“Lambat laun, saya mulai menyadari bahwa konsep jihad yang banyak tersebar di Indonesia adalah konsep yang salah,” tutur Max (bukan nama sebenarnya) seorang mantan narapidana teroris (napiter) dalam tragedi Poso. Sabtu (25-06) lalu, ia menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi bertajuk “Terorisme dan Hate Speech: Tragedi Kemanusiaan dalam Bayang-Bayang Politik” yang diadakan oleh Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Wilayah Nahdlatul ‘Ulama. Max adalah salah seorang pengikut Alm. Santoso alias Abu Wardah, seorang tokoh teroris terkenal dalam tragedi Poso pada Januari 2007. Dalam diskusi ini, ia mengaku senang karena pernah berteman dengan Alm. Santoso, yang juga merupakan pemimpin Mujahidin Indonesia Timur. “Saya menemukan sosok komandan yang fleksibel dan dewasa,” kenang Max.
Max menyebutkan bahwa perkenalannya dengan gerakan radikal memiliki sejarah yang cukup panjang. “Pada saat di bangku pendidikan pesantren, saya dikenalkan oleh berbagai kitab yang salah satunya kitab Jihad Sabilillah,” tuturnya. Selepas mengenyam bangku pondok pesantren selama tiga tahun, ia mengenyam pendidikan di bangku madrasah tsanawiyah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan aliyah di Poso. “Di sana, saya bertemu dengan para pendidik yang sebagian besar adalah ustaz-ustaz Jamaah Islamiyah,” terangnya.
Selama ia mengenyam bangku pendidikan, Max memahami bahwa terdapat dua jenis jihad yang sesuai akan keyakinannya, yakni jihad untuk bertahan di perbatasan kaum muslimin dan jihad untuk menyerang. Ia mulai tergerak untuk mengadakan pelatihan militer bersama teman-temannya setelah ia mengetahui tragedi pesantren Walisongo di Poso pada tahun 2000. “Saya merasa iba, peduli, sekaligus merasa bahwa saya harus bersiap-siap,” terang napiter yang bebas pada tahun 2015 ini.
Max saat ini telah tergabung dalam Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), suatu yayasan yang banyak bergerak dalam usaha deradikalisasi di Indonesia. Yayasan ini didirikan oleh Ali Imron dan Ali Fauzi, mantan napiter Bom Bali 2002. Muhammad In’am, Direktur Pemberdayaan dan Pendampingan YLP yang sore itu juga menjadi pembicara menyebutkan bahwa Ali Imron banyak berpesan kepada dirinya untuk menyebarkan deradikalisasi, perdamaian dan memerangi terorisme. Saat ini, YLP berada di bawah naungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. “Alhamdulilah, saya senang bisa bergabung dengan yayasan ini,” tutur Max.
In’am menuturkan bahwa usaha deradikalisasi yang dilakukan oleh YLP banyak dilakukan secara personal, meski hal ini memakan waktu yang tak sebentar. Salah satu cara yang kerap mereka lakukan adalah berkunjung ke lapas-lapas untuk menyambung tali silaturahmi. Ia menuturkan bahwa YLP juga berusaha memberi pendekatan kepada para napiter dengan cara menjawab kebutuhan mereka. “Misalnya, seperti kebutuhan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga,” terangnya.
Hendrawan Setiawan, wartawan CNN yang sore itu turut menjadi pembicara dalam diskusi juga menyatakan pentingnya pendekatan personal terhadap para napiter. “Meski terdengar retoris, nyatanya ini berhasil,” tuturnya. Ia berkisah mengenai mantan napiter Umar Patek yang tergugah hatinya dan bersedia menjadi pengibar bendera pada saat upacara 17 Agustus. “Salah satu hal yang membuatnya ingin berubah adalah ketika ia mengetahui istrinya menjenguk di lapas Porong dengan mengendarai sepeda,” terang Hendra.
Sementara bagi Puguh Hendrawan, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia yang sore itu juga menjadi pembicara, dalam usaha deradikalisasi, penting untuk melakukan intervensi pada kelompok-kelompok beragama yang eksklusif. Ia juga menyebutkan bahwa penting untuk melakukan pendekatan secara kekeluargaan, seperti yang dilakukan oleh YLP. Puguh menekankan bahwa penting untuk memulai langkah deradikalisasi dengan menyentuh ideologi mereka. “Membenturkan satu ideologi dengan ideologi lain bukanlah langkah yang tepat,” ungkap Puguh.
Hendra menyoroti pentingnya untuk meningkatkan sensitivitas dalam usaha deradikalisasi terhadap masyarakat luas. Menurutnya, penting untuk meningkatkan sensitivitas ke semua pihak. Ia menyoroti kurangnya sensitivitas media dalam memberitakan deradikalisasi. “Media harus berpihak pada isu-isu yang mengadvokasi kepentingan publik, termasuk isu-isu anti-terorisme,”tekannya. “Sudah selayaknya deradikalisasi dilakukan oleh semua pihak,” pungkasnya.
Ashilly Achidsti, salah seorang peserta diskusi menilai diskusi ini mampu menjelaskan secara lebih memberinya pencerahan mengenai terorisme, mulai dari perspektif pengamat hingga perpektif napiter. Misalnya, bahwa kegiatan teror yang terjadi bukan hanya karena mereka menerima skenario pimpinan jaringan, namun bisa secara spontan mereka susun sendiri karena semangat yang muncul dari ideologi. Diskusi ini juga memberinya pemahaman bahwa penting bagi masyarakat untuk lebih waspada dalam menyaring informasi mengenai terorisme dan waspada terhadap aksi terorisme itu sendiri. “Waspada bukan berarti harus takut untuk pergi ke tempat keramaian,” tandasnya.
Penulis: Krisanti Dinda
Penyunting : Muhammad Respati