Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah selesai dibahas pada 26 Januari 2017 oleh DPR RI. Selanjutnya, proses telaah ulang dilakukan pada Oktober 2017. Bambang Soesatyo, ketua DPR RI, mengungkapkan bahwa proses tersebut masih berjalan sampai saat ini. Dilansir dari Tempo, Bambang menyatakan bahwa DPR RI ingin memberikan hadiah ulang tahun bagi bangsa Indonesia dengan mengesahkan RKUHP pada tanggal 17 Agustus 2018.
Sebelumnya, BALAIRUNG telah melakukan wawancara mendalam dengan salah satu Guru Besar Fakultas Hukum dan ahli hukum pidana yang turut merumuskan RKUHP, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. Kendati demikian, Yogi Zul Fadli, S.H, M.H, Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, memberikan pandangan yang berbeda terkait RKUHP. Bertempat di Kantor LBH Yogyakarta, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancara Yogi, panggilan akrabnya, pada Jumat (04-05). Ia memaparkan konteks sosial, politik, ekonomi yang melatarbelakangi pembuatan RKUHP, juga pasal-pasal bermasalah di dalamnya. Tidak hanya itu, Yogi menyampaikan upaya yang dilakukan oleh LBH Yogyakarta dalam merespons RKUHP tersebut.
Bagaimana sejarah KUHP di Indonesia?
Sebenarnya, KUHP adalah produk hukum peninggalan Belanda. Belanda sendiri hanya menyalin dari hukum pidana milik Prancis. Setelah diadopsi oleh Belanda, hukum pidana itu diterapkan di negara jajahannya, termasuk Hindia Belanda dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Setelah merdeka, Indonesia pun tetap menggunakan hukum pidana tersebut. Karena diambil dari hukum pidana Belanda, beberapa pasal di dalamnya berpihak pada penguasa. Bahkan, hukum pidana kerap digunakan untuk membungkam suara kritis seperti pasal yang digunakan untuk menjerat Soekarno dulu, dijelaskan dalam buku Indonesia Menggugat.
Apa saja yang dibutuhkan dalam perumusan hukum pidana itu sendiri?
Prinsipnya, dalam merumuskan hukum perlu dilihat kebutuhan masyarakat saat itu. Hukum itu hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Hukum pidana fungsinya untuk mengatur dan menertibkan berbagai kepentingan yang bertumpuk. Selain itu juga untuk melahirkan rasa keadilan. Thomas Hobbes dulu bilang bahwa manusia seperti serigala bagi sesamanya, saling memakan satu sama lain. Akhirnya, dicetuskan ide membuat kontrak sosial oleh John Locke, Hobbes, dan Jean Jacques Rousseau, lalu dimanifestasikan melalui negara agar tidak chaos. Seandainya si A dirampok, tapi perampoknya tidak dihukum pidana, itu akan menghadirkan perasaan tidak adil dan trauma bagi si A. Jadi, menurut saya aspek yang perlu diperhatikan dalam pembuatan hukum pidana adalah kebutuhan dan kepentingan masyarakat agar tidak ada pertentangan yang terjadi.
Tetapi, kenapa baru akhir-akhir ini pemerintah giat melakukan revisi KUHP?
Sejak tahun 1950-an sudah ada semangat pembaruan di tubuh KUHP karena materi-materi yang bermasalah. Pembaruan itu tentunya melihat pada kondisi masyarakat. Tetapi, kami melihat ada konteks pembangunan yang sedang berlangsung. Bahkan saat ini ada istilah “rezim pembangunan”, karena pemerintah mengedepankan pembangunan infrastruktur.
Untuk mendukung rencana strategis pemerintah itu, maka dibuatlah kebijakan-kebijakan represif. Kebijakan yang mendukung pembangunan ini memunculkan dua kemungkinan, didukung atau ditolak oleh masyarakat. Jika ditolak, sangat mungkin terjadi gejolak dalam masyarakat seperti pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA), reklamasi Teluk Benoa, dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di beberapa daerah Pulau Jawa. Konflik yang terjadi di masyarakat ini menghasilkan iklim buruk bagi pengusaha dan pemodal.
Agar masalah tersebut dapat diatasi, pemerintah membuat produk hukum represif, untuk menekan perlawanan. Seperti pasal penghinaan presiden adalah contoh produk hukum yang ditujukan untuk memoderasi gerakan perlawanan. Karena yang membuat kebijakan kan presiden, semangatnya malah melanggengkan pembangunan dan rezim kapitalistik.
Sebenarnya, kalau dilihat lebih luas lagi, ada banyak produk hukum represif yang tidak hanya RKUHP. Semisal, nota kesepahaman kerjasama antara Kepolisian RI (Polri) dan TNI, sehingga Polri bisa melibatkan TNI dalam pengamanan kegiatan sipil. Ini bisa menjadi bagian dari instrumen untuk menakuti masyarakat agar tidak kritis pada negara. Saya pikir produk hukum ini tidak bisa dilepaskan juga dari konteks ekonomi.
