Dua bocah perempuan dan laki-laki menceburkan diri ke dalam kolam renang. Dua orang dewasa di tepi kolam yang tampak seperti orang tua mereka menyiapkan handuk dan membuka perbekalan. Gelak tawa mereka berpadu dengan kecipak air. Dari kejauhan, seorang wanita paruh baya yang mengenakan kemeja batik oranye dan merah marun baru saja melewati kolam renang. “Tempat ini dijadikan seperti ini untuk menghilangkan jejak agar kita tidak ingat akan sejarah kelam itu,” ujarnya sambil menggandeng seorang perempuan muda berjaket jin di sebelahnya.
Wanita tua tersebut adalah Kadmi (72), seorang penyintas kekerasan politik peristiwa ‘65. Bersama Sumilah (67), Endang (69), dan empat penyintas lain, Kadmi menyusuri jejak-jejak masa lalu mereka di Plantungan pada Sabtu (27-01). Langkah-langkah mereka diikuti muda-mudi yang ingin tahu seperti apa bentuk dan kisah Kamp Plantungan. Muda-mudi tersebut tergabung sebagai peserta tur “Plan! Zaman Now”. “Tur ini bertujuan memberikan pemahaman alternatif terkait kekerasan politik peristiwa ‘65 kepada generasi muda,” terang Tsabita, salah satu panitia acara.
Kamp Plantungan berada di Desa Plantungan, Kecamatan Plantungan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Desa Plantungan terletak di bawah kaki Gunung Prahu yang diapit oleh Gunung Butak dan Gunung Kemulan serta berada dalam jajaran Pegunungan Dieng. Sebelah utara dan timur Plantungan berbatasan dengan Kabupaten Batang yang dipisahkan oleh Kali Lampir.
“Saat pertama kami masuk sebagai tahanan di sini, alang-alangnya setinggi ini,” ujar Sumilah sembari menunjuk dadanya sebagai penanda tinggi alang-alang. Ketika tiba di Plantungan pada tahun 1971, Sumilah dan para tahanan lainnya memang harus menyiapkan sendiri tempat tinggal mereka. Persiapan itu dimulai dari membersihkan alang-alang maupun tanaman rambat lainnya.
Sumilah menjelaskan bahwa Kamp Plantungan memang tidak didesain sebagai tempat pengasingan sejak awal. Bangunan yang digunakan sebagai kamp sesungguhnya dibangun pada tahun 1870 oleh pemerintahan Hindia Belanda sebagai rumah sakit militer. Kemudian, rumah sakit tersebut diubah menjadi lepratorium di tahun 1929 dan beroperasi hingga tahun 1960. Setelah diadakan perbaikan pada tahun 1969, pemerintah Indonesia menggunakan bangunan tersebut sebagai penjara anak-anak. Barulah pada Juni 1971 pemerintah Indonesia mengubahnya menjadi pusat rehabilitasi tahanan politik (tapol) G30S wanita golongan B.
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13/Kogam/7/1966, tahanan golongan B adalah mereka yang terlibat secara tidak langsung dengan perencanaan pengkhianatan terhadap negara. Mereka adalah kaum yang telah mengetahui adanya gerakan pengkhianatan, menunjukkan sikap yang bersifat menyetujui gerakan tersebut, atau menghambat usaha-usaha penumpasan gerakan pengkhianatan. Mereka yang telah bersumpah kepada Partai Komunis Indonesia atau organisasi masyarakat yang seasas aktivitasnya juga termasuk dalam golongan ini.
Sebelum pindah ke Kamp Plantungan, mereka berasal dari rumah tahanan yang ada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Ambarawa, dan Surabaya. Buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011) karya Amurwani Dwi Lestariningrum menyebutkan bahwa pemindahan sejumlah tapol wanita ke Plantungan dilakukan pemerintah Indonesia agar para tapol menjadi lebih terampil. Bekal keterampilan nantinya dapat digunakan ketika tapol kembali ke kehidupan masyarakat luar. Selain itu, pemindahan tapol ke Kamp Plantungan dapat memangkas anggaran belanja pemerintah.
