Matahari meredupkan sinarnya, memberi isyarat pada hujan untuk menggantikannya pagi ini.
“Kenapa?” tanya Hujan dengan enggan.
“Aku tidak terbit pagi ini, mungkin juga esok, lusa, dan bahkan tidak lagi,” kata Matahari sambil berganti-ganti antara menerangi dan meredupkan sinarnya.
“Apa kau yakin? Sudah beberapa hari ini kau nampak begitu ragu menyapa Bumi. Apa yang terjadi?” Hujan masih belum seutuhnya menumpahkan basah, sehingga airnya menjelma gerimis
“Nanti aku akan cerita, kau turun dulu saja,” sekali lagi ia memohon dengan sinarnya yang seketika menghilang.
Barangkali Hujan terbawa murung Matahari. Hujan jadi nampak kikuk menyapa Bumi. Padahal sedari tadi Langit dan Awan memberi tanda agar ia segera turun.
“Jadi siapa yang akan mengawali pagi ini?” tegas Awan menggumpalkan hitamnya
“Iya, ayo cepat! Kau jadi turun atau tidak sih?” Awan lain menggerutu
Langit jadi gemuruh. Kelabu ikut serta menyambut pagi. Hujan semakin gamang untuk menyapa Bumi, pelan-pelan matanya mengintip dibalik Awan. Sekali lagi meyakinkan (tepatnya memaksa) diri untuk turun.
Akhirnya Petir ikut andil, gemuruh Awan mengganggu tidur paginya. Dengan kilatnya yang ganas, ia mengagetkan Bumi yang lebih dulu dilamun kelabu. Sekali lagi. Sampai kemudian Hujan tidak tega dan menggantikannya secara tiba-tiba.
Seseorang segera berlindung di bawah pohon, kakinya telanjang digenang air.
Hujan tak kunjung pulang, seseorang mulai kedinginan. Segera ia menuju pusat Bumi, memintanya membujuk Matahari untuk segera datang. Dahan pohon yang ia singgahi juga mulai tergenang.
Bumi nampak gelisah, ia masih melamun. Entah menatap apa. Seseorang tak dihiraukannya. Sudah lama ini Bumi memang begitu; melamun sepanjang subuh sampai tiba saatnya Matahari datang menyapa. Celakanya, sudah lama pula Matahari tak menampakkan wajahnya dengan tepat. Ia seringkali terlambat, bahkan hanya sekadar lewat dan pulang sebelum senja datang.
***
Suatu hari, saat Bumi menari-nari, seseorang ikut menyambut Matahari yang menyapa membawa serta pagi yang hangat. Sesekali ia hempaskan sejuk yang manja. Rambut Bumi terurai hijau nan lebat, kulitnya yang kecoklatan serta matanya yang biru berbinar riang. Seseorang bersenandung seirama desir yang mengalun perlahan.
“Bumi, tetaplah seperti ini!” ujar Matahari.
“Kenapa begitu?” tanya Bumi sekali lalu mengibaskan rambutnya pada angin.
“Karena aku tak tahu akan seindah apalagi jika sedikit saja kau berubah,” bujuknya pada Bumi yang tengah asyik dengan dirinya sendiri.
“Ya tenang saja! Bagaimanapun aku tetap Bumi, dan kau adalah teman setiaku, Matahari,” jawab Bumi dengan santai.
Matahari tersenyum, perlahan pergi membawa serta cerita indahnya bersama Bumi. Biasanya, saat senja mengantarnya pulang, di perjalanan ia menyampaikan ceritanya pada Awan, pada Langit, juga pada Bulan dan Bintang yang menjadi teman Bumi kala malam.
Bulan seringkali mendahului Bintang. Sebelum Matahari pulang, ia dengan sengaja menengok Bumi dengan samar dari balik Awan.
“Hei Bulan, kenapa kau meninggalkan Bint…?” Awan memulai percakapannya dengan Bulan yang bersembunyi menunggu malam.
“Hei Awan, apa aku bisa seperti Bumi?” penggal Bulan sambil terus melihat Bumi yang masih samar.
“Tidak!” jawab Awan kesal.
“Heh, kenapa?” tanya Bulan sedikitpun tak mengalihkan pandangannya dari Bumi.
“Bumi, tidak memenggal percakapanku!” singgung Awan pada Bulan.
“Eh, hehe. Maaf Awan, tadi kau tanya apa? Bintang ya? Dia akan segera menyusul kok!” balas Bulan mulai menoleh Awan yang kesal.
