Aktivitas VOC di Batavia berpengaruh besar pada terjadinya banjir Jakarta sampai saat ini. VOC telah berupaya mengatasi banjir, sekaligus memperparah keadaan dengan kedatangannya.
Banjir merupakan salah satu peristiwa yang sudah sangat melekat dengan Jakarta. Banjir di Jakarta dipicu oleh tingginya curah hujan, rendahnya prasarana pengendali banjir, serta wilayah Jakarta yang dilalui oleh beberapa sungai besar (Nugroho, 2008). Permasalahan banjir yang selalu terjadi di Jakarta ini belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Sebenarnya pemerintah telah melakukan upaya seperti pembangunan bendungan, normalisasi sungai, penyodetan Sungai Ciliwung, dan perencanaan tanggul laut (Kompas.com, 2018). Akan tetapi, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan karena terkendala urusan pendanaan dan pembebasan lahan (Kompas.com, 2018).
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Jakarta yang dulu bernama Batavia sudah mengalami permasalahan banjir yang rumit. Permasalahan tersebut mulai ditangani secara serius sejak Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) periode 1618—1623 dan 1627—1629, bertugas di Batavia (historia.id, 2010). Sebelum menjadikan Batavia sebagai markas besar, VOC menempati Ambon sebagai pusat perdagangan. Namun, VOC menganggap bahwa letak Ambon terlalu jauh dari jalur perdagangan di Asia. Oleh karena itu, VOC memutuskan untuk mencari wilayah baru di Nusantara bagian barat di antara Selat Malaka atau Selat Sunda (Blackburn, 2011).
Rencana pemindahan pusat perdagangan tidak berjalan dengan mudah. VOC harus berhadapan dengan Portugis di Selat Malaka, sedangkan wilayah Kesultanan Banten yang berada di dekat Selat Malaka telah didominasi oleh Inggris dan orang-orang Cina. VOC pun mendirikan kantor dagang di Banten karena Kesultanan Banten memiliki kebijakan perdagangan bebas untuk menarik pedagang asing ke dalam wilayahnya. Adanya kebijakan tersebut justru membuat VOC ingin lebih menguasai Banten dengan cara monopoli dagang. Akan tetapi, upaya VOC tersebut ditolak oleh Sultan Banten. Sehingga Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC periode 1610—1614, mendirikan kantor dagang di Jayakarta yang letaknya 150 km dari Banten dengan persetujuan Sultan Banten (Kanumosoyo, 2011).
Pada bulan Mei 1619, Gubernur Jenderal VOC yang baru, Jan Pieterzoon Coen, mengambil alih Jayakarta dengan memanfaatkan ketidakstabilan politik di Kesultanan Banten. Coen menghancurkan semua bangunan yang sebelumnya sudah ada di wilayah Jayakarta dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia (Kehoe, 2015). Setelah Batavia berhasil dikuasai, VOC mulai membangun infrastruktur untuk menunjang aktivitas dagang, administrasi, hunian, dan militer. Langkah awal yang dilakukan Coen adalah membangun Kasteel Jakarta (Kastil Jakarta) untuk membatasi wilayah Batavia (Hanna, 1988).
Kastil tersebut membagi kawasan dalam tembok kota (Batavia) dan luar tembok kota (Ommelanden). Kawasan Batavia digunakan sebagai pusat administrasi dagang yang dihuni oleh orang-orang Eropa. Sedangkan, Ommelanden lebih banyak dihuni oleh etnis Jawa, Bali, Bugis, Makassar, dan Ambon (historia.id, 2012). Kawasan Ommelanden ini masih berupa hutan yang kemudian menjadi kawasan “bodetabek” (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).
Dipilihnya Batavia sebagai pusat perdagangan tidak hanya atas dasar alasan politis. VOC juga mempertimbangkan posisi strategis Batavia yang sering dilalui kapal-kapal dagang VOC seperti di pelabuhan Banten (Blackburn, 2011). Akses kapal dari laut menuju wilayah pelosok diuntungkan dengan adanya Sungai Ciliwung yang melintasi wilayah Batavia dan menyediakan pasokan air bersih (Kehoe, 2015). Kondisi geografis Batavia memang dinilai strategis dan cukup menguntungkan. Bentuk lahan sebagian Batavia dipengaruhi oleh Gunung Salak, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede yang menjadikan tanah tersebut cocok untuk pertanian (Kanumoyoso, 2011). Di sisi lain, bentuk lahan sebagian Batavia dipengaruhi oleh banyaknya sungai yang memiliki hulu di daerah gunung api dan bermuara menuju laut dengan melalui kota Batavia. Endapan yang dibawa aliran Sungai Ciliwung membentuk delta yang berkembang menuju laut, sehingga garis pantai Batavia semakin maju (Kanumoyoso, 2011).