Sumilah sendiri pernah ditahan di Penjara Wirogunan (Yogyakarta) dan Penjara Wanita Bulu (Semarang) sebelum akhirnya diasingkan di Kamp Plantungan tanpa peradilan. Ia dipenjara sejak November 1965 sampai dengan November 1979. “Saya ditahan sejak usia empat belas tahun hanya karena senang menari Genjer-genjer,” kenang Sumilah. Pada mulanya, Sumilah adalah korban “salah tangkap” aparat. Pasalnya, buron yang dimaksud adalah seorang guru SMP yang tinggal di lain desa. Hal itu pun baru diketahuinya saat pindah ke Plantungan, setelah ia melewati masa penahanan selama enam tahun.
Sumilah kemudian berkisah bahwa para tapol dikelompokkan ke dalam beberapa unit kerja. Unit-unit tersebut adalah kesehatan, pertanian, peternakan, membatik, menjahit, dan kerajinan. Pengelompokan didasarkan pada keahlian dan keterampilan.
Sebelum mulai bekerja di unit masing-masing pada pukul tujuh pagi, mereka harus menyiapkan makanan untuk diri mereka sendiri. Sejak dini hari, para tapol menanak nasi, memasak sayur, dan menyiapkan lauk untuk sarapan bagi kurang lebih lima ratus tahanan. “Ada semacam grup piket untuk memasak di dapur, untuk sayur dan lauknya berasal dari ladang dan peternakan yang dikelola sendiri,” timpal Endang yang juga pernah mencicip hunian di Kamp Plantungan selama delapan tahun.
Kadmi, Sumilah, dan Endang kemudian melangkahkan kakinya perlahan. Mereka berjalan di tepi hamparan rumput yang menghijau di sisi Barat kawasan Plantungan. Sebuah surau berdinding hijau menjadi satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak di hamparan itu. Dulu, di atas hamparan tersebut berdiri rumah-rumah tahanan yang dikelompokkan dengan sistem blok. Terdapat enam blok di Kamp Plantungan yakni Blok A, B, C, D, E, dan F. Kini, yang tersisa hanyalah rangka dasar dari blok-blok tersebut.
Sumilah menyapa seorang pelapak yang berjualan di seberang hamparan rumput itu. Pelapak yang bernama Mariyati tersebut juga pernah menjadi saksi kehidupan para tapol di Kamp Plantungan. Saat itu, ia masih kanak-kanak dan tinggal di Desa Plantungan. Sumilah menanyakan kabar Pak Lurah yang dulu kerap berbaik hati kepada tahanan dengan memberikan sejumlah bahan makanan menjelang pembebasan. Mariyati menjawab bahwa Pak Lurah yang dimaksud Sumilah telah meninggal dunia sejak lama. Mendengar itu, Sumilah tertegun sejenak. Ia kemudian bertanya perihal banjir bandang yang tak lagi ia ingat kapan terjadinya. “Banjir besar itu terjadi pada tahun 1990,” jawab Mariyati. Sumilah mengangguk mendengar jawaban itu.
Banjir bandang itu menghancurkan sebagian besar bangunan kamp yang terletak di bawah dekat bibir sungai. Dalam bukunya, Amurwani menuliskan bahwa sebenarnya beberapa bangunan yang ada di seberang Kali Lampir masih tersisa beberapa buah setelah banjir bandang. Akan tetapi, karena suatu hal, bangunan itu dimusnahkan. Sedangkan bangunan di sisi lain yang masih tersisa tetap dimanfaatkan sebagai Tahanan Anak Negara.
Menurut penuturan Mariyati, pemerintah kemudian mengalihfungsikan kawasan tersebut sebagai tempat wisata pada tahun 2000. Dengan kondisi yang tenang dan asri, kawasan bekas kamp kerap didatangi oleh wisatawan. Kini masyarakat lebih mengenal kawasan itu dengan sebutan Bumi Perkemahan Jodipati Plantungan. Jika berjalan ke utara, terdapat kolam renang kecil, dan area untuk berendam dalam air hangat yang dipagari hiasan berbentuk hati. Para pengunjung seringkali duduk di depan hiasan tersebut dan berswafoto bersama.
