“Tidak ada yang boleh memiliki air,” ujar Muhammad Reza, aktivis Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dalam diskusi “Teks dan Konteks Hak Atas Air dan Fenomena Perampasan”. Diskusi yang diinisiasi oleh KRuHA diselenggarakan pada hari Jum’at (09-03) dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat di Jogja Nasional Museum. Selain Reza, terdapat dua pemantik lain yaitu, Wijanto Hadipurno selaku pakar Water Resources Management dari Universitas Katolik Soegijapranata, dan Wargiono, seorang petani asal Klaten.
Sigit Kuryadi Budiono selaku moderator memaparkan, bahwa Pasal 1 Ayat 9 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 menjadi salah satu dasar perampasan hak atas air dan swastanisasi air. Pasal tersebut berisi bahwa, penyelenggara pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Menurut Sigit. Pasal tersebut menjadi legitimasi bagi pihak swasta untuk melakukan swastanisasi air, karena badan usaha swasta diberi kewenangan untuk mengelola SPAM. Selain itu, ia menambahkan bahwa perusakan alam dan pencemaran air yang dilakukan pihak swasta juga merupakan perampasan hak atas air.
Menanggapi Sigit, Wijanto memaparkan teks hukum yang menjelaskan air sebagai Hak Asasi Manusia. UUD 1945 Pasal 27 Dan 28 Tentang Hak Asasi Manusia menurutnya menjadi landasan konstitusi yang tidak bisa dikhianati. “Dalam Pasal 28 secara implisit hak untuk hidup dapat diartikan juga sebagai hak atas tanah, udara dan air,” jelas Wijanto. Lebih luas lagi, ia mengatakan Indonesia telah menyatakan terikat dalam konvensi internasional yang dianggap sebagai konvensi dasar bagi penegakkan HAM secara universal. Salah satunya yaitu konvensi the International Covenant on Civil and Political Rights yang berlaku secara efektif 23 Maret 1976.
Meski banyak teks hukum yang memuat tentang pemeliharaan lingkungan dan hak hidup, namun yang terjadi sekarang menurut Reza adalah pembiaran kerusakan air yang dilakukan pemerintah. “Selain teks tidak dijalankan, saat ini teks telah dikhianati,” jelas Reza. Bukan hanya pengkhianatan teks, menurut Wijanto teks tidak lagi dapat merespons konteks yang terjadi di zaman sekarang.
Wijanto memberi contoh konkret ketika teks hukum yang ada tidak dapat merespons konteks perkembangan zaman, misalnya Virtual Water. Menurutnya model-model transaksi air sudah semakin beragam, transaksi air kini tidak melulu secara harfiah jual-beli air. Transaksi komoditas pangan juga sekaligus transaksi air, karena dalam pengelolaan pangan ada proses pembersihan pangan menggunakan air bersih. “Zaman sekarang negara maju lebih memilih memanfaatkan negara berkembang untuk transaksi Virtual Water,” ungkap Wijanto.
Reza mengatakan, swastanisasi air di Indonesia bermula pada 1999 ketika Bank Dunia memberikan pinjaman melalui perjanjian Water Resources Sector Adjustment Loan sebesar USD 300 juta. Ia menjelaskan, perjanjian utang ini bertujuan untuk penataan yang memungkinkan pihak swasta untuk ikut berpartisipasi dalam mengelola sumber daya air negara. Senada dengan Reza, Wijanto menambahkan, swastanisasi air ini bisa membuka pintu penyalahgunaan wewenang. Ia memberikan contoh ketika PDAM yang bertaggungjawab menggunakan keuntungannya untuk perawatan alam, namun pada awal tahun 2000an PDAM malah mensponsori klub sepak bola PSIS.
Selain itu, Wargiono menambahkan bahwa swastanisasi air di Klaten menyebabkan kekeringan di beberapa sumber mata air. Menurutnya, masalah kekeringan disebabkan karena sumber mata air banyak yang dikelola oleh pihak swasta. Ia mengeluh jika kedaan terus seperti ini, maka hak hidup warga Klaten terutama petani dapat terancam. Melihat realitas yang ada, Reza berpesan semangat memperjuangkan hak atas air mesti dijaga, karena banyak kasus aktivis lingkungan yang dikriminalisasi oleh oknum swasta. “Kita mesti terus berjuang agar setidaknya pihak swasta tidak sewenang-wenang terhadap alam dan warga,” tutupnya.
Penulis: Ozi
Editor: Haekal