“Saya di situ tidak ingin keluar dari kamar karena jujur, saya merasa ketakutan,” ujar korban yang tidak mau disebutkan namanya ketika ditemui Tim BPPM BALAIRUNG pada Minggu (11-03) sore. Korban mengalami pemukulan pada Jumat (09-03) malam di kamar indekos milik temannya. Kejadian tersebut terjadi karena korban menyebut salah satu nama organisasi di dalam pesan pribadi yang kemudian tersebar di dunia maya.
Kejadian bermula dari pesan pribadi antara korban dengan salah satu mahasiswi Hubungan Internasional UGM. Aloysius Anandyo Pambudi, kemudian mendapati pesan pribadi korban yang secara eksplisit menyebut nama organisasi yang ia pimpin, yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dirinya mendapati isi pesan tersebut dari screenshot salah seorang mahasiswa yang kemudian diberikan kepadanya. Mengetahui hal tersebut, Aloy kemudian menyebarkan screenshot tersebut kepada teman-teman organisasinya dan kemudian mengunggah hal tersebut ke salah satu akun media sosialnya. Setelah itu, dirinya menganggap bahwa korban telah melakukan pencorengan nama baik organisasi yang dia pimpin. Dirinya pun ingin mengklarifikasi hal tersebut dengan korban. “Maka dari itu kami ingin dia memberikan pengertian seluas-luasnya kepada kami,” tegas Aloy.
Terkait hal tersebut, korban menyangkal bahwa dirinya telah melakukan pencorengan nama baik. Menurutnya, pencorengan nama baik dapat terjadi jika pendapatnya dituangkan dalam ruang publik. Namun dalam kejadian tersebut, korban menyebut nama organisasi terkait dalam suatu pesan pribadi yang sifatnya personal. “Mereka bersikeras bahwa saya mencoreng nama suatu organisasi yang saya nyatakan lewat pesan pribadi,” terang korban.
Aloy berusaha mendapatkan klarifikasi dari korban terkait pesan pribadi tersebut. Dirinya memutuskan untuk mengajak korban bertemu di Sekretariat GMNI Fisipol. Aloy menunggu iktikad baik dari korban untuk segera mengklarifikasi pernyataannya. Namun, proses tersebut tidak berlangsung karena korban tidak merespon panggilan telepon dari Aloy. Lalu Aloy beserta teman-temannya memutuskan untuk menemui korban di indekosnya. Tetapi, ia menemukan bahwa korban tidak ada di dalam kamarnya. “Kamarnya terkunci dan gelap,” ujar Aloy.
Di saat yang bersamaan, korban merasa dirinya mendapatkan teror dari Aloy. Dirinya resah saat ditelpon sebanyak delapan kali selama selama 25 menit. Korban tidak merespon telpon tersebut karena dirinya mengaku terancam dan tidak ingin bertemu dengan Aloy. Korban pun memutuskan untuk tidak kembali ke indekosnya dan memilih untuk berkunjung ke indekos temannya. “Saya meminta kepada teman saya untuk menginap ke indekosnya karena kemungkinan mereka akan menghampiri saya” tambah korban.
Aloy dengan beberapa orang kemudian berinisiatif untuk datang ke indekos milik temannya karena tidak dapat menemui korban. Setelah sampai di sana, Aloy melihat motor korban dan menanyakan lokasi korban di dalam indekos tersebut. Setibanya di depan kamar, Aloy mendapati korban berada di dalam kamar dan segera mengajak korban untuk keluar. Ia meminta korban untuk segera menyelesaikan masalahnya di luar. Pada saat itu, Aloy mengakui bahwa dirinya berteriak dan dalam keadaan emosi. “Hal tersebut terjadi karena kami mendapati korban sedang memegang ponsel namun tidak merespon panggilan dari kami,” ujar Aloy.
Lima belas menit sebelum kedatangan Aloy, korban sudah berada di indekos milik temannya. Sang pemilik kamar yang menjadi saksi menyatakan bahwa ketika dirinya sedang berbincang dengan korban, dia mendengar pintu kamarnya diketuk. Pemilik kamar yang menolak disebutkan namanya menyangka bahwa yang mengetuk pintu adalah tetangga indekosnya. Pintu yang lalu dibuka oleh saksi itu kemudian disusul dengan suara membentak dan kata-kata yang mengintimidasi korban. “Ketika pintu terbuka, mereka yang berada di luar langsung membentak dan ingin membawa korban keluar dari dalam kamar,” ujar saksi.
Korban juga mendengar suara-suara teriakan yang bernada mengancam. Korban tidak ingin keluar kamar karena dirinya merasa terancam. Menurutnya, Aloy dan kawan-kawan tidak bisa memaksa dirinya untuk keluar dari kamar saksi. Korban menyatakan bahwa ketika mereka sudah masuk, salah seorang dari mereka langsung mengintimidasi korban. “Pada saat itu, salah satu di antara mereka langsung menuding kepala saya dan saya merasa terancam,” terang korban.
Berbeda dari yang dikatakan oleh korban, Aloy menyatakan bahwa tidak ada intimidasi yang terjadi. Aloy menuturkan bahwa ketika pintu kamar dibuka oleh saksi, dirinya beserta teman-temannya dipersilakan masuk ke dalam kamar. “Kami diizinkan oleh pemilik kos untuk menyelesaikan masalah di dalam kamarnya,” ujar Aloy.
