
Syam Terajana, salah satu pembicara dari media komunitas DeGorontalo. @Istimewa
“Cepatnya perkembangan teknologi menjadikan kita dapat mengakses informasi dengan mudah,” kata Putu, salah satu pembicara dalam diskusi “Mawas Diri Di Tengah Tsunami Informasi” pada Jumat (08-03) sore. Acara yang bertempat di Jogja National Museum ini, turut mengundang dua pembicara lain yaitu Syam Terajana dari DeGorontalo, dan Imung Yuniardi dari Combine Resource Institution. Diskusi ini merupakan salah satu rangkaian acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2018 yang diadakan dua tahun sekali. Mengambil Tema “Gaya Warga Berdaya”, JMR yang diselenggarakan pada 08-10 Maret merupakan ruang untuk membahas isi-isu sosial dalam masyarakat dan informasi sebagai medianya.
Putu Hendra Brawijaya, selaku perwakilan BaleBengong mengawali diskusi dengan membicarakan penyebab banjir informasi yang dikarenakan perkembangan media sosial. Ia mengatakan bahwa media sosial tanpa kita sadari telah merugikan penggunanya karena telah mengonsumsi informasi-informasi hoaks. Menurutnya, kebanyakan para penyebar hoaks hanya menyebarkan informasi tanpa membaca dan jarang sekali mencari lebih lanjut tentang kebenaran informasi. “Mereka merasa keren karena menyebarkan informasi yang sedang hangat dibicarakan dan mencari ketenaran di media sosial saja,” ungkapnya.
Putu juga memaparkan ada beberapa cara untuk menyaring informasi yaitu cek data, cek fakta, dan cek informasi. Cek data yaitu dengan mencari foto atau video bisa dilakukan dengan memeriksa waktu pengambilannya untuk mengkonfirmasi kebenaran berita. Cek fakta ialah mencari informasi yang sama di media yang lebih terpercaya. Cek informasi yaitu cari siapa penyebar, akun, dan penulisnya.
Banjir informasi juga disinggung oleh Imung. Menurutnya bukan hanya informasi hoaks saja, tapi juga banyak informasi yang tidak pada tempatnya. Ia mengatakan bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan media komunitas. Media komunitas sebagai literasi jurnalisme warga berusaha menggerakkan warga untuk menerima informasi sesuai kebutuhan mereka. Ia menambahkan, media komunitas tidak cukup hanya dengan memilah informasi, tapi juga memproduksinya. “Media komunitas dibentuk karena kebutuhan untuk mengungkapkan hal-hal yang belum terekspos ke publik, bukan hanya sekadar alternatif semata,” ungkapnya.
Senada dengan Imung, Syam mengatakan bahwa media komunitas membantu masyarakat mengetahui informasi yang sebenarnya terjadi dan terbukti kebenarannya. Ia mencontohkan DeGorontalo sebagai media pemberi informasi seputar Gorontalo yang harusnya dikonsumsi masyarakat. Ia menyayangkan media-media nasional di Jakarta yang menerbitkan berita tidak terlalu dibutuhkan masyarakat di Gorontalo maupun daerah lain. Perbedaan perspektif masyarakat ibukota dengan masyarakat daerah menjadi penghalang masyarakat daerah untuk memahami informasi dari media-media nasional. “Contohnya seperti berita yang ‘seksi’ menurut orang Jakarta, belum tentu ‘seksi’ menurut orang Gorontalo,” ungkap Syam.
Menanggapi diskusi tersebut, Ferdi F. Putra selaku salah satu panitia mengatakan bahwa banjir informasi saat ini bergantung pada masing-masing orangnya. “Masing-masing dari kita bisa memilih mana yang penting dan mana yang tidak,” tuturnya. Ia juga menambahkan bahwa media komunitas sering dituduh sebagai salah satu sumber penyebab banjir informasi. Hal tersebut berdampak pada media komunitas semakin terpojok karena belum memiliki legalitas seperti media nasional.
Penulis : Putri Soleha
Editor : Pungky Erfika