Batu. Reruntuhan tembok. Kantong plastik. Dedaunan kering. Angin yang berhembus pelan. Udara dingin yang membangunkan seorang lelaki yang bersandar di sisa dinding. Kaki kirinya terasa nyeri. Sebuah peluru bersarang di sana. Ia memindai sekeliling. Semburat merah dari ufuk timur. Apakah fajar? Ataukah sebuah gedung di sebelah timur sana tengah terbakar? Ia tak tahu. Ia merintih. Namun segera ia telan kembali suara yang keluar dari tenggorokannya. Ia tak mau mengambil risiko. Suara rintihannya mungkin saja akan mengundang rentetan tembakan yang membuat tubuhnya menjadi saringan teh. Seekor tikus mengendap dekat sekali dengan dirinya. Tikus besar. Itu bisa jadi santapan yang lezat seandainya ia bisa menangkap dan memanggang tikus itu. Ia mencoba menggerakkan tangan kanannya. Namun tidak bisa. Tangan itu lumpuh. Sebutir peluru yang lain telah lebih dulu menghunjam sikunya, beberapa saat sebelum kaki kirinya. Tikus itu berhenti tepat di depannya. Menoleh ke arahnya. Menyeringai. Seolah mengejeknya. Gigi-gigi tikus itu putih dan tampak berbahaya. Tikus itu mendekatinya, mengendusnya. Ia menggerak-gerakkan ujung kakinya. Ngilu kembali menjalar. Bukan hanya pada kakinya yang terluka, namun ke sekujur badannya. Ia kembali meringis. Ia kembali merintih. Dan ia kembali buru-buru menelan suara rintihannya.
Batu. Reruntuhan tembok. Kantong plastik. Dedaunan kering. Selarik cahaya membelah langit. Lantas suara dentuman. Apakah halilintar? Ataukah bom yang diluncurkan? Ia tak tahu lagi. Ia menutup mata. Ia membayangkan sungai-sungai yang mengalir jernih. Dan panjang. Tempat wader[1] dan gabus dan anggang-anggang bermukim berkembang biak. Dengan semak pahitan di sepanjang bantarannya. Di sela-sela semak itu, kalendra tumbuh dengan kokoh. Juga pohon loh, yang kata ibunya tempat tinggal ular-ular berbisa. “Mereka suka makan buah loh yang keras,” kata ibunya. Kini, bertahun-tahun setelah untuk pertama kalinya ia mendengar ucapan ibunya itu, ia tahu itu adalah sesuatu yang keliru. Ular-ular tidak memakan buah. Mereka memakan tikus-tikus, mereka memangsa kelinci, mereka memangsa burung-burung, bahkan juga ular lain. Mereka memangsa banyak makhluk hidup, namun buah loh jelas-jelas tidak termasuk di dalamnya. Lalu matahari terbit, menyiramkan sinar yang hangat ke penjuru bumi, ayam berkokok, burung-burung bernyanyi, ibu-ibu berbelanja, bapak-bapak menyiram halaman. Ia mendengar tangisan bocah yang baru bangun tidur, ia mendengar denting sendok dan gelas, ia mendengar omelan dalam rumah tangga, ia mendengar gemericik air yang mengucur dari kran, ia mendengar suara tempe yang dimasukkan minyak panas.
Ia membuka matanya setelah gema dentuman reda. Bayangannya menguap untuk digantikan kegelapan yang dihiasi aksen semburat dari timur, juga bayang-bayang dari puing-puing, beberapa helai daun kering yang ia tak tahu berasal dari pohon jenis apa, sebuah kantong plastik berwarna putih yang entah bekas apa atau datang dari mana. Segala suara suasana pagi juga turut mengilang dan digantikan kisik-kisik tikus besar di dekatnya. Angin dingin kembali berhembus. Anak-anak rambutnya sedikit tersingkap. Sebagian masih lekat dengan kulitnya. Lekat oleh darah. Ia tidak ingat bagaimana ia mendapatkan luka di kepala itu. Mungkin sewaktu sebutir granat menghancurkan dinding tempat ia bersembunyi. Mungkin sewaktu ia berlari dan tersungkur. Mungkin…
Tikus itu masih di sana. Di depannya. Menatapnya tajam. Masih menyeringai. Kumis tikus itu bergerak-gerak. Segala gestur yang ditunjukkan si tikus tampak mengancamnya. Itu bukanlah tikus sembarangan. Badannya dua kali lebih besar dari tikus terbesar yang pernah ia jumpai. Bulu-bulunya juga terlihat lebih kasar, lebih gimbal. Jauh lebih kasar dan gimbal ketimbang rambutnya yang dilapisi debu.
