Terpusatnya komando militer pada pemerintahan Soeharto sepanjang Orde Baru sesungguhnya memendam efek buruk di masa datang. Potensi terjadinya junta (dewan pemerintahan) militer setelah kekuasaan Soeharto runtuh sangat tinggi. Friksi-friksi di tubuh militer yang selama ini terpendam akan bermunculan.
Bertepatan dengan 20 tahun reformasi, BALAIRUNG menerbitkan beberapa arsip yang berhubungan dengan reformasi dan dinamikanya. Dalam kesempatan kali ini, BALAIRUNG menaikkan rubrik Temu Wicara yang membahas soal kekhawatiran terhadap posisi dan peran militer pasca-Soeharto turun sebagai konsekuensi dari adanya dwifungsi ABRI. Temu Wicara merupakan rubrik yang menuliskan hasil diskusi yang diselenggarakan BALAIRUNG ketika itu dengan mengundang beberapa aktivis maupun tokoh yang kompeten di bidangnya. Sebelumnya, artikel ini pernah dimuat dalam Majalah BALAIRUNG No. 27/TH. XIII/1998. Demi keterbacaan naskah, kami melakukan penyuntingan minor yang meliputi diksi dan bahasa sebelum menerbitkannya di laman ini. Berikut adalah artikelnya.
Jika berbicara tentang politik Indonesia kontemporer, maka pembicaraan juga akan menyinggung keberadaan militer. Fenomena militer Orde Baru sangatlah menarik. Ada keunikan tersendiri yang membedakan militer Indonesia dengan negara lain. Oleh karena keunikan inilah, militer Orde Baru mampu mempertahankan legitimasinya di panggung kekuasaan sampai sekarang.
Dalam temu wicara kali ini, BALAIRUNG kembali menggagas keberadaan militer di Indonesia terutama mengenai posisi dan peranannya setelah kepemimpinan Soeharto berakhir. Apakah militer akan menjadi junta seperti di negara-negara Amerika Latin, atau warnanya akan berubah dengan mengurangi keterlibatannya di panggung politik?
Dalam diskusi kali ini, BALAIRUNG mengundang M. Najib Azca (wartawan tabloid Adil), Eric Hiariej (Staf Institute Research Empowerment), dan R. Kristiawan (pegiat majalah Sintesa Fisipol UGM). Secara terpisah, Balairung  mewawancarai Kapten Alamsyah (Kepala Urusan Hubungan Masyarakat Akademi Militer yang sedang menempuh kuliah S2 Program Ketahanan Nasional Pascasarjana UGM). Diskusi ini dipandu oleh Asep Mulyana dan dituliskan kembali oleh Melanie.
Selintas Militer Kemarin
Untuk mengerti bagaimana wajah militer sehabis Soeharto turun takhta, setidaknya kita harus mengerti bagaimana militer sekarang dan kemarin. Di samping itu, memahami manuver politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terjadi selama kurun 30 tahun merupakan hal terpenting. Sebab, dengan ini, gambaran mengenai bagaimana wajah militer mendatang dapat sedikit terjelaskan.
Apa dan bagaimana gerak dan intervensi militer dalam kurun perjalanan bangsa selama ini? Menurut Kristiawan, terdapat dua model intervensi militer dalam sosial politik pada masa Orde Baru sampai tahun 1990-an. Model itu berbentuk intervensi politik dan intervensi sipil.
Dalam melakukan intervensi politik, instrumen utama yang digunakan oleh ABRI adalah Partai Golongan Karya (Golkar). Keberadaan ABRI dalam Golkar sangatlah dominan sehingga melemahkan kekuatan sipil. Penunjukan Soedharmono sebagai Ketua Golkar merupakan langkah awal promosi ABRI terhadap Golkar. Efeknya, “partai kuning” ini memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum. Dengan realitas ini, militer Golkar semakin menancapkan kuku dominasinya.