Korban akhirnya mengatakan maaf kepada Aloy. Namun, Aloy menerangkan bahwa permintaan maaf dari korban kurang menjelaskan alasan penyebutan nama organisasi yang telah ia lakukan. Setelah itu, Aloy mendorong korban menggunakan tangan kanannya hingga kacamata korban pun terjatuh. “Pada waktu itu saya akui saya emosi karena saya tidak menemukan rasionalitas dari jawaban korban,” tutur Aloy.
Berbeda dengan pendapat Aloy, saksi berpendapat bahwa yang dilakukan Aloy lebih dari sekedar mendorong korban. Dirinya yakin bahwa Aloy melakukan kontak fisik di bagian wajah korban. Ia juga menambahkan bahwa gelang yang digunakan oleh Aloy terputus . “Saya yakin yang dilakukan saudara Aloy itu lebih keras karena butiran-butiran dari gelang Aloy berserakan di lantai,” tambah saksi.
Pada waktu yang bersamaan, korban mengungkapkan bahwa dirinya mendapatkan kontak fisik berupa pukulan yang menyebabkan kacamatanya terjatuh. Menurutnya, Aloy melihat bahwa korban tidak takut terhadap bentakannya sehingga membuat diri Aloy menjadi naik darah. “Waktu pemukulan terjadi, posisi saya berada di kasur,” ujar korban
Selain pemukulan tersebut, saksi mengungkapkan bahwa terdapat tendangan yang diterima oleh korban ke arah badan korban. Namun, saksi tidak mengetahui persis anggota tubuh mana yang mendapatkan tendangan. “Saya pastikan pemukulan dan penendangan itu ada dan saya mendengar korban mengalami sakit di bagian dada,” tambah saksi.
Korban mengungkapkan bahwa ia tidak mengingat ada bagian tubuh lain yang mendapatkan kekerasan fisik. Hal itu terjadi karena proses tersebut berlangsung sangat cepat. Namun, ia meyakini bahwa dirinya mendapat tendangan di area sekitar dada. “Saya merasakan di sekitar dada saya mengalami rasa sakit, apalagi ketika saya membungkuk ” ujar korban.
Meskipun begitu, Aloy tetap menyangkal adanya bentuk kekerasan fisik yang telah ia lakukan. Menurutnya, tidak ada bukti yang jelas ketika dirinya melakukan tindak kekerasan kepada korban. “Saya tidak melakukan tindak kekerasan, jika perlu bawa hasil visum ke saya,” tambahnya.
Setelah hal tersebut terjadi, Aloy menyatakan bahwa dirinya dipisahkan oleh kedua temannya. Setelah itu, Aloy dan korban melakukan perundingan. Aloy menjelaskan bahwa ia meminta korban untuk menulis surat dan video pemintaan maaf kepada organisasinya secara terbuka atas kasus pencemaran nama baik. “Korban dan saksi sudah sepakat untuk membuat surat permintaan maaf tersebut,” tambah Aloy.
Dalam proses perundingan tersebut, saksi merasa jika korban pada waktu itu sedang perasaan tertekan. Korban pun menyatakan bahwa dirinya hanya diberikan waktu untuk membuat surat pernyataan maaf dan video permintaan maaf terbuka sampai tengah malam. Berdasarkan keterangan saksi dan korban, pembuatan video permintaan maaf tersebut berjalan dengan baik. “Tentang pembuatan surat, di sini terjadi masalah karena ada substansi surat yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal,” ujar saksi.
Saksi menjelaskan bahwa pada awalnya korban mengira jika format surat permintaan maaf tersebut sudah disepakati. Ketika surat sudah dibuat oleh korban, saksi kemudian mengirimkannya kepada Aloy untuk melakukan persetujuan. Namun, Aloy merasa bahwa poin dari surat tersebut masih kurang dan harus dilengkapi lagi. Akan tetapi, saksi menyatakan bahwa korban tidak menyetujui dua poin yang harus ditambahkan dalam surat pernyataan tersebut. Poin pertama yaitu organisasi yang disebut tidak mengikuti gerakan politik praktik kampus dan poin kedua adalah penyelesaian masalah ini sudah diselesaikan dengan baik. “Saya merasa bahwa isi dari surat pernyataan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi,” tutur korban.
Selama proses perundingan itu berlangsung, saksi berperan sebagai mediator kedua belah pihak. Saksi menyatakan bahwa proses perundingan tersebut gagal karena antara kedua belah pihak tidak juga mencapai kesepakatan. Akhirnya, saksi mengundurkan diri sebagai mediator. “Meskipun begitu saya tetap bersedia memberikan kesaksian karena tempat kejadian perkara berada di kamar saya,” tambah Saksi.
Selang beberapa hari, korban mengatakan bahwa pihak prodi dan pihak dekanat sudah mengetahui peristiwa ini. Dirinya mengatakan bahwa pihak prodi bersedia membantu korban dalam bentuk apapun. Mengenai pihak dekanat, korban mengungkapkan bahwa akan ada upaya pemanggilan seluruh pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Tim BPPM Balairung mencoba melakukan konfirmasi terkait hal ini kepada pihak dekanat dan prodi. Namun, pihak prodi dan dekanat menolak untuk memberikan keterangan. “Sedang diadakan diskusi internal karena hal ini sedang didiskusikan oleh pihak prodi dan dekanat,” ucap salah satu staf dekanat.