“Apa yang kau mau?” napasnya tersengal. Si tikus masih memandangnya. Mata tikus itu berkilauan. Ia tahu apa arti kilauan seperti itu. Ia sering melihatnya di mata kawan-kawannya. Mata yang penuh hasrat untuk hidup. Mata yang penuh ketakutan. Mata yang harus memilih: mengambil atau kehilangan nyawa.
“Hush… hush…” ia berupaya menggusah tikus itu. Namun alih-alih pergi, tikus itu justru melompat mendekat. Kini, tikus itu hanya sejengkal dari ujung kaki kirinya yang terluka. Upayanya menggerakkan kaki yang terluka tersebut telah sukses memecah lapisan darah kering pada lukanya. Dan sebagai akibatnya, luka yang belum terlalu lama tercipta itu kembali mengeluarkan darah. Amis. Ia mengerang tertahan.
Darah menggenang. Tikus itu mengendusnya. Lidahnya yang merah dan lancip terjulur keluar. Menjilat-jilat darah tersebut. Ia bergidik. Ia kembali menggerakkan kakinya, menggusah tikus itu. Dan tikus itu seolah tidak peduli. Atau sebenarnya tikus itu peduli, hanya saja si tikus tahu bahwa keadaannya telah begitu payah dan ia tidak akan bisa berbuat banyak selain menggerakkan beberapa bagian tubuh dengan gerakan yang teramat terbatas. Dan semakin ia bergerak, semakin banyak darah yang mengucur dari luka-lukanya.
Ia mengerang. Ia memanggil kawan-kawannya. Namun tak ada sahutan. Hanya desiran angin dingin yang kembali berhembus. Lantas cahaya yang kembali membelah langit. Dan suara dentuman. Lalu gema. Lantas kembali hening. Dan si tikus – yang sewaktu cahaya melintas mendongakkan kepalanya – kembali menunduk dan menjilati genangan darahnya.
“Pergilah, pergilah… apa maumu?” ia berkata dengan putus asa. Napasnya satu-satu dan berat.
Ia tak tahu bagaimana persisnya ia bisa berada di tempat ini dan terpisah dari kawan-kawannya. Memorinya hanya menyimpan kilasan-kilasan, potongan-potongan, fragmen-fragmen. Patroli rutin. Sergapan mendadak. Peluru yang mendesing-desing. Lantas rombongan yang terpecah, masing-masing mencari hidup dalam kepanikan dan ketakutan.
Ia berlari. Puing-puing melesat meninggalkannya. Atau dialah yang meninggalkan puing-puing itu. Ia terus berlari. Lantas tangan kanannya terasa pedih dan panas. Senapannya terjatuh. Ia sempat tersungkur. Namun ia segera bangkit. Rasa takut memberinya tenaga berlebih untuk kembali berlari. Namun rasa takut itu juga membuatnya teledor. Ia tak mengambil senapannya. Ia terus berlari. Berlari dan berlari. Sementara ledakan terjadi di kanan kirinya. Peluru masih berdesingan. Ia merasa tangan kanannya dileleri sesuatu yang hangat. Berjam-jam ia berlari. Atau barangkali, ia hanya berlari beberapa menit, namun terasa seperti berjam-jam, atau mungkin berhari-hari. Ia tak tahu lagi. Orientasinya akan waktu berantakan di tengah situasi yang sekacau itu. Lalu sebuah peluru yang lain menghantam kaki kirinya. Dan ia, dengan sisa-sisa tenaga, berusaha bangkit dan meneruskan berlari. Ia tak tahu arah mana yang ia tempuh. Orientasinya akan arah juga tidak karuan. Bisa saja sesungguhnya ia hanya belari berputar di kawasan yang sama dan itulah yang menyebabkan hujan peluru terus mengiringi pelariannya. Yang jelas, ia hanya berlari. Memercayakan nyawa yang hanya selembar pada insting.
Akhirnya ia sampai pada tempat yang menurutnya aman; sebuah puing bangunan yang masih beratap. Dinding-dindingnya terlihat kokoh meski pintunya sudah jebol. Di balik dinding itu ia bersandar dan mengatur napas. Ia haus. Namun botol minumnya tak ada lagi. Beberapa menit ia berusaha menenangkan diri. Dan tepat pada waktu itulah sebutir granat jatuh dan menghancurkan puing persembunyiannya. Kupingnya serasa tuli. Reruntuhan dinding itu menimpanya, namun gagal mengirimnya ke negeri kematian. Susah payah ia menyingkirkan reruntuhan itu, lantas kembali berlari. Kali ini tak secepat sebelumnya. Lantas ia merasakan matahari yang kian menyengat. Matanya perlahan lamur oleh darah yang mengalir dari batok kepalanya. Napasnya hampir putus. Ia tersungkur. Ia tak mau mati. Ia merangkak. Pandangannya semakin lamur. Lalu ia seperti tertidur.
