Djarum Hall Pertamina Tower Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) dipenuh oleh peserta seminar, Sabtu (24/2). Seminar bertajuk “Lurik Woven Fabric : Its History, Present, and Future” ini digagas oleh Indonesia International Contribution Project Hiroshima University of Economics (IICP HUE). Kegiatan yang menjadi salah satu rangkaian acara IICP HUE ini, merupakan kerjasama antara FEB UGM dengan Hiroshima University of Economics.
Acara yang bertujuan untuk mengenalkan tenun lurik kepada mahasiswa ini mengundang tiga pembicara yaitu Safira Larasati, Penyelia Lurik Larasati; Afrian Irfani, Manajer Kurnia Lurik dan Yoenanto Sinung Nugroho S. T., M.S.E, Kepala Divisi Industri dan Tenaga Kerja Kabupaten Klaten. Ega, salah satu panitia penyelenggara kegiatan mengemukakan bahwa generasi muda saat ini cenderung memilih hal-hal modern dan malu untuk menggunakan produk tenun lurik. “Oleh sebab itu, seminar diadakan supaya mereka lebih peduli,” tambahnya.
Larasati memaparkan mengenai sejarah awal tenun lurik. Dulunya, tenun lurik hanya dipakai di lingkungan keraton, sehingga motif dan desainnya dibuat oleh kalangan petinggi keraton. Selain itu untuk memperjelas kedudukan, penggunaan tenun lurik antara abdi dalem dan petinggi dibedakan berdasarkan warna dan motif. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perkembangan lurik hanya berada di kalangan menengah ke bawah. “Batik lebih sering digunakan kalangan keraton, jadi tenun lurik dikembangkan di lingkungan biasa,” tuturnya.
“Selain itu, tenun lurik mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri,” tutur Kyousuke Miyaoka, Project Leader IICP HUE dari pihak Jepang. Meskipun motif tenun lurik sederhana, terdapat makna filosofis yang membuat kain ini tak kalah saing dengan produk lain. Kyousuke juga memaparkan bahwa tenun lurik mempunyai peluang usaha untuk dikembangkan. Selain itu, timnya juga melakukan penjuaIan produk tenun lurik di negara asalnya, Jepang.
Melihat daya tarik tenun lurik sebagaimana dijelaskan oleh Kyousuke, Yoenanto mendorong masyarakat untuk melestarikan kain tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan penghasilan pelaku usaha tenun lurik yang jumlahnya cukup banyak. Ia juga menjelaskan bahwa tenun lurik merupakan bahan adibusana yang sarat akan makna dan budaya. Menurutnya, jika dibandingkan dengan batik, tenun lurik mempuyai ciri khas dalam desain dan motifnya. “Sedikit saja warnanya diubah, sudah mempunyai arti lain,” tambahnya.
Meski memiliki keunikan dan sejarah yang menarik, saat ini minat generasi muda terhadap tenun lurik masih kurang. Rian, Manajer Kurnia Lurik, menambahkan bahwa pengrajin tenun lurik sebagian besar merupakan generasi tua. Sedikitnya jumlah pengrajin generasi muda dikarenakan kebanyakan dari mereka hanya tertarik untuk melihat proses produksinya saja. “Kita dulu pernah mengadakan workshop dengan Universitas Negeri Semarang, dari sepuluh orang, yang nyantol cuma satu, itu pun tak bertahan lama,” paparnya.
Ditemui seusai acara, Nisa mahasiswa FEB UGM, yang menjadi salah satu peserta seminar mengatakan bahwa setelah mengikuti kegiatan ini, ia menjadi tahu jenis tenun lurik. Ia juga menambahkan, dengan adanya berbagai macam variasi, tenun lurik tidak terkesan monoton dan kuno. “Semoga setelah ini tenun lurik lebih dikenal lagi,” tambahnya.
Penulis: Litalia Putri
Editor: Rosalina