Sedangkan intervensi militer ke sipil, bisa dilihat dari bagaimana hubungan ABRI dengan Islam. Pada awal Orde Baru, militer merangkul Islam yang mayoritas. Meski pada kesempatan selanjutnya, muncul kekuatan-kekuatan Islam yang mampu membuat militer menjadi khawatir, ragu, dan curiga kepada Islam. “Di samping adanya intervensi politik, ada pula intervensi sosial terhadap kalangan sipil lewat kurikulum kewiraan, Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), atau kewajiban belajar Pendidikan Bela Negara bagi siswa SMP dan SMA,” lanjut Kristiawan.
Dalam proses intervensi sosial, instrumen yang paling dominan adalah kekaryaan ABRI. Argumen ini diperkuat oleh sejumlah bukti bahwa ABRI menduduki banyak pos-pos penting dalam pemerintahan, meski terjadi penurunan pada pertengahan tahun 1990-an. Namun, apakah penurunan ini langsung menguatkan sipil? Jawabannya adalah tidak. Kristiawan menyimpulkan bahwa selama 30 tahun berdirinya Orde Baru, ABRI berusaha tampil menjadi kekuatan yang paling dominan dalam seluruh kehidupan sosial dan politik.
Bila ditarik ke belakang, Najib melihat bahwa aktivitas militer yang begitu jauh tidak terlepas dari ideologi mengenai dwifungsi ABRI yang dibawa oleh Jenderal A. H. Nasution. Konsep yang juga disebut sebagai “jalan tengah” inilah yang membuat militer Indonesia berbeda dengan negara lain. Dwifungsi menjadi pembenaran bagi ABRI untuk memasuki ruang-ruang sipil dan mendominasi sampai sekarang.
Sejak pertama Orde Baru berdiri, militer telah melakukan intervensi dalam pemerintahan. Cara ini dilakukan dengan menempatkan perwira-perwira ABRI di pos-pos penting pemerintahan. Sejak saat itu, ABRI mulai campur tangan dalam proses pengambilan kebijakan politik.
Lebih jauh, Najib menjelaskan bahwa konsep dwifungsi merupakan upaya militer untuk melakukan politik wacana dengan cara yang sangat canggih. Diskursus yang diterapkan oleh ABRI berangkat dari kesadaran bahwa kekuatan senjata tidak mempunyai manfaat bagi militer sendiri. “Dari situ, jelas sulit untuk mengharapkan terjadinya kudeta yang intens dari militer,” ucap Najib.
Meski demikian, menurut Alamsyah, konsep dwifungsi ABRI telah ada sejak pemerintahan Indonesia berdiri. “Ketika Presiden Soekarno menentang, Pak Dirman tetap bergerilya. Militer tetap eksis. Bila militer di negara lain dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi tidak dengan militer di Indonesia,” ungkapnya. Dengan sejarah yang seperti itu, bagi Alamsyah, keterlibatan militer yang banyak menduduki jabatan-jabatan strategis struktural bukanlah sebuah intervensi.  Namun, permintaan tersebut justru berasal dari Badan Legislatif melalui Markas Besar ABRI. “Konsep dan orientasi ABRI sejak awal adalah pengabdian, maka permintaan untuk duduk sebagai gubernur, bupati, wali kota, dan seterusnya harus dipenuhi,” katanya.
Lebih jauh, Alamsyah menjelaskan bahwa ABRI tidak pernah diorientasikan untuk menduduki jabatan struktural. Tujuan ABRI hanya pengabdian terhadap rakyat dan bangsa. Militer tidak pernah menoleransi kepentingan perseorangan. Sementara itu, untuk mewujudkan fungsi sosialnya, ABRI memfungsikan diri sebagai pengontrol ketidakselarasan (instabilitas) dari pusat sampai pelosok-pelosok.
Alamsyah juga menambahkan bahwa ABRI berpolitik bukan untuk meraih jabatan, akan tetapi untuk mengabdi lewat jabatan struktural. “Tujuan ini dicapai dengan cara duduk di legislatif atau menjadi pimpinan-pimpinan. Di situlah realisasi dwifungsi ABRI,” terang Alamsyah.
