar”, misalnya, adalah hasil etsa yang menonjolkan jejak langkah kaki dari sudut kanan bawah ke kiri atas. Sementara itu, jejak serupa dari sudut kiri bawah ke kanan atas ditonjolkan pada “Yang Maha Melihat”. “Yang Maha Pengasih”, “Yang Maha Penyayang”, dan “Yang Maha Merajai”, juga terlihat seperti variasi dari satu sama lain. “Yang Maha Pengasih” menunjukkan cetakan kedua tangan dan kaki, bekas bersujud, dengan jam di tengahnya, “ Yang Maha Penyayang” menunjukkan cetakan serupa tetapi dengan cetakan kedua kaki lagi di tengah dan cetakan tangan yang agak kabur. Dalam “Yang Maha Pengasih”, terdapat cetakan serupa tetapi dengan kaki menyamping dengan sosok wajah tergambar di tengah kertas. Rizki berpendapat bahwa kuatnya intensi dan komitmen seniman menentukan, “integritas hasil yang diciptakan disiplin seni grafis.”[5] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tisna memiliki intensi dan komitmen yang mumpuni dalam pengerjaan “Sujud”.
Keberagamaan Tisna dalam “Sujud” dapat terlihat dalam pertunjukannya pada 21 Juli lalu. Alunan musik dari orkes yang datang langsung dari Cidadap mengiringi gerak sujud Tisna pagi itu, diikuti dan diselingi zikirnya, tarian dari anggota orkes, dan bahkan dirinya sendiri ikut menari mengikuti irama saat “bersujud”. Hendro melihat musik, tarian, dan bahkan spontanitas dalam “Sujud” adalah perwujudan pentingnya seni dalam kehidupan beragama bagi Tisna. “Agama baginya akan menjadi lebih humanis ketika seni, dengan berbagai kemungkinan dan ketidakterdugaannya, hadir di dalamnya,”[6] ujarnya.
Rizki memaknai gerak bersujud sebagai ungkapan bahwa manusia juga mampu untuk menemui Relitas Yang Tertinggi, meski manusia memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang serendah-rendahnya.[7] Lebih lanjut, Rizki juga melihat bahwa Tisna mengajak pengunjung untuk mengintrospeksi diri dalam rangka menemukan kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Dengan demikian, pameran “Potret Diri sebagai Kaum Munafik” tampak sebagai sebuah ajakan untuk melihat dan mengakui kesalahan-kesalahan dalam kehidupan beragama, dan mulai bergerak untuk melakukan pembenahan.
Krisna, salah seorang pengunjung, menilai Tisna berhasil menyampaikan pesan-pesannya melalui pameran ini. Mahasiswa Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta ini berpendapat bahwa keberhasilan tersebut terjadi karena Tisna tidak menggambarkan pihak yang disinggung olehnya, akan tetapi menggambarkan ekspresinya sendiri dan, “menurut saya dia berhasil mengekspresikannya.” Sementara itu, Hendro berpendapat bahwa pameran ini tidak hanya perlu dibaca sebagai, “… teks yang lahir dari berbagai situasi konteks sosial tertentu.”[8] Namun, pameran “Potret Diri sebagai Kaum Munafik” dapat dilihat sebagai usaha untuk memberi kontribusi pemahaman atau bahkan, “Memungkinkan lahirnya konteks pembacaan yang baru,”[9] terhadap situasi tersebut.
Penulis: Mahandra Raditya Putra
Penyunting: Krisanti Dinda
[1] Dari katalog pameran “Potret Diri sebagai Kaum Munafik” tahun 2018, Hlm 22
[2] Ibid., hlm 19
[3] Ibid., hlm 23
[4] Ibid., hlm 31
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm 23
[7] Ibid., hlm 36
[8] Ibid., hlm 23
[9] Ibid.