Batavia yang dilalui banyak sungai dan tanahnya lebih rendah daripada permukaan laut ini memiliki kesamaan dengan karakteristik wilayah di Belanda yang sering banjir. Hal tersebut membuat Coen menyadari bahwa Batavia juga berpotensi besar mengalami banjir. Oleh karena itu, VOC mulai mengurus drainase untuk mengantisipasi banjir dengan mengadopsi sistem kanal yang ada di Belanda. Tujuan dari pembangunan kanal, selain untuk menanggulangi banjir, adalah mempermudah transportasi air dan memberikan suasana seperti di Belanda bagi karyawan-karyawan VOC (Kehoe, 2015).
Pembangunan kanal tersebut direalisasikan dengan kerja sama antara Coen dengan Phoa Bing Gam, Kapitan Cina yang merupakan seorang ahli irigasi. Fungsi utama dari adanya kanal tersebut adalah mereduksi beban debit air sungai Ciliwung supaya Batavia tidak terendam banjir (historia.id, 2010). Pembangunan Kanal Batavia mendapatkan sumbangan dana dari Gong Goan (Kamar Dagang Cina) karena pada saat itu VOC belum memiliki banyak dana (Kompas.com, tanpa tahun).
Kanal pertama yang dibuat menuju pusat Batavia digunakan untuk perdagangan regional. Sedangkan, kanal tersier yang ukurannya lebih kecil dan menyebar ke seluruh kota membawa air limbah rumah tangga dan air kotor lainnya menuju teluk (Bobbette, A., Turpin, E., dan Miller, M., 2013). Pembangunan kanal di Batavia awalnya berfungsi dengan baik karena sejumlah tanah yang sebelumnya tergenang air dapat menjadi lebih kering dan bisa diolah sebagai lahan pertanian (Blackburn, 2011). Proyek kanal tersebut diselesaikan Kapitan Phoa dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Sehingga Kapitan Phoa mendapatkan penghargaan dari VOC berupa lahan tebu yang kemudian menjadi industri paling berkembang pada akhir 1600-an (interaktif.kompas., 2018).
Setelah pembangunan kanal selesai, VOC melakukan pembersihan kanal supaya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pembersihan kanal ini dilakukan setiap hari oleh para narapidana yang dirantai berpasangan dengan pengawasan ketat oleh penjaga bersenjata (historia.id, 2012). VOC mendapatkan dana untuk membersihkan kanal-kanal yang ada di Batavia dengan cara menarik pajak rumah yang harus dibayarkan setiap tahunnya (Stockdale, 2014).
Meskipun pembangunan dan perawatan kanal telah dilakukan, Batavia dianggap tidak layak huni bagi sebagian besar orang Eropa. Air kanal yang tersumbat oleh sampah dan lumpur menyebabkan sering terjadi banjir (Blackburn, 2011). Peta Batavia tahun 1619 dan 1628 menunjukkan bahwa garis pantai semakin meluas dalam satu dekade. Masalah tersebut ditangani VOC dengan cara membangun pagar kayu yang disusun sejajar atau sering disebut juga sebagai palisade wall. Upaya tersebut masih tidak berhasil, sehingga VOC melakukan pengerukan kanal. Cara ini lebih efektif dalam menanggulangi banjir karena kanal menjadi lebih dalam dan dapat menampung air lebih banyak. Bahkan, keluhan mengenai pencemaran udara dari kanal pun mulai menurun pada tahun 1633. Keberhasilan dari cara pengerukan kanal ini tidak bertahan lama karena banjir yang lebih besar kembali terjadi pada tahun 1665 (Kanumoyoso, 2011).
