Mungkin jumlah partai kita (saat ini) sudah makin sedikit, tidak ada lagi kecurigaan untuk menerima etnis lain. Kita tidak punya pengalaman. Ibarat perkembangan anak, mungkin sejak usia delapan tahunĀ perkembangan wawasan politiknya dimatikan.
Dinamika dalam 20 tahun reformasi menjadi ketertarikan bagi BALAIRUNG untuk menggungah kembali arsip yang memberikan rangkuman penuturan tentang nasionalisme yang masih lekat dengan tindak represif. BALAIRUNG pernah mengangkat artikel ini pada Majalah Balairung Edisi Khusus/TH. XIV/1999 dalam rubrik Wawancara Khusus. Demi keterbacaan artikel, kami melakukan penyuntingan minor yang meliputi diksi dan bahasa sebelum mengunggah di laman ini. Berikut adalah artikelnya.
Tipikal sejarah Indonesia yang gelap, menurut Dr. Nasikun, telah menciptakan trauma. Kita yang semestinya membangun politik nasional, dengan konsekuensi multietnisitas, justru dianggap mempengaruhi perpecahan nasional. āTrauma ini yang membuat kita tidak berani melakukan redefinisi gerakan politik untuk, pelan-pelan, membuka ruang demokratisasi,ā papar sosiolog yang juga dosen Fisipol UGM ini.
Doktor lulusan Michigan State University, USA, itu yakin bahwa percakapan yang makin terbuka dari dialog ideologis ke sosial ekonomi akan memperlebar ruang untuk emansipasi. Sampai titik ini, menyatukan masyarakat yang multietnik ke dalam masyarakat nasional, menjadi realistis.
Bulan Maret laluādi sela-sela diskusi āAgenda Ekonomi-Politik Pascapemilu 1999ā, yang diselenggarakan KAGAMA di JakartaāHery Trianto dari BALAIRUNG berhasil mewancarai dekan Fisipol UAJY ini. Berikut petikannya:
Sebenarnya apa makna yang bisa ditangkap dari nasionalisme ?
Ada dua tren. Pertama adalah respon terhadap internasionalisme, atau lebih tepat, kalau kita sebut neokolonialisme. Kedua, tren perjumpaan antara masyarakat subnasional yang menjadi bagian dari pergaulan internasional tadi. Ada pengalaman yang sama antara masyarakat subnasional terhadap neokolonialisme.
Lebih dekat mana, nasionalisme dengan agama, atau dengan ideologi ?
Pada perkembangan awal, memang agama. Ketika percakapan makin intensif antara kelompok satu dengan yang lain, justru mempunyai makna ekonomi. Dan, itu harus ditransformasikan dari nasionalisme yang dasarnya ideologi menjadi (nasionalisme) yang dasarnya kesetaraan dalam bidang ekonomi.
Seberapa jauh hubungan kesetaraan itu, dalam hal ini masyarakat yang emansipatoris dengan nasionalisme ?
Itu tadi, kalau percakapan makin terbuka dari dialog ideologis ke sosial ekonomi, makin besar ruang untuk emansipasi. Artinya, orang diemansipasikan dari ideologi yang membudakkan. Bukan hanya ekonomi yang bisa membudakkan, tapi ideologi juga, bahkan agama. Agama bisa memperbudak kita, ketika agama tidak dipahami secara rasional. Jadi, untuk mengemansipasikan kita secara ideologis, kita memang harus setara di bidang ekonomi. Menurut saya, realistis kalau asal-usulnya, masyarakat multietnik menyatukan diri pada masyarakat nasional. Sehingga, nanti akan terjadi dan emansipasi.
Adakah catatan penting dari perkembangan nasionalisme yang pernah dilalui oleh bangsa Indonesia ?
Dimulai dari tahapan pertama, ketika generasi pertama kita mengalami nasionalisme yang dihasilkan. Jika memakai bahasa sekarang, nasionalismenya disebut politik persatuan kesatuan primitif. Pergulatannya waktu itu tentang bagaimana menyatukan masyarakat subnasional menjadi satu kesatuan nasional untuk menghadapi tekanan kolonialisme. Pertanyaan pokoknya, bagaimana masyarakat subnasional, Jawa, Sumatra dan seterusnya itu, memberikan otoritas pada pemerintahan nasional. Disebut primitif karena instrumen yang dipakai adalah instrumen kekerasan. Kalau ada birokrasi pemerintahan, birokrasi ekonomi, maka pendekatan represif yang dikedepankan. Nasionalisme generasi kedua, yaitu ketika perkembangan nasional sampai pada politik industrialisasi dan mempunyai obsesi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini berimplikasi Ā bagaimana memanfaatkan aktor-aktor ekonomi besar untuk bisa mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Saya kira, Orde Baru pada tahapan ini. Dan, yang unik dari dari Orde Baru, meskipun nasionalisme kita sudah mencapai tahapan kedua, namun instrumen yang pertama (kekerasanāred) masih dipakai, terutama penggunaan organisasi kekuatan fisik. Tahapan ketiga, ketika perkembangan politik Indonesia memasuki national welfare, bagaimana melindungi kepentingan masyarakat kecil dari kekuatan ekonomi besar. Tahap tiga ini, sebenarnya, menjadi tuntutan dan pergulatan kita menghadapi kecenderungan pemerintah, yang memberikan posisi sangat menguntungkan pada aktor-aktor ekonomi besar.