Dengan salah satu pemahaman dwifungsi yang begitu kuat, tidaklah mudah untuk mencabut itu semua. Menurut Eric, dwifungsi telah mendarah daging dalam tubuh militer Indonesia. Hal tersebut membuat kita mustahil untuk membayangkan profesionalisme dalam tubuh militer yang tugasnya semata-mata untuk menjaga keamanan negara.
Militer Pasca Soeharto
Dengan menguatnya militer lewat dwifungsi yang begitu hegemonik, maka muncul pertanyaan mengenai bagaimana wajah militer pasca turunnya Soeharto mendatang. “Militer tetap militer, ia adalah tentara dan tidak akan pernah berubah sifat kediktatorannya. Dus, ada atau tanpa Soeharto, militer di Indonesia seperti di Bulgaria, Rumania, dan Uni Soviet,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Najib. Menurutnya, satu-satunya aktor politik dalam Orde Baru adalah militer dengan Soehartonya. “Ketika kemudian muncul polemik tentang variabel umur (Soeharto sudah berusia 77 tahun), hal itu terlewati begitu saja dan militer tetap dominan,” ungkapnya.
Dengan peta seperti itu, menurutnya, yang dapat dilakukan untuk mengerti bagaimana militer pasca-Soeharto adalah dengan melihat bagaimana proses transisi kepemimpinan pasca-Soeharto. Namun, yang patut dicermati di sini adalah sangat kecilnya kemungkinan terjadi konflik di tubuh militer sendiri. Hal tersebut disebabkan karena mereka punya kekhawatiran jika terjadi kudeta-kudeta lainnya di kalangan internal. “Karena transisi berdarah oleh satu kelompok akan menimbulkan iri pada kelompok lain, sehingga dia ingin melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, militer pun tetap menunggu Soeharto turun—walaupun tidak puas—dan menghindari terjadinya transisi berdarah,” ujarnya.
Analisis ini diperkuat oleh Alamsyah. Menurutnya, kudeta tidak akan pernah terjadi. “ABRI tidak menginginkan terjadinya kudeta. Selama empat tahun saya belajar konsep militer, tidak ada kata-kata ABRI ingin melakukan kudeta,” tandasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, selama ini militer loyal terhadap semua angkatan, baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Junta militer merupakan pantangan bagi kalangan militer. “Pernah ada kudeta di tahun 1960-an dan 1970-an yang dilakukan oleh milisi-milisi sempalan yang tidak sejalan dengan komando pimpinan ABRI,” tambah Alamsyah.
Dengan komitmen seperti itu, sepeninggal Soeharto, militer di Indonesia akan tetap seperti yang sekarang. “Tidak ada kemungkinan lain setelah Soeharto turun. Situasi ini tidak menjadi masalah bagi militer,” ujar Kristiawan.
Meski demikian, setelah turunnya Soeharto, dapat dipastikan akan terjadi banyak keretakan di tubuh militer karena saling bersaingnya kekuatan-kekuatan potensial di dalamnya. “Tanpa Soeharto pun sebenarnya militer bisa berjalan sendiri. Namun, karena selama ini Soeharto mampu meredam persaingan itu, konfliknya tidak muncul kuat di permukaan,” ungkap Eric.
Militer dan Agenda Demokrasi
Tidak banyaknya perubahan dalam militer menjadikan kita pesimis terhadap kemungkinan militer menciptakan iklim yang demokratis di masa mendatang. Namun, bukan berarti bahwa demokrasi di negeri ini sudah selamanya mati. Ada faktor eksternal yang mungkin dapat menyokong tumbuhnya demokrasi di Indonesia.
Amalinda Savirani, salah satu peserta diskusi melihat kapitalisme global dapat memengaruhi pengambilan keputusan atau strategi politik lain dari militer. Variabel ini penting untuk diperhatikan oleh siapapun yang bertindak sebagai pengambil keputusan kelak. “Berbagai pakar pembangunan seperti Huntington, O’ Donnel, Lawrence Whitehead, percaya bahwa pengaruh eksternal memengaruhi demokratisasi,” ungkapnya.