Kegagalan sistem kanal merupakan salah satu penyebab banjir dan tidak layak huninya Batavia. Sistem kanal yang diadopsi dari Belanda ternyata tidak dapat diterapkan di Batavia (Alwi Shahab, 2004). Kondisi geografis antara Belanda dengan Batavia memang memiliki kemiripan. Namun demikian, Pulau Jawa waktu itu memiliki curah hujan yang lebih tinggi dari Belanda (Kanumoyoso, 2011). Oleh karena itu, Batavia tetap dilanda banjir meskipun telah menggunakan sistem kanal. Tingginya curah hujan di Batavia bukanlah satu-satunya faktor penyebab sistem kanal gagal. Jumlah pasir yang terbawa saat air laut pasang menyebabkan aliran sungai dan kanal terhambat (Blackburn, 2011). Pasir yang menghambat aliran air tidak hanya berasal dari laut saja, letusan Gunung Salak yang terjadi pada 1699 turut serta membawa banyak material vulkanis yang menyumbat aliran sungai (Blusse, 1986).
Tidak lancarnya aliran air di sungai mapun kanal Batavia diperparah dengan terjadinya alih fungsi lahan bagian hulu sungai dari hutan menjadi perkebunan. Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan volume Sungai Ciliwung meningkat dengan cepat sehingga banjir terjadi di bagian hilir (Blusse, 1986). Dalam hal ini, industri gula orang-orang Cina yang berkembang pesat pada tahun 1700-an menjadi sumber masalah. Gula yang menjadi komoditas utama VOC ini menggunakan banyak kayu sebagai bahan bakar pengolahannya. Kayu yang digunakan industri gula ini didapatkan dari penebangan pohon di daerah hulu Sungai Ciliwung (Kompas.com, tanpa tahun). Industri gula ini juga memunculkan masalah karena limbahnya dibuang di Sungai Ciliwung.
Kompleksnya permasalahan drainase yang ada mengubah citra Batavia pada abad ke-18 dari Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur) menjadi Graf der Hollanders (kuburan orang Belanda). Reputasi buruk tersebut diberikan karena banyak orang-orang Belanda yang meninggal akibat tidak sehatnya udara dan air yang ada di Batavia (Hanna, 1988). Pada musim hujan, kanal-kanal di Batavia meluap dan membanjiri bagian kota yang lebih rendah. Apabila banjir telah surut, banyak lumpur dan kotoran yang tertinggal di darat. Meskipun VOC sudah berupaya membersihkan kanal dengan memanfaatkan tenaga para narapidana, upaya tersebut tidak berhasil.
Sistem pembersihan kanal tersebut justru mencemari udara Batavia karena lumpur hitam dari dasar kanal hanya dipinggirkan di sungai dan dibiarkan mengeras sampai lumpur tersebut bisa diangkut. Padahal, lumpur hitam tersebut sebagian besar komposisinya adalah kotoran manusia, limbah, dan bangkai binatang yang dibuang penduduk Batavia ke sungai maupun kanal (Stockdale, 2014). Pasca tahun 1732, ratusan orang Eropa meninggal dunia karena cuaca yang tidak menentu, demam, malaria, dan kolera. Orang-orang kaya memilih untuk mengimpor air mineral dari Eropa atau daerah pelosok karena air minum yang diambil dari sungai di Batavia tidaklah sehat (Hanna, 1988).
Kedudukan Batavia sebagai ibu kota mulai dipertimbangkan pada akhir abad ke-18. Pieter Gerardus van Overstraten, Gubernur Jenderal VOC periode 1796—1801, berencana memindahkan ibu kota ke Semarang atau Surabaya. Alasan rencana pemindahan tersebut adalah mencari lingkungan yang lebih sehat dari Batavia. Selain itu VOC juga ingin lebih berkuasa di wilayah Jawa yang penduduknya padat. Rencana pemindahan ibu kota tersebut dianggap tidak memungkinan, sehingga ibu kota hanya dipindahkan ke wilayah yang lebih tinggi di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) (news.detik, 2018).
