Sore itu kami mengunjungi Rumah Komik MDTL. Sembari tersenyum, seorang pria bertato mempersilakan kami masuk. Dinding tempat itu dipenuhi sampul komik lawas dan beberapa lukisan. Ada beberapa rak buku yang mengelilingi kursi tempat kami berbincang. Pria itu adalah Ugo Untoro, seniman sekaligus pemilik dari Museum Dan Tanah Liat (MDTL).
Ugo tumbuh di keluarga yang akrab dengan kesenian. Ia menuturkan bahwa sanak saudaranya merupakan seniman, sehingga Ugo terbiasa dengan karya seni seperti wayang, komik dan menggambar. “Orang tua saya mengizinkan lantai dicorat-coret sama kapur, asalkan dibersihkan lagi,” ceritanya.
Sedari kecil Ugo gemar membaca komik dan buku-buku. Bahkan buku yang berisi lukisan koleksi Soekarno, menjadi salah satu perkenalan Ugo dengan seni lukis. Mulanya, ia tidak pernah berpikir akan menjadi seorang pelukis. “Awalnya ingin jadi penyair, komikus, penulis, bukan jadi pelukis,” ungkapnya.
Berkat saran bapaknya, ketika lulus SMA pada tahun 1988, Ugo merantau dari Purbalingga ke Yogyakarta untuk berkuliah jurusan Seni Lukis di Institut Seni Indonesia (ISI). Ugo beralasan bahwa ia tidak mampu berkuliah di jurusan lain. “Saya lelah belajar lagi, bahkan sempat mau menganggur dulu,” kenangnya.
Setelah duduk di bangku kuliah, Ugo baru paham bahwa tidak mudah membuat karya yang bisa diterima orang banyak dan laku di pasar. Menurut penuturan Klowor Waldiyono, pelukis yang juga adik tingkat Ugo semasa kuliah, dirinya dan Ugo sampai harus menjajakan karya lukis mereka. “Kami berkendara ke Parakan hingga Temanggung, membawa foto lukisan buat ditawarkan dan dijual,” ucap Klowor saat ditemui di kediamannya.
Lukisan Ugo juga tidak diterima di lingkungan akademis. Saat berkuliah, lukisan Ugo sempat ditolak oleh dosennya karena tidak sesuai dengan gaya tertentu. Ugo malah merasa tidak cocok dengan gaya-gaya yang menjadi tren saat itu, seperti surealisme atau naif. Ia berpikiran untuk membuat gaya sendiri tanpa mengikuti gaya manapun, melainkan keinginan sendiri.
Penolakan tersebut membuat Ugo ingin menciptakan sebuah wadah untuk menampung karya-karyanya. Sekitar tahun 1998, ia mulai membuka sebuah studio untuk dirinya berkarya. Ia juga ingin tempat tersebut bisa dijadikan tempat berkumpul para pelukis untuk menyalurkan ide-ide mereka. Klowor mengatakan para seniman masa itu merasa tertampung.
Ketika studio yang Ugo bangun semakin disesaki oleh karya-karya para pelukis yang ikut berkarya, ia membangun Museum Dan Tanah Liat (MDTL) sebagai tempat untuk memamerkan karya-karya yang dikira pantas untuk dipamerkan. Museum itu bukan hanya sebagai tempat untuk pameran tapi juga sebagai ruang publik bagi para seniman.
Walau namanya Museum Dan Tanah Liat, tetapi museum ini tidak memiliki koleksi karya seni dari bahan tanah liat. Kenyataannya museum tersebut lebih banyak memamerkan karya-karya seni lukis dan beberapa patung. Nama “Tanah Liat” ia ambil dari nama anak pertamanya. Nama tersebut sudah digunakan dari awal museum dibuat. “Memang dari awal sudah menggunakan nama ‘Tanah Liat’ bahkan sebelum menjadi museum,” ungkap Ugo.
Pada perkembangannya nama “Tanah Liat” seolah menemukan artinya sendiri. Tanah Liat yang sifatnya fleksibel menjadi sejalan dengan sifat MDTL sekarang, sebagai ruang publik. Ruang publik yang dimaksud ialah MDTL tidak hanya sebagai museum atau ruang pameran saja, tapi kegiatan berkesenian lain. Kegiatan tersebut seperti tempat belajar bagi mereka yang ingin tahu tentang seni lukis. Selain itu, museum ini juga terbuka untuk umum yang ingin berbagi ide atau hanya ingin tahu tentang seni khususnya seni lukis.
Usaha Ugo membangun ruang publik bagi para seniman sempat mengalami hambatan. Keadaan ekonomi Ugo pada masa itu masih terbilang sulit. Ugo bercerita bahwa ia pernah menjadi pelukis potret di Malioboro dan bekerja serabutan di biro iklan. Dengan dana seadanya dan semua bahan dibuat sendiri, ia bisa melakukan pameran. “Yang terpenting itu kita bisa mengadakan pameran sesuai keinginan kita,” kenangnya. Ia juga bercerita bahwa ia juga pernah harus menjual barang-barangnya untuk keperluan pameran.
Ugo dengan santai mengatakan bahwa tantangan dalam berproses itu wajar untuk mengajarkan kita lebih semangat lagi dalam mencapai tujuan. Ia juga mengaku semua hal yang dicapainya saat ini tidak terlepas dari dukungan orang-orang terdekat, terutama dari keluarga kecilnya. Sang istri mendukung penuh kegiatan Ugo di MDTL bahkan ikut andil mengurus administrasi, yang diakui Ugo tidak mampu ia urusi.
Stevan, salah satu pelukis muda yang juga pernah pameran di MDTL mengatakan bahwa ia merasakan bagaimana Ugo dan MDTL membantunya dalam menjaga semangatnya dalam berkarya. Stevan yang juga alumni ISI mengaku bahwa Ugo adalah alumnus kampus yang dikenal menjadi panutan bagi junior-juniornya dalam berkarya.
Penulis : Putri Soleha dan Rizal Zulfiqri
Editor : Abilawa Ikhsan