Sekilas, rumah di belakang bangunan Rest Relax itu terlihat tak berpenghuni. Namun, denting lonceng angin menyambut Tim BALAIRUNG saat masuk ke pekarangan rumah di Jalan Mangkuyudan Nomor 53A itu. Di dalam ruang tengah, belasan layangan berbagai bentuk dipajang di temboknya. Sebuah suasana yang asri dibanding pekarangan luar pagarnya. Rumah ini rupanya juga menjadi ruang untuk berbagai kegiatan seperti workshop, pameran, hingga pemutaran film.
Di sanalah delapan belas orang yang tergabung dalam komunitas Ruang MES 56 mengembangkan keterampilan dan saling berbagi pengetahuan. Ruang MES 56 adalah sebuah komunitas kolektif yang bergerak dalam bidang seni kontemporer, di antaranya fotografi. Dibentuk sejak tahun 2002, Ruang MES 56 bermula dari sekumpulan mahasiswa Program Studi Fotografi angkatan 94, 95, dan 96 Institut Seni Indonesia Yogyakarta. “Pada masa itu fotografi belum dianggap sebagai bagian dari praktik seni, jadi tak bisa ikut pameran,” kata Anang Saptono, salah satu anggota dari komunitas tersebut, saat ditemui oleh Tim BALAIRUNG pada hari Jumat (9-3). Tahun itu, fotografi hanya dianggap sebagai alat pendukung. Ruang tamu dari rumah yang mereka kontrak bersama, disulap menjadi galeri pameran foto. Nomor 56 diambil dari nomor rumah yang mereka kontrak saat tinggal di Jalan Kolonel Sugiyono.
Kontemporer menjadi sudut pandang yang dipilih MES 56 untuk menjalani praktik fotografinya. Menurut Anang, kontemporer di sini dimaknai dengan bukan memandang fotografi hanya sebagai praktik, melainkan dari subject matter, yaitu persoalan dari objek yang difoto. “Di MES 56, orang-orangnya mengusung nilai-nilai konseptual, yaitu memahami apa yang menjadi kebutuhan ketika menangkap objek ini,” tambahnya
Anang bercerita, MES 56 sudah dianggap sebagai wadah para seniman dari berbagai latar belakang. “Program yang ada di sini juga dibuat berdasar dengan prioritas dan fokus dari anggotanya,” tambahnya. Sejalan dengan prinsip itu, munculah Afdruk 56. Afdruk 56 adalah laboratorium cetak analog yang terletak di pojok rumah MES 56. Berdasarkan penuturan Edwin Roseno Kurniawan, salah satu penggagas Afdruk 56 yang akrab disapa Dolly, inisiasi program ini dilatarbelakangi oleh arena teknologi digital yang lebih praktis dalam mencetak foto. Dari perubahan itu, teknologi lama cenderung tergantikan karena selain dalam prosesnya, sering kali menemui kerumitan, materialnya juga sudah jarang tersedia. “Sempat ada hambatan di awal karena bingung mau seperti apa, tapi setelah banyak ngobrol dengan teman-teman yang mendukung, akhirnya laboratorium Afdruk 56 ini ada,” ungkap Dolly.
Ide mengenai terbentuknya program Afdruk 56 sudah ada sejak lama. Akan tetapi program ini baru terealisasikan pada bulan Juli 2017 lalu, bersamaan dengan datangnya Danysswara atau yang akrab disapa Gobi. “Ia bisa menjadi penghubung antara saya dan komunitas analog yang dari kalangan anak muda,” ungkap Dolly. Gobi sendiri merasa beruntung MES 56 bisa menyediakan fasilitas ruang gelap untuk hobinya. “Kalau di kampus kan harus rebutan dengan mahasiswa lain, belum lagi kalau hilang yang disalahin kita,” ceritanya.
Menurut penjelasan Dolly, Afdruk 56 mengarsipkan temuan-temuan yang merupakan bagian dari sejarah fotografi Indonesia. Mereka bisa mendapatkan kejutan dari temuan itu, misalnya menemukan foto yang objeknya adalah keluarga yang sama dari film yang berbeda. “Sampai sekarang hasil cetaknya kami simpan saja, menjadi arsip yang nantinya bisa dikaitkan ke berbagai ilmu seperti kebudayaan, antropologi bahkan sejarah,” jelasnya.
Kegiatan cuci film hingga mencetak foto dari kamera analog membutuhkan waktu satu jam. Proses mencuci membutuhkan waktu dua puluh menit, sementara proses mencetak satu frame bisa tiga puluh menit. Semua proses dilakukan di ruang gelap karena proses cetaknya sensitif cahaya. “Kalau gambar hitam putih masih aman dengan cahaya warna merah, tapi kalau berwarna ruangannya harus gelap total,” tambah Gobi. Bahan kimia yang digunakan dalam proses ini adalah Developer, Stopbath, dan Fixer. Hasil cetakan lalu digunting dan disimpan dalam album foto, atau bahkan dicetak di atas kain.
Dengan adanya Afdruk 56, Gobi dan Dolly berharap tren kamera analog bukan sekadar menjadi ajang keren-kerenan, seperti memotret dengan kamera analog untuk kemudian dipindai dan diunggah di Instagram. Kembali ke konsep kontemporer di MES 56, ia ingin agar pemakai analog kembali ke esensi dari rangkaian panjang prosesnya. “Jadi analog menjadi pengetahuan, bukan sekadar untuk mempercantik feed di Instagram,” tambah Dolly sambil tertawa.
Selain Afdruk 56, MES 56 memiliki banyak program yang merepresentasikan kreativitas dari para anggotanya. Ada program Cafe Society, yang setiap hari Selasa memutar film dengan tema tertentu sambil berjualan makanan. MES 56 juga telah mengadakan banyak pameran, salah satunya bertajuk “Keren dan Beken” sebagai pameran pertama MES 56 dalam acara Biennale Jogja VII 2003, “Countrybution”. Dari semua program yang telah dilakukan, harapannya MES 56 bisa menjadi wadah untuk para anggotanya untuk mengeksplorasi minatnya masing-masing. “Kita bisa saling memengaruhi bahkan dipengaruhi di sini, karena MES 56 bukan hanya soal seni tapi juga menyangkut sejarah, antropologi, dan lainnya,” kata Dolly menutup perbincangan siang itu.
Penulis : Rasya Swarnasta dan Fatima G.
Editor : Henny Ayu