Jadi kekerasan itu inheren dalam perkembangan nasionalisme ?
Itu mungkin, karena ada faktor lain, yaitu Indonesia yang sangat multietnik, multikultural, sehingga transformasi politik nasionalisme yang pertama, kedua, maupun ketiga itu, tidak solid dan tidak lancar. Akibatnya, kita yang seharusnya sudah melepaskan instrumen fisik dalam menyatukan masyarakat nasional, ternyata ketika masuk tahap kedua, tidak dibuang, bahkan makin kuat. Seperti industrialisasi yang kita dorong, antara lain dengan dukungan instrumen nasionalisme pertama. Padahal, kita seharusnya telah memulai untuk berkembangnya nasionalisme tahap ketiga, yang berpihak pada kepentingan rakyat. Yaitu, bagaimana pertumbuhan ekonomi dari nasionalisme tahap kedua didistribusikan ke dalam national welfare. Ironisnya, disaat krisis, kita justru terperangkap oleh kebutuhan untuk melindungi yang besar.
Jika kita melihat sejarah Indonesia dan negara-negara lain, apakah untuk menyatukan masyarakat menjadi sebuah bangsa harus dengan darah ?
Ini mungkin tipikal dari pengalaman sejarah kita yang gelap, kemudian menciptakan trauma. Gelap pada tahun-tahun 50-an, padahal eksperimen kehidupan berbangsa kita, pada masa itu, belum tahu persis akan sukses atau tidak. Tiba-tiba, kita merasa berkembang ke arah mengingkari persatuan dan kesatuan. Kemudian turun dekrit presiden, dan sesudah G-30/S PKI, kita harus membangun politik nasional dengan konsekuensi multietnisitas. Namun hal ini dianggap mempengaruhi perpecahan nasional. Kemudian dihapuskan dengan cara menyatukan semuanya menjadi satu asas : Pancasila.Ā Padahal, Pancasila merupakan formula ideologi dari penggunaan kebijakan politik untuk menutup multietnisitas, multikulturalitas, menjadi satu kekuatan pada pusat kekuatan yang sempit. Trauma ini yang membuat kita tidak berani melakukan redefinisi gerakan politik, untuk pelan-pelan membuka ruang demokratisasi. Bicara federalisme saja dikira pengingkaran terhadap Pancasila. Trauma pada tahun 50-an, yang belum jelas benar, menjadi sistem politik etnis yang eksesif dan disolusi lewat pemusatan kekuasaan di satu tangan.
Ben Anderson mengatakan, nasionalisme itu tidak dibangun atas agama, suku, atau ras, melainkan atas sesuatu yang dibayangkan, apakah itu relevan bagi Indonesia yang beragam ?
Saya memahaminya tidak dibangun di atas suku tertentu, agama tertentu, tetapi kesepakatan atas semuanya. Saya kira, Ben maksudnya begitu. Bukan atas dasar kesukuan tertentu, tapi dibangun atas percakapan yang terbuka atas realitas suku yang banyak itu. Nasionalisme itu memang harus terus-menerus dibentuk. Meski dalam masyarakat yang sarat dengan etnik dan agama,Ā tidak apa-apa, asalkan mereka dibiasakan dalam perbedaan pendapat.
Sejauh mana spirit keagamaan dan spirit kesukuan mengilhami kita dalam mewujudkan bayangan berbangsa ?
Sekian puluh tahun kita dihalangi untuk berpolitik secara terbuka dengan perbedaan kultural yang memang ada. Dan, sampai sekarang ini, kita belum punya kemajuan yang cukup. Begitu diberi ruang yang luas, ratusan partai yang muncul. Mestinya, hal itu dibiarkan tumbuh dari tahun 50-an. Mungkin jumlah partai kita (saat ini) sudah makin sedikit, tidak ada lagi kecurigaan untuk menerima etnis lain. Kita tidak punya pengalaman. Ibarat perkembangan anak, mungkin sejak usia delapan tahun dimatikan perkembangan wawasan politiknya, sehingga sekarang kita masih pada usia delapan tahun untuk menenggang perbedaan yang ada.
Menurut anda, bisakah spirit macam itu dihilangkan sama sekali ?
Jelas lambat, tapi bisa kalau diberikan kesempatan saling menenggang, dan perbedaan agama tidak menjadi saling dominasi atas yang lain. Jembatannya adalah ekonomi. Tapi, harus hati-hati ketika mendorong perkembangan ekonomi, jangan sampai ekonomi justru menggerakkan hubungan dominasi antar etnis. Misalnya, prioritas pada suku tertentu. Itulah yang berkembang di berbagai tempat. Saya memahami, kerusuhan itu digerakkan oleh sebab ekonomi. Menurut Peter Blow, kerusuhan digerakkan oleh empat struktur sosial, yaitu pendatang dan penduduk asli, yang kebetulan agamanya berbeda, dan kebetulan sukunya berlainan, di mana salah satu darinya, mempunyai kemampuan akomodasi ekonomi yang lebih kuat. Itu yang sekarang terjadi.
Benarkah Amerika bisa dijadikan contoh pengelolaan ekonomi ?
Saya kira benar, terutama, ketika perbedaan makin dipersempit, ketika konsep nasionalisme dipercakapkan terus-menerus. Wacana percakapan nasionalisme ini, pada akhirnya, harus punya penentu di tingkat ekonomi, dan ekonomi memang jembatannya politik.
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh: Pamerdyatmaja dan Abilawa Ihsan