
©Sandy/Bal
Suara knalpot bergemuruh pelan di area parkir Jogja National Museum pada Minggu (17-12). Asalnya dari sebuah minibus cokelat yang tengah dipanaskan mesinnya. Sekitar dua puluh orang duduk menunggu di anak tangga Gedung Jogja Contemporary. Mereka asyik bercengkerama dengan teman obrol masing-masing seraya menanti dimulainya Tur Titik Putih.
Dimaz Maulana, inisiator tur, menjelaskan bahwa Tur Titik Putih merupakan bagian dari rangkaian pameran bertajuk “etc.” Ia menjadi salah satu seniman yang terlibat dalam pameran tersebut. Pameran ini berangkat dari gagasan bahwa sejarah tidak bersifat tunggal. Ia lahir dari beragam ingatan kecil milik tiap orang yang saling ikat satu sama lain
membentuk sejarah besar yang umum kita kenali.
Dari ide tersebut, muncul pertanyaan dalam diri Dimaz. Di mana posisi sepak bola ketika berbicara sejarah suatu kota? “Benarkah Jogja merupakan embrio kota sepak bola?” tanyanya.
Menjelang pukul 10.45, desing mesin minibus semakin menggerung. Rombongan peserta bergegas duduk di masing-masing kursi yang tersedia. Perlahan, minibus meninggalkan kawasan Jogja National Museum. Tur Titik Putih dimulai. “Nama tur ini sebenarnya diambil dari istilah sepak bola, titik putih, yang saya maknai sebagai permulaan,” ujar Dimaz
Maulana, pemandu dalam tur ini.
Tur ini hadir sebagai respons terhadap kegelisahan Dimaz mengenai minimnya pemahaman masyarakat yang kurang menggandrungi sepak bola perihal dinamika konflik di sepak bola. Soal gesekan antarbasis pendukung misalnya. “Karena ketidakpahaman mereka tentang akar perseteruan antarsuporter, golongan ini menjadi target yang rawan mengalami
kekerasan saat terjadi sweeping plat,” tuturnya.
Minibus terus mengarah ke timur. Dalam perjalanan, minibus melewati wilayah Kampung Kauman. Membicarakan Kauman, apabila dikontekstualisasikan dengan sepakbola, maka tidak dapat lepas dari nama Djamiat Dalhar. Ia merupakan pemain Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) era 1935-an, yang sekaligus anak dari H. Dalhar, salah seorang pendiri Muhammadiyah. Kauman adalah tempat Djamiat Dalhar lahir dan berkembang sebelum dirinya pindah ke Jakarta dan merintis karir sepak bola profesional di sana.
Di klub Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija), nama Djamiat melejit, sebelum akhirnya menjadi pemain dan pelatih Tim Nasional Indonesia. Kelak, di bawah arahannya, Indonesia mampu menaklukkan Uruguay 2-1 di tahun 1974. “Oleh karena jasanya yang besar, Djamiat Dalhar adalah satu-satunya pesepakbola yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Yogyakarta,” lanjutnya seraya menunjuk jalan yang terletak di sebelah barat Stadion Mandala Krida. Masyarakat sekitar juga mengenalnya dengan sebutan Jalan Andong.
Rotasi roda bus perlahan melambat sesaat sebelum minibus melewati pagar Stadion Mandala Krida. Raut terperangah nampak di beberapa wajah peserta tur setelah Dimaz, yang juga aktif menelusuri arsip PSIM, mengajak mereka turun menjelajah isi stadion. Di sela-sela aktivitas tur, tampak truk merah yang sibuk hilir mudik mengangkut sisa bahan renovasi di sisi utara tribun. Pun demikian halnya dengan keberadaan alat-alat berat lain di beberapa titik stadion. Hal ini dapat dimaklumi mengingat Stadion Mandala Krida tengah memasuki masa akhir renovasi.

©Sandy/Bal
Sembari berjalan, narasi-narasi lain mengenai sejarah klub kebanggaaan Brajamusti, basis pendukung PSIM, terus terlontar dari bibir Dimaz. Ada cerita menarik yang terjadi di Stadion Mandala Krida pada tahun 1994. Saat itu, PSIM tengah menjamu Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS) dalam lanjutan pertandingan Liga Indonesia. Brajamusti sangat antusias menyambut laga tersebut. Oleh karenanya, ketika Egi Prapto mencetak gol, Brajamusti di tribun selatan meloncat. Riuh jumpalitan ingin turut merayakan gol bersama pemain di lapangan. “Beberapa koran menggambarkan peristiwa itu dengan kalimat seolah tribun selatan akan jatuh karena antusiasme Brajamusti yang begitu luar biasa,” ungkapnya.
Animo Brajamusti yang sangat tinggi terhadap pertandingan PSIM melawan PSIS didasari oleh sejarah panjang gesekan antara kedua suporter klub. Dimaz menceritakan bahwa pada suatu ketika pernah terdapat insiden di mana suporter PSIM disetrum oleh oknum pendukung PSIS, yang saat itu masih bernama PSIS Fans Club. “Kejadian tersebut terjadi saat suporter PSIM melawat ke Semarang untuk menyaksikan klub kesayangannya bertanding,” jelasnya.
