Di tengah hangatnya perdebatan kebijakan good policy yang diajukan oleh IMF, Bank Dunia, beserta rombongannya kepada negara berkembang, Ha-Joon Chang menawarkan sebuah perspektif lain. Seharusnya, negara berkembang melihat sejarah kebijakan dan institusi di negara maju ketika mereka masih di tahap berkembang.
Hegemoni Neoliberal
Wacana ekonomi politik hari ini telah didominasi oleh pengimanan pada pasar bebas sebagai cara terbaik–bahkan satu-satunya cara–untuk menciptakan kesejahteraan. Pasar bebas seringkali juga diidentikkan dengan demokrasi. Milton Friedman, seorang monetarist dan advokat pasar berpendapat dengan gigih bahwa pencarian profit adalah esensi dari demokrasi. Dia mengatakan bahwa setiap pemerintahan yang menolak kebijakan pasar adalah pemerintahan yang anti-demokrasi (Friedman, 1970). Pencarian profit seperti yang dimaksud Friedman adalah mendapatkan keuntungan dengan menerapkan mekanisme pasar dimana penjual dan pembeli bertindak atas kepentingan individu untuk berkompetisi di pasar. Kompetisi tanpa paksaan ini nantinya akan menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran barang dan jasa (Williamson, 1975 dalam Siddiqui, 2012). Dengan kata lain, mekanisme pasar melalui peran negara yang dibatasi akan menciptakan kesejahteraan. Padahal prinsip tersebut pada dasarnya saling bertentangan. Demokrasi dimana semua orang punya hak suara yang sama (one man, one vote) akan dilemahkan oleh prinsip pasar itu sendiri (one dollar, one vote) karena tidak semua orang memiliki kekuatan ekonomi yang sama.
Ideologi pasar bebas atau yang juga dikenal sebagai neoliberalisme berkembang di seluruh dunia sejak tahun 1970-an. Ideologi neoliberal ini ingin menghidupkan kembali doktrin liberal klasik mengenai pasar yang mengatur dirinya sendiri sebagaimana konsep laissez-faire yang diajukan Adam Smith dan David Ricardo (Steger dan Roy, 2010). Para pemikir liberal klasik berpandangan bahwa peran negara harus dibatasi hanya untuk mengamankan dan melindungi hak individu, khususnya kepemilikan pribadi. Ekonom Hayek (2005 [1944]) melihat adanya intervensi negara, seperti dalam model ekonomi Keynesian, adalah jalan menuju perbudakan. Sejalan dengan pandangan tersebut, Milton Friedman (dalam Steger dan Roy, 2010) mempromosikan pasar bebas dengan menuding bahaya peran campur tangan negara dalam ekonomi hanya akan menghasilkan ekonomi yang berbahaya, misalnya inflasi. Martin Wolf (2009) seorang pendukung pasar bebas mengatakan bahwa perkembangan ideologi pro-pasar yang berkembang di negara-negara barat sejak tiga dekade terakhir merupakan reaksi dari kegagalan ekonomi campuran yaitu model Keynesian yang berkembang pada tahun 1950 hingga 1970-an. Intervensi negara dalam kebijakan ekonomi Keynesian yang secara aktif melakukan pembelanjaan pemerintah, menentukan patokan harga di pasar dan kepemilikan negara dalam mengelola sumber daya, bertentangan dengan prinsip ekonomi pasar bebas, yang tidak menghendaki monopoli negara. Hal ini dianggap oleh para ekonom neoliberal sebagai penyebab krisis berupa stagflation yakni ketika pertumbuhan ekonomi mengalami stagnansi diiringi tingginya inflasi dan tingginya tingkat pengangguran, yang terjadi pada tahun 1970-an. Oleh sebab itu muncul dorongan untuk segera melucuti peran negara dengan melakukan deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi sesuai model kebijakan neoliberal agar bisa keluar dari krisis (lihat Palley, 2004; Zinn 2013).
Konsekuensi Neoliberalisme dan Kegalannya di Negara Berkembang
Di tingkat elit dunia, pergeseran kebijakan ekonomi ke arah neoliberal berlangsung setelah terpilihnya Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 1989, naiknya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979 dan naiknya Deng Xiaoping untuk membuka Cina kepada pasar sejak tahun 1978. Pasca terpilihnya pemimpin-pemimpin tersebut tersebut, kebijakan neoliberal segera diadopsi dan diperkenalkan ke negara-negara sekitarnya. Sementara itu, ekonom neoliberal John Williamson bersama International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan U.S Treasury Department merumuskan seperangkat strategi kebijakan pembangunan yang berfokus pada privatisasi, liberalisasi, dan kebijakan makro ekonomi neoliberal yang menekankan pada pentingnya meminimalisir peran negara untuk memulihkan ekonomi negara pasca-krisis 1980-an seperti Amerika Latin (Williamson 2004). Strategi pembangunan tersebut tersebut dikenal dengan nama Washington Consensus atau Konsensus Washington. Paket kebijakan iniĀ nantinya dijadikan rujukan bagi negara berkembang untuk mencapai kemakmuran.