“Diubah seperti ini agar kesannya tidak pernah terjadi apa-apa,” sesal Kadmi sambil membenarkan posisi syal yang melilit lehernya. Ia mengatakan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk menyembunyikan sejarah penyiksaan yang terjadi di negeri ini. Baginya, upaya ini terlihat dari cara pemerintah mengalihfungsikan kawasan-kawasan yang dulunya merupakan tempat penahanan tapol. Tempat ia ditahan dulu, Kamp Bantul, kini juga telah diubah menjadi kantor bank pemerintah dan ruko. “Padahal dulu para tapol dipukuli, disetrum, dihajar sampai berdarah, bahkan banyak yang meninggal juga di Kamp Bantul,” ucapnya sembari menggelengkan kepala.
Ketiadaan wujud bangunan utuh Kamp Plantungan membuat bingung Martinus dan Siti, dua peserta tur. Mereka agak sulit untuk membayangkan peristiwa penahanan yang sempat terjadi di sana. Apalagi, keterangan fisik terkait keberadaan kamp sebelum berubah menjadi tempat wisata juga sama sekali tidak ada. “Kupikir hanya tempat wisata pada umumnya,” seloroh keduanya.
Kamp Plantungan dan puing-puingnya bukan hanya sebatas benda mati melainkan juga merupakan situs memori. Bagi Pierre Nora dalam artikelnya, “Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire” (1989), situs memori (lieux dé memoire) merupakan sebuah kristalisasi atas sesuatu yang telah terjadi di masa lalu. Beberapa contoh situs memori adalah museum, arsip, pemakaman, festival, peringatan, perjanjian, monumen, dan tempat suci. Menurut sejarawan Prancis ini, situs-situs tersebut sangat berhubungan dengan narasi sejarah dan identitas suatu daerah. Keberadaan situs memori dapat membangkitkan memori kolektif.
Menurut Ben Anderson dalam Imagined Community (1981), memori kolektif menandakan narasi pengalaman masa lalu yang dibentuk oleh dan atas nama kelompok tertentu. Dalam ingatan kolektif, mereka menemukan bentuk identifikasi yang mungkin memberdayakan untuk diri dan orang lain. Memori kolektif bersama institusi dan praktik yang mendukungnya dapat membantu menciptakan, mempertahankan, dan mereproduksi “komunitas yang diimajikan” (imagined community). Adanya imagined community dapat membuat individu mengidentifikasi dan memberi mereka rasa sejarah, tempat, dan kepemilikan.
Plantungan saat ini tidak memiliki satu penanda utuh yang dapat menjadi bukti bahwa tempat tersebut dulu merupakan kamp konsentrasi. Alih fungsi lahan oleh pemerintah juga menambah kesulitan pengunjung untuk turut merasakan dan mengingat memori para penyintas. Dalam On Collective Memory (1992), Maurice Halbwachs menempatkan memori individu sebagai bagian atau aspek dari memori kelompok yang terbentuk untuk mengartikulasi memori kolektif masyarakat. Bagi sosiolog Prancis ini, kelompok dalam masyarakatlah yang bertanggung jawab atas memori kolektif dan kerangka sosial untuk memori yang memfasilitasi itu. Dalam hal ini, memori milik para penyintas berperan penting bagi memori kolektif masyarakat. Jika bangunan yang menjadi kristalisasi memori penyintas sudah lenyap, narasi para penyintas mengenai keseharian mereka di Kamp Plantungan menjadi tidak lengkap.
Walaupun begitu, Sumilah merasa bersyukur banjir bandang datang ketika ia dan sejawat tahanan lainnya sudah dibebaskan. Ia menambahkan bahwa ketika mereka masih ditahan, banjir memang seringkali mampir ke Kamp Plantungan. Akan tetapi, banjir tersebut tidak pernah mencelakakan mereka. “Saya merasa kami selalu dilindungi Tuhan ketika ditahan di sini, bahkan sampai waktunya dibebaskan,” katanya dengan pelan.