Sejauh ini, bagaimana pandangan LBH Yogyakarta terhadap RKUHP?
Dalam rencana strategis tahunan LBH Yogyakarta, kami melihat bahwa RKUHP merupakan bagian dari produk hukum yang mengancam warga negara dalam konteks berpendapat dan berekspresi. Terlebih, dalam kondisi sosial-politik seperti musim pemilihan umum, pemilihan presiden, kemungkinan akan banyak sekali pendapat yang berseliweran di media sosial. Dalam kondisi seperti ini, pasal penghinaan akan sering dipakai.
Sebenarnya apa saja yang bermasalah dalam RKUHP?
Setidaknya ada empat poin. Pertama, RKUHP menghadirkan kembali pasal penghinaan presiden. Kedua, RKUHP mempertahankan pasal pencemaran nama baik yang sering digunakan untuk menjerat suara-suara kritis. Ketiga, kami juga melihat naskah RKUHP masih mempertahankan tentang hukuman mati. Di sini, posisi LBH adalah tidak sepakat dengan hukuman mati karena tidak sesuai dengan nilai-nilai HAM. Ada aspek sosiologis dalam penegakan hukum di Indonesia yang tidak ideal, misalnya dekadensi moral penegak hukum. Artinya ketika pasal-pasal hukuman mati dipertahankan, tidak ada yang bisa menjamin apakah putusan hakim itu tepat. Bagaimana jika setelah dihukum mati dan dieksekusi, dan dikemudian hari ada peninjauan kembali yang menunjukkan terpidana tidak bersalah, siapa yang bisa bertanggung jawab mengembalikan nyawa?
Kempat, dalam satu pasal disebutkan bahwa setiap tindakan yang belum diatur dalam hukum positif (KUHP), sepanjang tindakan itu dinilai masyarakat sebagai tindakan yang salah, maka akan dikenai tindakan pidana. Hal ini menyebabkan masyarakat bisa melakukan tuduhan secara serampangan karena tidak ada ukuran yang jelas. Seperti, masyarakat yang mana? Hukum yang seperti apa? Ini seolah mengabaikan bahwa setiap masyarakat memiliki tafsir yang berbeda dan pasal ini mengabaikan asas legalitas.
Berbicara tentang penghinaan, bagaimana definisi dan bentuk penghinaan menurut RKUHP?
Kalau dalam KUHP yang lama, tidak ada pengertian atau ukuran penghinaan itu seperti apa. Hanya ada tafsir-tafsir para ahli. Menurut Susilo, ahli KUHP, dalam konteks pasal 310 penghinaan terhadap warga negara, penghinaan itu berupa perbuatan. Contohnya, saya bilang si A cantik, tapi dia tidak merasa begitu dan sakit hati, seperti itu saja saya bisa dilaporkan karena penghinaan. Tidak ada ukuran objektif untuk luka hati dan akan menjadi masalah saat pembuktian penghinaan. Saya kira, konteks ini juga berlaku dalam pasal penghinaan presiden.
Selain itu, juga terdapat relasi kuasa yang timpang antara pelapor dan terlapor. Kami beberapa kali mendampingi terlapor dengan pola yang sama, kondisi ekonominya lebih lemah dari yang melaporkan. Apalagi kalau dikontekskan dengan penghinaan terhadap presiden.
Dalam RKUHP yang menyebutkan akan mengembalikan hukum kepada masyarakat, bukankah itu memberikan ruang bagi hukum adat?
Iya, memang iya. Masalahnya, kami tidak menemukan tolok ukur yang jelas tentang hukum yang berlaku di masyarakat. Menerapkan hukum agraria di Papua tidak sesuai dengan menerapkannya di Jawa, karena ada kondisi adat tertentu. Nah, di sini saya tidak tahu apakah kemudian unifikasi hukum bersama dengan kondisi geografis luas dan nilai masyarakat berbeda itu bisa jadi solusi.
Apakah memungkinkan untuk melakukan itu?
Secara konsep, idealnya ya menyesuaikan masyarakat. Tetapi kalau secara faktual, sepertinya agak rumit. Mengingat pertarungan politik yang terjadi di daerah maupun pusat, juga kondisi para penegak hukum saat ini. Namun pada dasarnya, menurut saya, unifikasi hukum harus dikaji ulang dengan melihat kondisi masyarakat saat ini.
Jadi, unifikasi hukum itu bukan jawaban atas kebutuhan masyarakat?
Menurut saya, tidak. Malah, setahu saya selama ini ada perdebatan tentang bentuk unifikasi hukum itu sendiri. Bentuk masyarakat Indonesia kan berbeda-beda, menjadi masalah ketika hukum diberlakukan sama. Misalnya saja kondisi masyarakat Jawa Timur dan Jawa Barat jelas berbeda. Seandainya logika yang digunakan seperti otonomi daerah, masing-masing daerah dapat mengatur dirinya sendiri. Jadi, hukum pidana bisa menyesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.
