“Perbedaan antar umat manusia merupakan fitrah, yakni ciptaan Tuhan yang tidak bisa dihindari,” demikian kalimat Mahfud MD dalam acara Ziarah Budaya. Puncak rangkaian Sewindu Haul Gus Dur ini diselenggarakan pada Senin (5-2) di Auditorium Drikarya Universitas Sanata Dharma. Gusdurian dan 60 komunitas lain tercatat bergabung dalam peringatan Haul Gus Dur tahun ini. Acara tersebut dihadiri pula oleh Nyai Hj. Shinta Nuriyah Wahid, Buya Syafii Maarif, dan berbagai tokoh lintas iman.
Rangkaian acara yang disertai pembacaan orasi budaya dari Mahfud ini mengangkat tema pluralisme. Muhammad Rifai selaku ketua acara mengatakan bahwa Gus Dur dan pluralisme tidak bisa dipisahkan. “Bangsa Indonesia sedang mengalami dinamika ketidakadilan dan komersialisasi agama yang memerlukan nilai pluralisme agar tidak terpecah belah,” tutur Rifai.
Orasi Mahfud menerangkan bahwa pluralisme adalah hal yang eksis dan merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, bukan hanya sekadar sikap toleransi yang diperlukan, tetapi juga sikap penerimaan untuk menyatu dalam perbedaan. “Pluralisme bagaikan rumah berpenghuni dengan halaman, ruang keluarga, dan kamar-kamar,” terang Mahfud menjelaskan analogi Gus Dur. Baginya, setiap orang mengatur dirinya sendiri saat berada di kamar, tetapi ketika di ruang keluarga, semuanya berbaur menjadi satu.
Tidak dapat dibantah, menurut Mahfud, nilai-nilai pluralisme kerap bersinggungan dengan agama dan negara. Ia memberi contoh Islam dan kenegaraan dewasa ini sering dipertentangkan oleh masyarakat dengan alasan keduanya tidak dapat sejalan. Sebaliknya, Gus Dur beropini Islam dan kenegaraan ialah hal selaras yang diterapkan dalam nilai-nilai Pancasila oleh bangsa Indonesia. “Bagi Gus Dur, orang yang beragama dengan baik bisa bernegara dengan baik, begitu pula sebaliknya, jadi kedua hal tersebut tidak berseberangan,” tambah Mahfud.
Hal tersebut terbukti dari sikap Gus Dur yang melekat di mata Mahfud, yaitu ketika peristiwa penggusuran Masjid Ahmadiyah terjadi. “Gus Dur itu datang sendiri ke tempat kejadian,” cerita Mahfud. Kala itu Gus Dur menjadi satu-satunya tokoh moderat Islam yang menolak keras penggusuran tersebut. Gus Dur mengecam sikap main hakim sendiri dan mengimbau umat Islam untuk menyerahkan permasalahan itu kepada pejabat hukum.
Pada akhir orasi, Mahfud menyimpulkan bahwa pluralisme merupakan kalimatun sawa’, yakni titik temu keragaman yang menyatukan agama, etnis, budaya, dan ras. Titik temu keragaman bangsa Indonesia tersebut diwujudkan dalam bentuk Pancasila yang diharapkan dapat menjadi pemersatu bangsa. “Semoga kalimatun sawa’ dapat diperjuangkan bersama untuk melawan kebathilan, memerangi korupsi, dan menegakkan hukum,” imbuh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Penulis: Nabila Rieska, Ayu Nurfaizah
Editor: Cintya Faliana