“Stop pelecehan di lingkup kampus!” tertulis pada salah satu poster yang dibawa oleh peserta Kampanye Sosial Hari Perempuan Internasional. Sekitar tiga puluh peserta kampanye meramaikan sayap barat Grha Sabha Pramana (GSP) pada Minggu (11-03) pagi. Kampanye sosial ini diselenggarakan oleh BEM KM UGM dalam peringatan Hari Perempuan Internasional dengan mengadakan panggung terbuka.
Sebagai pembuka kampanye ini, BEM KM UGM merilis lima poin utama terkait isu perempuan multisektor, dan tiga diantaranya menitikberatkan pada kekerasan seksual. Ketiganya yaitu edukasi bentuk-bentuk pelecehan seksual, penegakan hukum bagi pelaku, hingga penghilangan budaya menyalahkan korban kekerasan seksual. “Yang ingin kita lakukan adalah meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual di ranah publik, terutama di kampus,” ungkap Ilham Primadi, selaku Koordinator Lapangan.
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2018 melaporkan dari 13.384 kasus kekerasan perempuan, 3.528 diantaranya terjadi di ruang publik. Kekerasan di ranah publik mencapai angka 2.670 kasus (76%) dengan kekerasan seksual menempati peringkat pertama. Komnas Perempuan juga mencatat sepanjang tahun 2014-2016 pelecehan seksual di institusi pendidikan menempati posisi kedua terbanyak setelah pelecehan seksual di ranah privat.
Masih menurut CATAHU Komnas Perempuan 2018, usia korban kekerasan berbeda di setiap ranah. Ranah privat didominasi oleh korban berusia 25-40 tahun. Sedangkan ranah publik mayoritas korban berusia 13-18 tahun sebanyak 58,9%. Melihat jenis kelamin korban, 87% korban adalah perempuan sedangkan sisanya adalah laki-laki yang mengalami nasib serupa.
Menurut Ilham, pelecehan seksual terjadi tidak hanya karena nafsu melainkan juga karena ketimpangan relasi kuasa yang ada. Dilansir dari tirto.id tentang Darurat Kejahatan Seksual di Kampus, meskipun relasi antara dosen dan mahasiswa cenderung egaliter, tetap terdapat hierarkis yang nyata. Sehingga, korban kekerasan seksual menolak melaporkan pelecehan yang mereka alami. “Kita sebagai mahasiswa punya tanggung jawab untuk apa yang terjadi di kampus,” tutur Ilham.
Meskipun begitu, Faizatur Rachmadanti, salah seorang pengunjung GSP, berpendapat bahwa dampak keberadaan aksi ini kurang signifikan. “Sepertinya kalau hanya ada panggung terbuka dan dilakukan karena momentum, dampaknya kurang terasa,” tutur Faizatur. Ia melanjutkan bahwa dibutuhkan gerakan yang dapat menumbuhkan kepedulian dan tindakan preventif terhadap kekerasan pada perempuan.
Kuncoro Jati, Menteri Aksi dan Propaganda BEM KM UGM, menjelaskan bahwa aksi yang dilakukan memang hanya sebatas kampanye sosial. Tujuannya untuk menciptakan kesadaran dan ruang berefleksi tentang permasalahan perempuan yang masih ada. “Kita tidak muluk-muluk dalam aksi ini, tujuannya hanya untuk memunculkan keresahan terkait permasalahan perempuan sampai akhirnya jadi keresahan bersama,” pungkasnya.
Penulis: Cintya Faliana
Editor: Bernard Evan