Dan di sinilah ia, mendapati dirinya terbangun lantaran hembusan angin dan elusan udara dingin. Tak tahu apakah fajar apakah malam. Tak tahu berapa lama ia tak sadar. Berhadap-hadapan dengan seekor tikus yang menjilati genangan darahnya. Bagian tubuhnya yang lain gagal ia gerakkan. Mungkin, meski tak mengalami luka luar, seluruh otot-ototnya telah putus. Ia mengerang.
Tikus itu semakin mendekat. Mendekat ke liang luka di kakinya. Lantas dengan kebuasan yang tak terkira, mulai mengorek lukanya. Ia kembali menggerakkan kakinya, dan tikus itu menyambutnya dengan gigitan yang lebih dalam. Ia merintih. Ia memejamkan mata. Ia kembali melihat wajah ibunya. Ia juga terkenang wajah bapaknya. Ia teringat kampung halamannya. Kenapa harus ada perang? Ia tak tahu. Mereka bilang adalah kewajiban bagi setiap warga untuk memenuhi panggilan negara. Panggilan untuk membunuh siapa-siapa yang mereka sebut musuh.
Tangan kirinya masih sanggup bergerak. Lambat. Dengan tangan itu ia melakukan upaya terakhir menggusah si tikus. Tangannya terulur dan melambai. Namun tikus itu tampaknya benar-benar cerdas dan cukup mengerti bahwa tangan kirinya tak akan membahayakan bagi si tikus. Ia berupaya meraih batu yang terletak tak jauh dari dirinya. Namun batu itu tak terjangkau.
Ia kembali memejamkan mata. Dari puing-puing, dari selokan, dari kegelapan, tikus-tikus yang lain bermunculan. Mereka menggoyangkan kepalanya yang besar. Mereka meringis memamerkan gigi-giginya. Mereka bergerak, mendekat, semakin mendekat ke arahnya. Beberapa dari mereka merubung luka di lengannya, sebagian yang lain menyerang kepalanya. Ia kembali menggerakkan tubuhnya, setiap bagian tubuhnya yang masih menyimpan tenaga. Namun tikus-tikus itu, yang lapar dan tak memiliki pilihan lain selain memangsanya, tampak tak peduli. Ia membuka mata. Ia kembali teringat kawan-kawannya. Ia teringat dirinya sendiri. Seperti tentara dalam medan perang, mereka juga harus memilih; untuk hidup, mereka harus membunuh.
Ia kembali memejamkan mata. Dan tikus-tikus itu kian buas menggerogoti dagingnya. Darah semakin deras mengalir. Kini genangannya telah sampai ke jangkauan tangan kirinya. Ia merasakannya. Hangat. Jari-jarinya bergerak. Ia celupkan jari-jari itu ke genangan darah, lantas, dengan tinta dari darah itu, ia menggambar di dinding yang disandarinya tiga sosok; ia, ibunya, dan bapaknya. Bergandengan tangan. Sebuah gambar yang jauh dari bagus. Sebuah gambar yang berasal dari masa kanak-kanaknya, sewaktu yang ia tahu adalah kegembiraan dan keceriaan.
***
Fajar pecah tiga jam sebelumnya. Tiga anak kecil; satu buntung lengan kanannya, dua pincang, dan kening ketiganya dibungkus perban yang sudah agak kecoklatan, berdiri di depan seonggok bangkai yang tercabik-cabik dan tak tentu bentuknya.
“Lihatlah dinding itu,” kata salah satu anak.
Batu. Reruntuhan tembok. Kantong plastik. Dedaunan kering. Angin yang berhembus pelan. Ketiga bocah itu tersenyum. Salah satu dari anak itu, yang tangan kanannya buntung, mendekat ke dinding, mengorek bekas darah di lantai menggunakan ujung jari telunjuk tangan kirinya, lantas menambahkan matahari di gambar itu.
Dadang Ari Murtono
Lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016) dan Samaran (novel, 2018). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
[1] Dalam istilah lain disebut badar, yang artinya ikan kecil-kecil (seperti teri)