Menjelang tahun politik 2019, istilah populisme kerap muncul beriringan dengan demokrasi. Namun, apakah sebenarnya populisme itu? Bagaimanakah hubungannya dengan demokrasi?
Populisme dan demokrasi adalah dua hal yang seringkali dikaitkan karena memiliki basis yang sama: kedaulatan kekuasaan rakyat (Abts & Rummens, 2007). Basis serupa ini menciptakan semacam hubungan timbal-balik antara keduanya. Namun, populisme seringkali diidentifikasi sebagai demokrasi, padahal keduanya adalah hal yang berbeda.
Populisme dapat definisikan sebagai sebuah “ideologi” yang membagi masyarakat ke dalam dua kelompok bertentangan antara “orang-orang murni” dan “elit-elit korup” (Mudde & Kaltwasser, 2017). Orang-orang murni ini kerap digambarkan sebagai masyarakat umum yang dirugikan oleh pemerintah korup (para elit). Ide politik yang dibangun adalah bagaimana menjalankan sebuah politik dan pemerintahan berdasarkan pada suara mayoritas masyarakat. Definisi lain menjelaskan bahwa populisme bukanlah sebuah agenda tertentu, tetapi sebuah cara tertentu: mobilisasi massa melawan “mereka” yang di atas (Pelinka, 2008). Kedua definisi tersebut memiliki sebuah kesamaan yang merupakan inti dari populisme: masyarakat, elit, dan kehendak umum (Mudde & Kaltwasser, 2017).
Kebangkitan populisme muncul dengan meningkatnya ketidakpuasan publik atas status quo (Goodhart & Lastra, 2017). Ketidakpuasan ini dikarenakan terjadinya ketidakstabilan ekonomi dan hak-hak sosial yang diabaikan oleh pemerintah. Kondisi ini dipergunakan oleh para populis sebagai legitimasi untuk menyalahkan ‘mereka’ karena mengurangi kemakmuran, peluang kerja, dan layanan publik dari ‘kami’ (Inglehart & Norris, 2016). Narasi-narasi yang dibawa kaum populis pun biasanya mengenai angka kemiskinan yang tinggi, pengangguran dan penggusuran.
Fenomena politik identitas biasanya memiliki pemimpin sebagai titik sentral, tidak terkecuali dalam populisme. Kaum populis biasanya memiliki seorang pemimpin yang karismatik. Menurut Mudde (2017) populisme sering diarahkan oleh pemimpin kuat yang mana melalui perilaku dan ucapan mereka, menampilkan diri mereka sebagai vox populi atau suara rakyat. Ia akan terlihat menjadi sebuah refleksi dari masyarakat itu sendiri. Mewujudkan kehendak masyarakat dan berbicara atas nama mereka. Seorang pemimpin yang karismatik akan mampu memobilisasi massa dengan mudah untuk mencapai tujuannya. Ini menyebabkan ketergantungan populisme terhadap pemimpinnya.
Keresahan-keresahan yang berkembang menjadi isu dibawa kaum populis untuk menyatukan dukungan masyarakat. Mudde (2017) berkata bahwa setelah massa bersatu untuk mendukung, selanjutnya massa diarahkan untuk melawan musuh bersama dalam hal ini biasanya elit partai politik, pemerintah korup. Pengerahan ini biasanya berjalan seiring dengan kritik-kritik terhadap musuh bersama tersebut.
Pemimpin populis memobilisasi massa untuk mencapai ide-ide politik tertentu. Mobilisasi massa ini digunakan melalui media untuk meningkatkan kesadaran isu yang dibawa pemimpin populis. Gagasan “rakyat sebagai kedaulatan” menjadi pengingat fakta bahwa kekuatan politik tertinggi dalam demokrasi berasal dari badan kolektif (Mudde & Kaltwasser, 2017). Oleh karena itu, mobilisasi massa yang efektif adalah hal krusial bagi pemimpin populis agar dapat menggalang dukungan dari masyarakat.
Di berbagai belahan dunia, cara-cara populis bisa dilihat di beberapa negara. Di Rusia, ada pergerakan Narodniki yang membawa semangat revolusi melawan rezim Tsar. Ada pula Donald Trump dengan kebijakan dan visi untuk membangun sistem Republikan di Amerika Serikat. Ia mereformasi pajak dan menyelenggarakan kebijakan anti-imigran. Presiden Argentina, Cristina Fernández de Kirchner, menerapkan Kirchnerisme yaitu sebuah variasi dari Peronisme yang dikembangkan Juan Perón pada awal tahun 50-an. Cara-cara populis tidak hanya digunakan oleh kelompok sayap kiri seperti di Argentina dan Rusia, tetapi juga kelompok sayap kanan seperti di Amerika.
Populisme di Indonesia hadir pada kelompok sayap kanan. Sebuah gerakan Islam baru yang modern. Gerakan ini berevolusi dari bentuk lama yang didominasi borjuis kecil pada era kolonialisme menjadi didominasi kelompok lintas-kelas pada era kapitalisme global (Hadiz, 2014). Berbeda dengan gerakan Islam terdahulu yang dominan berisi para pedagang, kelompok lintas-kelas ini terdiri dari berbagai golongan kelas: golongan menengah dan miskin. Reorganisasi basis kelas ini adalah upaya, seperti dikatakan Hadiz (2014) untuk memastikan akses dan kontrol yang lebih besar atas negara dan sumber daya nyata.