Pada akhir tahun 1980-an sekitar 70 negara berkembang dipaksa oleh IMF untuk menerima structural adjustment program yaitu program penyesuaian kebijakan ekonomi seperti austerity, deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang didasarkan oleh agenda neoliberal (Bello, 2005 dalam Siddiqui, 2012). Di sisi lain, para negara berkembang diharuskan mengimpor teknologi. Hasilnya, tingkat impor barang manufaktur negara berkembang meningkat dari kurang 5% pada akhir 1970-an menjadi 30.1% di tahun 2003 (UNCTAD, 2005 dalam Siidiqui, 2012). Peningkatan tersebut diklaim sebagai keberhasilan kebijakan neoliberal, namun implikasinya hal tersebut tidak membantu negara berkembang untuk berkembang ke arah industrialisasi, sebab yang terjadi adalah ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Angka pengangguran tidak berangsur membaik dan ketimpangan makin terlihat. Defisit neraca perdagangan pun kemudian berpengaruh pada pertumbuhan secara keseluruhan.
Tidak hanya itu, setelah empat dekade pelaksanaan berbagai kebijakan neoliberal, ternyata bukti kegagalannya semakin banyak, khususnya yang terjadi di negara-negara berkembang seperti di Amerika Latin dan Sub-Saharan Afrika (Stiglitz, 2008 dalam Siddiqui, 2013). Di Pakistan tingkat kemiskinan dan ketimpangan malah meningkat drastis hingga di tahun 2008 lebih dari 30% penduduk berada di bawah garis kemiskinan setelah mengadopsi kebijakan ekonomi neoliberal (Siddiqui, 2013). Pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara-negara yang mengadopsi Konsensus Washington menyebabkan banyak negara ingin meninggalkan konsensus tersebut. Negara yang termasuk rombongan awal dalam mengikuti konsensus seperti Bolivia pun mempertanyakan: āKita telah merasakan sakitnya, kapan kita mendapat untungnya?ā. Merespon pertanyaan dari Bolivia tersebut IMF tetap mendorong mereka, negara berkembang untuk tetap sabar. Mereka mengatakan bahwa jika Konsensus Washington ditinggalkan, proses penyesuaian dengan doktrin neoliberal dan structural adjustment akan menjadi sia-sia.
Di tengah hangatnya perdebatan mengenai kebijakan good policy yang ditawarkan IMF, Bank Dunia, dan rombongannya tadi di negara berkembang, Ha-Joon Chang, dosen ekonomi politik pembangunan dari Universitas Cambridge mempunyai ide lain. Dia berkata, āKenapa tidak melihat dari catatan sejarah untuk mengetahui kebijakan dan institusi seperti apa yang mereka (negara kaya) gunakan? Bukankah dengan demikian negara berkembang bisa belajar dari negara maju tanpa perlu membayar ongkos yang pernah mereka (kini negara maju) bayar. Sebuah keuntungan bagi pendatang baru (Chang, 2002).ā Dan ternyata hasil temuan Chang cukup mengejutkan dan menggelisahkan banyak orang, sebab sejarah menunjukkan bahwa negara yang kini maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda dan bahkan negara di Asia Timur yang menyusul menjadi negara maju, tidak menerapkan model kebijakan neoliberal, malah sebaliknya.
Do As We Say, Not As We Did
Melihat fakta kegagalan kebijakan neoliberal di negara-negara berkembang, Chang tidak ingin mengamini segala ceramah kebijakan yang dikhotbahkan negara kaya kepada negara miskin. Malahan dia menengok kembali kepada analisis Friedrich List (1789-1846), seorang ekonom Jerman yang dikenal sebagai pencetus infant industry argument, untuk menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya negara kaya berkhotbah ke negara miskin. List saat itu kritis terhadap ceramah perdagangan bebas dan doktrin laissez-faire Inggris kepada negara lain ketika mereka sendiri tidak menerapkan itu. Dia sadar bahwa Jerman saat itu tidak akan mampu mengejar kedigdayaan industri Inggris jika mengamini khotbah-khotbah pasar bebas dari Inggris.
Pandangan umum yang disebut Chang (2002) sebagai sejarah resmi globalisasi mengatakan bahwa kesuksesan ekonomi Inggris pada abad ke-18, yang kemudian diikuti negara lain untuk segera membuka pasar, didasarkan pada kebijakan pasar bebas dan perdagangan bebas. Tata dunia liberal yang sempurna pada sekitar tahun 1870 di bawah hegemoni Inggris, diklaim sebagai keberhasilan atas adopsi kebijakan industrial domestik laissez-faire; rintangan rendah pada arus barang, modal, dan pekerja internasional; dan stabilitas makro ekonomi, secara nasional dan internasional yang dijamin oleh prinsip sound money (inflasi rendah) dan pembiayaan seimbang. Sebuah periode penuh kemakmuran yang mulai kacau sampai dengan Perang Dunia Pertama.Ā Namun sejarah resmi globalisasi tersebut bagi Chang (2002: 16) setelah meneliti catatan lama salah satunya dari Friedrich List, menunjukkan bahwa sejarah resmi globalisasi adalah sebuah kesesatan (misleading) untuk menggambarkan fakta yang sebenarnya terjadi.