Dalam bukunya, Amurwani menyebutkan bahwa penyelesaian para tapol golongan B di Indonesia mulai dilaksanakan pada 1975. Kedatangan Palang Merah Internasional ke Kamp Plantungan dan Kamp Pulau Buru telah mendorong pemerintahan Soeharto untuk segera melakukan pembebasan para tapol. Amnesti Internasional dan British Campaign for the Release of Indonesian Political Prisoners juga berperan besar dalam pembebasan para tapol.
Pemerintah mempunyai beberapa persyaratan dalam pembebasan tapol golongan B. Persyaratan tersebut berkaitan dengan kadar ideologi, kedudukan dalam organisasi, kelakuan selama di tempat tahanan, serta kondisi fisik, dan umur tapol yang bersangkutan. Pembebasan dilakukan secara bertahap yakni pada tahun 1977, 1978, dan 1979.
Memandang ke arah batu-batu besar yang dicat warna-warni, Sumilah mengenang saat-saat ia dibebaskan. Tempat yang ia pandangi dulunya merupakan kawasan Blok F, lokasi apel terakhirnya di Plantungan. Sumilah pulang bersama 274 tapol lainnya pada 19 November 1979. Mereka diberangkatkan dengan bus dan dibubarkan secara resmi di Alun-Alun Kota Semarang dimana keluarga dan kerabat telah menunggu mereka.
Sumilah mengaku tidak pernah menceritakan kisahnya selama di tahanan kepada ibu dan ayahnya, bahkan sampai mereka meninggal dunia. Ia tidak ingin membuat orang tuanya terbebani dengan kisah kelamnya. “Berbeda dengan anak saya, ia mendengarkan semua cerita saya karena ia perlu mengerti apa yang terjadi,” ucapnya sambil menepuk bahu anaknya yang kini telah dewasa.
Pil pahit penderitaan sebagai tapol selama empat belas tahun tanpa peradilan telah ditelan habis oleh Sumilah. Setelah bebas pun ia tetap harus merasakan pahit sebab ia telah ditandai oleh pemerintah sebagai eks-tapol (ET). Tanda ET pun terbubuh di KTP-nya selama bertahun-tahun dan seringkali membatasi ruang geraknya. Walaupun begitu, ia tidak mendendam kepada takdir dan oknum yang membuatnya menderita selama bertahun-tahun. “Tidak ada kebencian, semua sudah berlalu,” ujarnya dengan senyum yang menampakkan giginya yang jarang.
Tur ke Plantungan adalah suatu upaya agar masyarakat bisa mengetahui fakta sejarah kekerasan politik peristiwa ‘65. “Fakta itu tidak berdasar satu sumber dari rezim pemenang sejarah saja tetapi berdasar suara-suara yang selama ini tidak diperhitungkan,” tutur Tsabita. Kadmi juga berharap kehadiran para penyintas dapat membawa penerangan bagi generasi muda terkait isu ‘65. “Semoga tua kami ini berguna untuk anak-anak muda semua,” katanya sambil tertawa.
Penulis: Khumairoh, Oktaria Asmarani
Editor: Sanya Dinda
2 komentar
Sungguh kisah yg menyentuh..kebetulan saya sangat tertarik dengan kisah dan sejarah tentang tragedi 65, baik itu tentang gerakan pemberontakan PKI, tragedi di lubang buaya, dan kisah2 sejarah lain yg terjadi karena tragedi politik 65 itu sendiri. Memang, masa2 kelam yg dimulai sejak Okt 65 dan beberapa tahun setelah adalah lembaran sejarah hitam kelam dari bangsa kita Indonesia, tetapi bukan berarti menjadi hal pahit yg harus dilupakan, melainkan justru harus selalu diingat dan diceritakan dengan sebenarnya kepada generasi muda, agar peristiwa2 kelam itu tidak pernah terulang lagi.
Plantungan bukan hanya sekedar wahana bermain anak-anak itu dan tapol-tapol itu dulu, tetapi ia adalah arsitek yang membentuk ingatan dan akal budi bangsa yang belum beradab ini.