Gerakan Islam baru ini menyerukan perubahan bukan pada perbaikan ekonomi atau kesejahteraan sosial, tetapi lebih kepada peningkatan moralitas Islam. Peningkatan ini ditujukan kepada umat dan orang yang percaya. Konsepsi umat pun berkembang untuk menyoroti massa “orang biasa” yang secara sosial dan ekonomi dirampas, tetapi secara moral lurus dan berbudi luhur yang berdiri menentang elit yang rakus dan tidak bermoral (Hadiz, 2014). Definisi tentang “massa” dalam hal ini terbatas pada orang-orang yang mengamini cita-cita keislaman. Pihak-pihak yang tidak memiliki cita-cita Islam serupa dianggap sebagai oposisi.
Menurut Badan Pusat Statistik (2016) lebih dari 200 juta penduduk di Indonesia beragama Islam, menjadikannya kelompok mayoritas. Saat populisme gerakan Islam baru memandang semua pihak selain Islam adalah oposisi, kecenderungan yang terjadi adalah dominasi mayoritas. Konstitusi Indonesia menjamin demokrasi yang mengatur tidak hanya mengenai kesejahteraan mayoritas masyarakat, tetapi perlindungan kelompok minoritas dan individu. Konstitusi mengatur hal-hal tersebut agar kebhinekaan tetap terjaga karena penerapan kehendak umum masyarakat cenderung untuk menindas (Ferioli, 2015). Kecenderungan ini akan menciptakan keadaan di mana suara-suara minoritas tidak tersampaikan dan akan berujung pada demokrasi yang tidak merepresentasikan semua golongan.
Populisme gerakan Islam baru hanya melihat demokrasi sebatas pada kekuasaan mayoritas. Sempitnya pandangan ini tidak sejalan dengan semangat kebhinekaan di Indonesia. Pelinka (2008) mengatakan bahwa orientasi populisme ini menyebabkan kecenderungan populis untuk mengabaikan hak-hak dasar individu dan minoritas, entah itu etnis, bahasa, atau agama. Demokrasi yang dipandang hanya sebatas vox populi vox dei; suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam hal ini, harus dimengerti bahwa populisme bukan hanya anti-elitis, tetapi juga anti-pluralisme dengan dasar politik identitas yang eksklusif (Müller, 2016). Politik identitas ekslusif ini tentu tidak sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu sebuah semangat menyatukan perbedaan identitas untuk menjadi satu kesatuan bangsa.
Efek dari populisme ini menyebabkan agenda pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi dan kesejahteraan tidak berjalan dengan semestinya. Agenda-agenda tersebut bisa berjalan jika membawa semangat egalitarian. Kebijakan-kebijakan yang bersifat inklusif dan tidak diskriminatif. Populis yang hanya membawa narasi dari satu golongan luput dengan semangat-semangat tersebut, padahal egalitarianisme politik adalah inti dari legitimasi demokrasi (Peter, 2007). Tanpa semangat egalitarian ini demokrasi yang diharapkan tidak bisa berjalan dengan yang dicita-citakan. Sebuah demokrasi yang mampu merepresentasikan suara semua golongan.
Hubungan populisme dalam demokrasi sarat dengan berbagai kepentingan. Jika kepentingan dibangun atas wacana politik identitas tertentu, maka cita-cita yang ada hanya untuk kepentingan golongan tertentu. Populisme dalam hal ini cenderung untuk memecah belah bangsa. Orientasi populisme pun mengalami pergeseran. Populisme hanya digunakan sebagai cara untuk memobilisasi massa dan menggalang dukungan. Pertentangan tidak lagi secara vertikal antara elit yang korup dan rakyat, tetapi secara horizontal sesama masyarakat yang berbeda ideologi. Kita tidak melihat esensi Bhinneka Tunggal Ika yang menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Kita terlalu sibuk melegitimasi golongan sendiri sebagai masyarakat yang “sebenarnya”.
Penulis : Beby Pane
Editor : Pamerdyatmaja
Referensi :
Abts, K. & Rummens, S., 2007. Populism versus Democracy. Political Studies, Volume 55, pp. 405-424.
Ferioli, E., 2015. Rule of Law and Constitutional Democracy. The Turkish Yearbook of International Relations, Volume 46, pp. 91-106.
Goodhart, C. & Lastra, R., 2017. Populism and central bank independence. LSE Research Online, pp. 1-19.
Hadiz, V. R., 2014. A New Islamic Populism and the Contradictions of Development. Journal of Contemporary Asia, 44(1), pp. 125-143.
Inglehart, R. F. & Norris, P., 2016. Trump, Brexit, and the rise of Populism: Economic Have-Nots and Cultural. Harvard Kennedy School Research Working Paper Series, p. 6.
Mudde, C. & Kaltwasser, C. R., 2017. Populism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
Müller, J.-W., 2016. How to Think – and How Not to Think – about Populism. Comparative Politics Newsletter, 26(2), p. 62.
Pelinka, A., 2008. The Rise of Populism. In: H. Swoboda & J. M. Wiersma, eds. Democracy, Populism and Minority Rights. s.l.:PSE, Socialist Group in the European Parliament, p. 39.
Peter, Fabienne . 2007. The Political Egalitarian’s Dilemma. Journal Ethic Theory Moral Prac V 10. Springer Science. 373–387
https://nasional.kompas.com/read/2017/01/15/16143761/ancaman.gerakan.populis.terhadap.demokrasi.di.indonesia. Diakses pada 31 Maret 2018 pukul 21.51
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321. Diakses pada 9 April 2018 pukul 22.09
2 komentar
Teruskan pemahaman politik kalian wahai generasi penerus…dan pilih kombinasinya…demi cita cita NKRI tetap utuh berdasar Pancasila dan UUD 45. Sebgai pemimpin penerus bangsa…yang mmg UGM gudangnya…politikus handal. Bravo
Jokowi itu juga termasuk pemimpin populis-sosialis, cuma pendekatannya tidak sekeras kubu Prabowo saja. Malah sejak dulu Jokowi pakai strategi populisme.