List berpendapat sebaliknya, bahwa Inggris sebenarnya adalah negara pertama yang menyempurnakan seni pengembangan infant industry. Menurutnya, prinsip dibalik kesejahteraan di banyak negara. Supremasi ekonomi Inggris pada abad ke-18 sejatinya tidak secara sederhana karena adopsi kebijakan pasar bebas dan perdagangan bebasnya. Sebelum Inggris mengadopsi perdagangan bebas, mereka menerapkan kebijakan interventionist seperti subsidi dan tarif yang tinggi. Mereka mempromosikan industri dalam negeri hingga industri manufaktur di sana cukup percaya diri lalu kemudian pada tahun 1833 tarif mulai diturunkan dan Corn Law dicabut pada tahun 1846 (Chang, 2002). Setelah Inggris mencapai derajat kekuatan pembangunan yang hebat sehingga negara lain kesulitan untuk bersaing, mereka berkhotbah dengan dukungan para ekonom kosmopolit seperti Adam Smith kepada negara lain untuk segera melakukan perdagangan bebas. Pada saat yang sama di banyak negara dipaksa untuk mempraktikkan perdagangan bebas melalui kolonialisme dan perjanjian yang tidak adil (seperti perjanjian Nanking). Bukankah hal ini adalah suatu muslihat cerdik yang dilakukan oleh suatu negara setelah mencapai puncak kebesaran kemudian menendang tangga yang telah digunakannya untuk naik (Chang, 2002).
Mengambil wawasan dari Friedrich List seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Chang (2002) melihat adanya kesamaan pola yang dilakukan oleh negara maju hari ini melalui berbagai kebijakan neoliberal yang dikhotbahkan ke negara berkembang. Pada awalnya negara maju memproteksi industri dalam negeri seperti melalui tariff tinggi dan subsidi untuk mendukung industri manufaktur domestik lalu setelah industri mereka mampu untuk bersaing, mereka menutupi fakta dengan menyarankan kebijakan lain yang bahkan tidak sejak awal mereka lakukan, yaitu perdagangan bebas, yang sejatinya hanya menguntungkan mereka sendiri.
Bagi negara berkembang, hasil temuan Ha-Joon Chang memberikan legitimasi sejarah untuk memikirkan ulang pendekatan neoliberal dalam pembangunan suatu negara. Hal ini sangat penting karena kebijakan neoliberal telah menjadi āfaktaā yang telah diamini mayoritas ekonom dan pengambil kebijakan di seluruh dunia. Oleh karena itu Chang menunjukkan adanya strategi lain dalam pembangunan, yang tidak hanya satu cara, misalnya dengan mengadopsi kebijakan yang sudah digunakan oleh negara maju ketika mereka masih dalam tahap berekembang.
Penulis: Luqman Abdul M
Editor: Kenny Setya Abdiel
Daftar Pustaka
Chang, H., 2002. Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. London: Anthem Press
Friedman, M., 1970. The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits. New York: The New York Times Magazine. Diakses melalui: https://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/friedman-soc-resp-business.html
Hayek, F. A., 2005 [1944]. The Road to Serfdom with The Intellectuals and
Socialism. London: The Institute of Ecconomic Affairs
Palley, T. I., 2004. From Keynesianism to Neoliberalism: Shifting Paradigms in Economics. Foreign Policy in Focus. Diakses melalui: http://fpif.org/from_keynesianism_to_neoliberalism_shifting_paradigms_in_economics/
Siddiqui, K., 2012. Developing Countries Experience with Neoliberalism and Globalisation. Research in Applied Economics, Vol 4 (4), hlm.12-37.
Siddiqui, K., 2013. A Review of Pakistanās Political Economy. Asian Profile, Vol 41(1), hlm. 50-65.
Steger, B. M. &Ā Roy, R. K., 2010. Neoliberalism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press
Williamson, J., 2004. A Short History of Washington Consensus. In: Stiglitz, J. & Serra, N., ed., 2008. The Washington Consensus Reconsidered: Towards a
New Global Governance. New York: Oxford University Press
Wolf, M., 2009. Seeds of Its Own Destrucion. Financial Times. Diakses melalui: https://www.ft.com/content/c6c5bd36-0c0c-11de-b87d-0000779fd2ac
Zinn, J., 2001.. Stagflation and the Rejection of Keynesian Economics: A Case of Naive Falsification. MPRA Paper. Diakses melalui: https://mpra.ub.uni-muenchen.de/50536/