Pemindahan ibu kota dari Batavia lama ke Weltevreden dilakukan sepenuhnya ketika Jawa berada di bawah kekuasaan Herman W. Daendels, Gubernur Jenderal periode 1808—1811. Awalnya Daendels ingin memindahkan ibu kota dari Batavia ke Surabaya dengan alasan kesehatan dan pertahanan. Menurut Daendels, Batavia tidak dapat dijadikan pusat pertahanan Pulau Jawa karena buruknya iklim di Batavia bisa membunuh serdadu yang bertugas sebelum musuh menyentuh pantai (sains.kompas.com, 2015). Penyakit kolera penyebab kematian Coen selaku Gubernur Jenderal VOC pun dapat dijadikan bukti betapa tidak sehatnya wilayah Batavia. Walaupun Batavia sudah tidak layak ditempati, rencana pemindahan ibu kota ke Surabaya gagal dilakukan karena keterbatasan dana.
VOC memang mempertimbangkan kesamaan kondisi geografis antara Batavia dengan Belanda untuk membangun kanal di Batavia. Akan tetapi, VOC kurang memperhatikan kemungkinan berkembangnya wilayah Ommelanden dari kawasan hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman. Alih fungsi lahan tersebut memicu rusaknya wilayah Ommelanden yang berimbas pada banjir dan tercemarnya air sungai di Batavia. Berbagai upaya VOC dalam menangani banjir Batavia mulai dari pembangunan kanal hingga memindahkan ibu kota ke Weltevreden tetaplah berujung sia-sia.
Sampai saat ini, banjir masih menggenangi ibu kota Jakarta tiap tahunnya. Banjir tersebut tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada kesalahan VOC yang kurang memperhatikan perbedaan curah hujan dan kemungkinan berkembangnya Ommelanden dalam mengadopsi sistem kanal dari Belanda. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Ommelanden yang saat ini menjadi kawasan bodetabek mengalami alih fungsi lahan dari hutan menjadi pemukiman padat penduduk.
Banjir Jakarta berakar pada permasalahan alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi pemukiman padat penduduk. Hal tersebut diperparah dengan kebiasaan penduduk membuang limbah ke sungai, sehingga aliran airnya terhambat. Upaya pemerintah Jakarta untuk mengatasi banjir di bagian hilir seperti yang pernah dilakukan VOC tidak akan berhasil. Jika ingin efektif, maka penanganan banjir harus dimulai dari hulu dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan daerah di sekitar Jakarta.
Referensi :
Blackburn, Susan. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
Blusse, Leonard. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and The Dutch in VOC Batavia. Holland: Foris Publications, 1986.
Hanna, Willard A. Hikayat Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Kanumoyoso, Bondan. Beyond the City Wall: Society and Economic Development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740. Doctoral Thesis. Department of History. Faculty of the Humanities. Leiden University, 2011.
Kehoe, Marsley L. “Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City”. Journal of Historians of Netherlandish Art, Vol. 7, Issue. 1, 2015.
Nugroho, Sutopo Purwo. “Analisis Curah Hujan Penyebab Banjir Besar di Jakarta Pada Awal Februari 2007.” Jurnal Air Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2008.
Restu Gunawan dan Nuradji. Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas, 2010.
Shahab, Alwi. Betawi: Queen of the East. Jakarta: Penerbit Republika, 2004.
Stockdale, John Joseph. Sejarah Tanah Jawa. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2014.
Turpin, Etienne, dkk (ed.). Jakarta Architecture + Adaptation. Depok: Universitas Indonesia Press, 2013.
http://historia.id/buku/dari-kanal-hingga-rumah-pintal Diakses pada 26 Februari 2018 pukul 13.42
http://historia.id/buku/masalah-lampau-jakarta Diakses pada 11 Maret 2018 pukul 11.24
http://historia.id/kota/air-mengalir-sampai-banjir Diakses pada 26 Februari 2018 pukul 13.47
https://interaktif.kompas.id/banjir_jakarta Diakses pada 26 Februari 2018 pukul 13.53
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/12/09432131/upaya-pemerintah-tanggulangi-banjir-jakarta-dan-kendala-yang-dihadapi Diakses pada 13 Maret 2018 pukul 12.13
https://news.detik.com/kolom/d-3576049/wacana-pindah-ibu-kota-dari-daendels-hingga-orba Diakses pada 11 Maret 2018 pukul 09.10
https://sains.kompas.com/read/2015/05/21/20384051/Kisah.Serdadu.VOC.Asal.Tanah.Madura Diakses pada 13 Maret 2018 pukul 11.44
Penulis : Wida Dhelweis Yistiarani dan Tita Meydhalifah
Editor : Unies Ananda Raja