Menanggapi Amalinda, Eric tidak sependapat dengan asumsi ini. “Saya tidak percaya pada kekuatan semacam eksternal itu, seperti misalnya International Monetary Fund (IMF). Jangan dikira mereka benar-benar membantu kita, mereka tidak peduli dengan demokrasi atau tidak. Bagi mereka, yang penting adalah uang pinjamannya kembali,” tegasnya.
Menurut dosen Fisipol UGM ini, badan-badan keuangan dunia mempunyai kepentingan sendiri yang berbeda dengan kepentingan demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, masuknya pengaruh eksternal seperti kapitalisme global dan globalisasi dianalogikan sebagai pedang bermata dua. Sisi yang satu memperkuat proses demokratisasi seperti yang terjadi di Eropa Timur. Akan tetapi, di sisi lain, ia mengidap ketidakberesan. “Sebagai contoh, keterlibatan Amerika Serikat dalam politik negara lain. Selama ini, mereka tidak peduli dengan adanya demokrasi atau tidak. Di Indochina, Amerika Serikat (AS) malah mendukung jenderal paling otoriter di kawasan tersebut merupakan bukti ketidakpedulian AS terhadap demokratisasi,” jelas Eric.
Kemungkinan pengaruh eksternal mendukung proses demokratisasi masih menjadi kontroversi. Kondisi ini menegaskan bahwa bantuan atau tekanan yang berasal dari dunia internasional untuk demokratisasi di Indonesia tidak dapat mutlak diharapkan positifnya. Namun, pernyataan bahwa tekanan internasional merupakan pedang bermata dua sebenarnya lebih ditujukan untuk pemerintah Orde Baru.
Menurut John Gun, peserta diskusi yang lain, tuntutan IMF atau tekanan AS akan melahirkan citra bahwa pemerintah Orde Baru sudah terpojok di mata dunia internasional dan rakyat Indonesia sendiri. Bantuan IMF yang sebagian besar disokong oleh AS akan mendorong pemerintah Orde Baru membuat kebijakan-kebijakan yang menindas kaum buruh, petani, dan proletar. “Itu justru meningkatkan resistensi gerakan massa di Indonesia,” tandas John.
Berbicara soal pengaruh internasional, bagi Eric yang terpenting adalah bagaimana kesehatan pasar di dunia. Menurutnya, jika pasar dunia sehat, maka tidak akan ada perubahan di dunia. Perubahan hanya bisa terjadi jika pasar dunia mengalami krisis atau ketidakseimbangan.
Wacana Kontra Militer
Fenomena kerusuhan yang terjadi di berbagai kota belakangan ini selalu diselesaikan militer dengan pendekatan kekerasan. Hal tersebut menjadi topik diskusi yang menarik. Terutama dalam kaitan dengan apakah fenomena itu bisa menjadi parameter dalam melihat wajah militer pasca-Soeharto. Bisa jadi kekerasan selama ini merupakan cermin dari militer Indonesia pasca-Soeharto. Seandainya itu betul, maka ada kerugian besar sekaligus kesalahan bagi militer.
Menurut Najib, ketika militer tampil sangat keras, risiko yang harus ditanggung adalah kehilangan dukungan rakyat. Militer seharusnya menyadari bahwa ia tidak dapat memerintah dengan senapan. “Dengan demikian, mereka seharusnya melakukan pendekatan persuasif dan mengutamakan negosiasi,” jelasnya.
Lantas, bagaimana dengan masyarakat sipil? Apa yang bisa kita perbuat dan menyikapi perlakuan militer yang sedemikian otoriter? Najib mengatakan bahwa dekonstruksi terhadap hegemoni militer dalam setiap lapisan dan sektor kemasyarakatan adalah salah satu hal yang dapat dilakukan. “Kita bisa menyuburkan wacana-wacana tandingan dalam masyarakat,” tutupnya.
Penulis: Melanie
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Citra Maudy dan Muhammad Respati