Akibatnya, saat giliran PSIS bertandang ke Mandala Krida di periode 1990-an, terjadi insiden pelemparan batu ke arah tribun tempat suporter PSIS berdiri. Pun demikian, kekerasan tidak kunjung mereda setelah suporter berada di luar stadion. Beberapa pendukung PSIS menjadi korban pemukulan yang dilakukan oknum pendukung PSIM di daerah Kotabaru, sepanjang Jalan Sudirman, dan Jalan Miliran.
Meskipun begitu, tidak serta merta sepak bola dan basis pendukungnya selalu harus diidentikkan dengan kekerasan. Dimaz mengungkapkan bahwa di tahun 2006, diadakan pertandingan antara PSIM melawan Persija. “Tiket telah habis diborong bahkan sebelum jam 14:00 siang, kursi-kursi penonton penuh, tapi, PSIM kalah,” ujarnya sambil tertawa ringan.
Menurut Dimaz, hal yang harus digarisbawahi di sini bukanlah soal siapa yang menang ataupun siapa yang kalah. Karena jelas, secara kualitas materi pemain, Persija unggul telak. Isu utama yang menarik untuk diceritakan adalah bagaimana sepak bola hadir sebagai sarana hiburan bagi banyak kalangan di Yogyakarta.
Setelah tuntas menjelajahi Mandala Krida, tur dilanjutkan ke Stadion Kridosono. Rerumputan tidak teratur menjadi pemandangan pertama yang menyambut peserta tur. Juga, bangku-bangku semen kotor tak terawat.
Stadion Kridosono sempat menjadi saksi saat PSIM menaklukkan Tim Nasional Indonesia yang dinahkodai Marota Yanek dengan skor 1-0 dalam sebuah pertandingan persahabatan. “Hingga tahun 1980-an, PSIM masih berkandang di tempat ini mengingat Stadion Mandala Krida digunakan oleh Perkesa Mataram, klub lain yang berlaga di Liga Sepak Bola Utama (Galatama),” lanjut Dimaz.
Roda minibus kian bergulir meninggalkan Stadion Kridosono. Dimaz, yang merupakan alumni program studi Ilmu Sejarah UGM, masih asyik bercerita. Kali ini ia membahas mural di Yogyakarta. Sosok bertopeng biru dengan tulisan “Come on you Mataram” menjadi objek ceritanya. “Terdapat perebutan lahan dinding kosong antara para seniman jalanan dan komunitas pecinta sepak bola yang juga mulai merambah street art,” jelasnya.
Perebutan itu tidak terlepas dari semakin sedikitnya ruang tembok kosong yang dapat mereka jadikan sebagai wadah berkreasi. Padahal, Dimaz menuturkan, bagi seniman jalanan, mural adalah bentuk pembebasan diri melalui gagasan-gagasan yang dituangkan dengan cat di tembok. Sedangkan untuk komunitas pecinta sepak bola, mural merupakan media lain guna mengekspresikan dukungan mereka kepada klub tercinta. “Ada pertentangan pelik antara kedua kelompok tersebut yang jarang diketahui publik,” ungkapnya.
Adapun polemik dan tarik ulur tersebut terus menjadi perbincangan hangat di bangku-bangku kusam minibus. Sesekali, peserta tur melontarkan pertanyaan mengenai makna tiap mural yang terlintas di hadapan mereka.
Pembicaraan baru beralih setelah Dimaz memulai topik pembicaraan baru. Kali ini, ia mengangkat isu relasi-relasi kuasa antara PSIM dengan institusi lain. Ia mengambil contoh soal hubungan Koran Kedaulatan Rakyat (KR) dan PSIM. Sebagai media tertua dan terbesar di era pasca kemerdekaan, KR, yang telah terbit sejak 27 September 1945, memilih PSIM sebagai mitra pemberitaan.
Bagi KR, apapun berita soal PSIM haruslah yang baik-baik, atau paling tidak, yang dapat membuat nama baik PSIM tetap terjaga. Keberpihakan seperti ini sebenarnya wajar dalam industri sepak bola karena media “butuh” dibaca. Dengan memuat berita soal PSIM, secara tidak langsung, basis suporter mereka juga akan ikut mengonsumsi atau bahkan menjadi pelanggan KR. Semuanya hanya soal strategi bisnis dan pemetaan target pasar. “PSIM butuh media yang memberitakan sekaligus menjaga nama baik mereka, KR butuh pangsa pasar,” jelas Dimaz.
Suara decit rem tiba-tiba memekik. Kecepatan mobil perlahan menurun. Peserta tur telah tiba kembali di Jogja National Museum. Tur tersebut mendapat kesan positif dari peserta. Adimas Maulana Maruf, salah seorang peserta tur, menanggapi konsep Tur Titik Putih. Menurutnya, ini merupakan hal yang baru di mana dinamika sisi historis kota dan sepak bola diungkapkan dalam sebuah perjalanan berkeliling kota. Setelah mengikuti tur ini, Adimas makin yakin bahwa sepak bola memiliki relasi kuat dengan sejarah Yogyakarta. “Paling tidak, bagi saya, Jogja adalah kota sepak bola,” pungkasnya.
Penulis: Sandy Maulana
Editor: Muhammad Respati