Pada hari Senin (05/03) diadakan diskusi di Selasar Barat Fisipol. Diskusi tersebut mengangkat topik “Agraria dan Industrialisasi” yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra). Diskusi ini mengundang dua pemantik, yaitu Prof. Susetiawan, guru besar program studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Arif Novianto, aktivis Kendeng dan asisten peneliti MAP UGM. Suci Trianingrum, mahasiswa PSdK ‘16 menjelaskan bahwa diskusi ini diadakan sebagai bentuk dari pendalaman isu mengenai dasar agraria dan industrialisasi yang mulai jarang diperbincangkan lagi.
Arif yang menjadi pemantik pertama diskusi tersebut menjelaskan data hasil penelitiannya. Arif mengatakan, berdasar pada Konsorium Pembaruan Agraria pada tahun 2016, angka konflik agraria mencapai 450 konflik sepanjang tahun. Berdasarkan data sensus pada 2003 hingga 2013, ada kurang lebih 5,3 juta rumah petani yang dihilangkan. Tak hanya itu, petani saat itu kehilangan kesempatan untuk dapat mengakses lahan mereka karena tanah petani telah diakuisisi oleh pemerintah.
Berdasarkan pemaparan data oleh Arif, munculnya konflik agraria dan berkurangnya jumlah petani setiap tahun diawali oleh munculnya industrialisasi. Arif juga mengatakan, kepemilikan tanah atau lahan masyarakat semakin berkurang di sektor agraria. Di Pati, hampir 77.000 petani di sana tidak lagi berprofesi sebagai petani. Beberapa petani hanya menjadi petani gurem, yaitu petani yang menyewa atau memiliki tanah tidak lebih dari 0,5 hektar.
Semenjak akhir tahun 1990 hingga sekarang, Arif mengungkapkan bahwa industri di Indonesia lebih menekankan pada perkebunan dan pertambangan. Sehingga, petani hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar. Susetiawan menambahkan bahwa ketika pertanian mulai menurun, tenaga tersebut ditangkap oleh manufaktur sebagai tenaga kerja bebas. “Pemberdayaan masyarakat untuk beralih dari petani ke pekerja industri menjadi nilai tambah atau masalah,” ungkap Arif.
Melihat sudut pandang sejarah mengenai timbulnya industrialisasi, Arif menjelaskan hal ini berawal dari industri-industri di Amerika dan Eropa yang berkembang pesat. Arif menambahkan industrialisasi negara-negara maju tersebut merampas modal dengan memberdayakan buruh untuk mendapat sumber daya alam dari negeri jajahan. Menurutnya, negara maju juga menanamkan kapitalisme pinggiran, seperti yang diterapkan Belanda saat menjajah Indonesia. Tak berhenti dengan kapitalisme pinggiran, telah terjadi praktik neokolonialisme dan imperialisme. Hal tersebut menyebabkan hilangnya kedaulatan bagi buruh-buruh yang selanjutnya dibayar murah, dan tanah menjadi kepemilikan asing.
Menurut Arif, setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, tanah-tanah peninggalan kolonialisme di Indonesia menjadi tanah milik kesukuan. Namun, pada abad ke-19, negara menerapkan peraturan bahwa tanah kesukuan yang tidak memiliki sertifikat akan menjadi milik negara. Kepemilikan tanah menjadi rancu karena tidak ada batas yang jelas antara tanah milik kesukuan atau tanah milik pemerintah.
Senada dengan Arif, Susetiawan mengatakan bahwa tanah yang tidak bersertifikat menjadi milik negara. Menurut Susetiawan, industrialisasi tidak mendukung perkembangan ekonomi. “Negara menjadi budak bisnis, seharusnya bisnis yang menjadi budak negara,” pungkasnya di akhir diskusi.
Penulis: Lailatul Zunaeva
Editor: Indrabayu Selo