
Peserta aksi dari Paguyuban Buruh Gendong “Sayuk Rukun” DIY sedang menari di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret
@Arjun/Bal
“Upah-upah dari hasil kerja keras pekerja rumahan tidak diberikan oleh pemilik perusahaan karena tidak ada peraturan dari pemerintah,” ujar Hikmah Diniah dari Divisi Kajian, Advokasi dan Pendidikan Yayasan Annisa Swasti (YASANTI). Hikmah tergabung dalam Aliansi Pekerja Rakyat Yogyakarta yang mengadakan aksi longmars di sepanjang Jalan Malioboro. Aksi ini diadakan untuk memperingati Hari Buruh pada Selasa (1-5) pagi. Peserta aksi didominasi oleh para perempuan yang berasal dari Serikat Perempuan Pekerja Rumahan Kota Bantul dan Serikat Pekerja Rumah Tangga Daerah Istimewa Yogyakarta. Aksi ini menuntut hak ketenagakerjaan bagi buruh informal perempuan khususnya buruh gendong dan pekerja rumahan.
Hikmah menyatakan, buruh gendong merupakan buruh angkut barang dari satu tempat ke tempat lain. Buruh gendong tidak terlindungi dari peraturan ketenagakerjaan karena statusnya sebagai buruh informal. Baginya, tidak adanya peraturan tersebut menyebabkan nihilnya perlindungan keamanan kerja bagi buruh gendong.
Untuk melindungi buruh gendong, Hikmah menerangkan bahwa YASANTI telah memberikan bantuan kepada buruh gendong. Upaya-upaya tersebut terdiri dari pendampingan dan pemberian advokasi kepada buruh gendong terkait keselamatan dan keamanan kerja. “Meskipun begitu, buruh gendong belum dapat menentukan keputusan dalam ranah dinas pasar,” tambah Hikmah.
Masalah perlindungan ketenagakerjaan juga dialami oleh pekerja rumahan. Menurut Warisah selaku perwakilan Perempuan Pekerja Rumahan Bantul, pekerja rumahan adalah pekerja yang mengambil bahan dari pabrik untuk dikerjakan di rumah. Dalam aksi ini, ia menjelaskan bahwa pekerja rumahan juga menuntut pengakuan atas hak ketenagakerjaan. Menurut Warsinah, hal ini diperparah oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dianggap belum mewadahi dan melindungi hak-hak pekerja rumahan. “Kami selalu menuntut kepada pemerintah, kami ingin dilindungi oleh pemerintah karena itu hak kami,” tegas Warisah.
Selain perlindugan, pemenuhan upah layak juga menjadi tuntutan utama pada aksi kali ini. Bagi Warisah, pendapatan para pekerja rumahan sangat bergantung dari pesanan pabrik dan upah yang didapat sangat kurang dari upah minimum. Ia merasa bahwa pekerja rumahan perlu mendapatkan kenaikan upah karena kondisi pendapatan mereka yang tidak tentu. “Hasil yang kami dapatkan itu sangat-sangat rendah dari upah minimum kabupaten atau kota,” tutup Warisah.
Untuk buruh gendong, Hikmah menambahkan upah mereka hanya ditentukan dari pembeli jasa. Upah mereka berkisar antara Rp2.000,00 sampai Rp3.000,00 untuk sekali pengangkutan yang mana sangat jauh dari upah layak. “Jika terpaksa, mereka harus mengambil beban bahkan sampai 100 kg demi mendapatkan upah,” tutur Hikmah.
Giyanto dari Perhimpunan Serikat Buruh menyatakan bahwa peran buruh gendong dan pekerja rumahan begitu penting di Indonesia. Dirinya menyatakan bahwa buruh gendong dan pekerja rumahan merupakan pekerja sektor informal yang mampu menopang perekonomian di Indonesia. “Peran buruh-buruh dari sektor informal sangat penting di Indonesia, hal ini terbukti dengan terpakainya jasa-jasa mereka selama puluhan tahun,” tambahnya.
Penulis : Muhammad Irfan Hafidh
Editor: Bernard Evan Kanigara