Melihat naskah RKUHP, dari 1251 pasal, 1198 diantaranya diancam dengan hukuman penjara. Apakah berarti selama ini mayoritas masyarakat selalu menyelesaikan permasalahannya dengan hukum?
Pada prinsipnya, hukum ini juga berlandaskan pada teori pembalasan. Di Indonesia, semangat yang dibawa adalah pembinaan agar bisa kembali ke masyarakat, salah satunya melalui rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan. Tetapi, bagi LBH Yogyakarta, kami meyakini tidak semua hal harus berakhir dengan mekanisme hukum, apalagi hukum pidana. Semisal, pencurian sandal, atau pencemaran nama baik itu kan persoalan sepele dan bisa diselesaikan di luar hukum.
Pola penyelesaian permasalahan hukum di Indonesia tidak bisa diterapkan saklek karena ada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur suatu tindakan, dan malah merusak tatanan dalam budaya suatu masyarakat. Penyelesaian di luar ranah hukum pun tidak tabu untuk dilakukan. Ada budaya musyawarah di Jawa, atau hal serupa di daerah lain, itu untuk memediasi korban dengan pelaku dan difasilitasi oleh orang-orang ketiga.
Ini juga berhubungan dengan infrastruktur lembaga pemasyarakatan yang akhirnya berlebihan kapasitas. Maka dari itu ada aspek sosiologis yang perlu diperhatikan seperti korban dan kejeraan bagi pelaku. Di Jawa Tengah, ada praktik peradilan rakyat di mana warga desa mengadili dugaan korupsi yang dilakukan kepala desa. Masalah itu selesai di luar hukum dan memberi efek jera bagi kepala desanya, juga ada sanksi sosial yang menjerat. Semisal kasus Nenek Minah yang mencuri buah karena kelaparan dan dipenjara tiga bulan, itu kan enggak memperhatikan aspek-aspek sosiologisnya.
Beberapa kali disebut tentang aspek sosiologis dalam hukum, apakah perlu ada sosialisasi tentang hal ini ke masyarakat?
Menurut saya yang paling diperlukan adalah teladan. Kami, LBH Yogyakarta, pernah menangani kasus intoleransi, pembubaran pemutaran film, atau perusakan kantor organisasi pendukung LGBT. Kami laporkan pada polisi dengan bukti-bukti yang kuat, tetapi polisi tidak bertindak apapun. Dampaknya, orang akan merasa aman untuk melakukan tindakan seperti itu lagi. Jadi, meskipun penyuluhan dilakukan berkali-kali, kalau tidak ada teladan dan contoh dari para penegak hukum ya akan tetap jadi masalah.
Lantas dalam menanggapi RKUHP, pasal apa saja yang diadvokasi oleh LBH Yogyakarta?
Kami tidak mengadvokasi berdasarkan pasal. Prinsipnya, kami melihat RKUHP sebagai satu kebutuhan, karena delik-delik pidana ini dipakai untuk menertibkan masyarakat. Namun, kami tidak sepakat ketika KUHP nantinya menjadi produk hukum yang represif. Terutama yang berhubungan dengan kebijakan publik dan upaya menghalangi kritik kepada pemerintah.
Dulu rakyat Indonesia ingin bebas merdeka dari peraturan Belanda yang represif, sekarang kok malah dimunculkan kembali. Ini kita semua seperti mundur, ngapain repot-repot melakukan revisi, sekalian saja kembali mengadopsi pasal yang lama.
Jadi, upaya apa saja yang dilakukan LBH Yogyakarta dalam merespon RKUHP?
Sejauh ini kami hanya pada tataran advokasi masyarakat saja, dan membangun jejaring secara kelembagaan dengan teman-teman Aliansi Reformasi KUHP. Tetapi, itu sifatnya mengawal saja apa yang terjadi di pusat. Kami tidak datang ke Jakarta secara khusus untuk mengadvokasi. Mungkin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang mengawal langsung, tetapi kami tidak. Karena, gerakan ini kan terpusat di DPR RI, ya.
Prinsipnya, kami melakukan advokasi dengan membangun narasi melalui berbagai media yang bisa kami jangkau. Dalam artian, ketika ada kesempatan menghadiri diskusi, kami menyampaikannya dengan perspektif yang berbeda. Begitu juga ketika siaran pers.
Semangat yang dibawa LBH Yogyakarta adalah kami merupakan bagian dari masyarakat sipil. Sehingga, kami punya tanggung jawab moral untuk menjaga dan mengawasi roda-roda pemerintahan agar tetap pada rel hukum, demokrasi, dan HAM. Jadi, pertama, peran yang kami ambil adalah membangun narasi terkait problem pasal bermasalah itu. Selemah-lemahnya, kami berusaha untuk mengadvokasi kebijakan. Kedua, kami berusaha membangun narasi untuk publik agar ada pemahaman yang sama melalui diskusi di forum maupun audiensi. Semangatnya adalah kami bersama publik menolak produk hukum yang memoderasi perjuangan rakyat.
Penulis: Cintya Faliana
Penyunting: Bernard Evan