“Ya, aku tahu,” kata Awan masih kesal.
“Lalu kenapa kau bertanya, ah!” kali ini Bulan sama kesalnya.
Percakapan mereka menjelma basa-basi yang akan berakhir saat salah satunya pergi.
“Sudahlah, aku sudah bisa menjawabnya sendiri,” timpal Awan sembarang.
“Memang jawabannya apa?” tanya Bulan datar.
“Kau ingin seperti Bumi, bukan?” jawab Awan mulai malas.
“Ya, ya ya. Kau memang pintar,” sahut Bulan yang sebenarnya tidak begitu peduli pada percakapannya dengan Awan.
Perlahan Bulan datang, menyapa Bumi dengan penuh kagum dan segan. Setiap malam, ia selalu belajar pada Bumi, tentang bagaimana Bumi mampu hidup berdampingan dengan seseorang. Ia selalu membayangkan betapa hangatnya Bumi tanpa kesepian. setiap saatnya selalu mempunyai teman.
Matahari kembali menyapa, sinarnya mengerlipkan mata biru Bumi jadi berkilauan. Bulan tersadar dan segera pulang.
“Sampai jumpa Bulan, hati-hati di jalan!! Selamat datang Matahari, Awan. Selamat pagi menjelang siang!” seperti biasanya Bumi selalu riang.
“Hei lihat, bagaimana menurutmu, bagus bukan?” Bumi menunjukan sesuatu yang berkilau di mahkotanya.
“Benda apa itu? Aku sedikit silau,” tanya Matahari terganggu.
“Seseorang membuatkannya untukku, ia juga membuat hal serupa di bagian yang lain.”
Sambil mengitarinya, Matahari dengan setia mendengar kisah bumi setiap pagi. Seperti biasa, ia juga pulang bersama senja dan memanggil Bulan sebagai pengganti.
Malam ini Bulan senang. Bumi terjaga untuk menceritakan kisahnya. Tentang seseorang yang ia cintai. Membuatkannya mahkota megah juga tembok-tembok gagah yang kini melapisi tubuhnya.
Bulan tertegun mendengar cerita Bumi. Betapa cinta seseorang pada Bumi begitu besar, begitu berkembang. Bumi bilang, ia senang, lebih bergairah saat mahkotanya yang semula hanya hijau kecoklatan berubah gagah berkilauan, seseorang juga membangunkan gedung-gedung yang menjulang, hampir menyentuh langit. “Aku bilang ‘hei jangan terlalu tinggi, nanti temanku terganggu’,‘’ tukas Bumi sambil tertawa.
Sejak itu, hampir setiap malam Bumi selalu terjaga. Bercerita pada Bulan. Meskipun sorot matanya terlihat bahagia, Bulan hawatir Bumi kelelahan. Ia meminta hujan menggantikannya beberapa malam. Hujan tak mendengar. Bumi tidak bercerita pada hujan, tapi juga tidak tidur. Seseorang yang ia cintai terus mengajak bercanda. Bumi tertawa, membiarkan hujan menggenangi sebagian tubuhnya. Tidak nampak sedikit pun lelah di kedalaman mata birunya yang mulai keruh.
Menjelang pagi, Bumi tak kunjung tidur. Sampai Matahari datang, Bumi tak juga menyapanya. Seseorang bersenandung lirih untuk Matahari. Pertanda menerima kedatangannya.
“Apa kau akan tetap seperti ini?” dengan sedikit redupan sinarnya, Matahari memberanikan diri bertanya. Bumi tak menghiraukannya, tatapannya masih menuju titik langit yang entah.
“Bukankah ini yang kau inginkan?” suara tipis Bumi menjawab.
“Kenapa kau memberikan jawaban itu sekarang?” tanya Matahari sia-sia.
“Kau tidak benar-benar memintaku menjawabnya saat itu.” Sambut Bumi mengandung hati.
Matahari memanggil serta angin dengan desirnya, lalu kembali bersoal. “Kenapa kau berubah?”
“Aku bosan. Lalu seseorang datang menawarkan berbagai hal,” jawab Bumi
Sekali lagi sambil meredupkan cahayanya, Matahari bertanya, “Apa kau akan kembali?”
“Tidak, aku tidak bisa,” sahut Bumi.
“Ada aku, Bulan, bintang, dan teman-teman lain di atas sana. Kau bisa kembali seperti semula.” Bujuk Matahari seperti dulu ia juga pernah membujuknya.
“Aku tidak ingin,” kali ini Bumi tersenyum. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Angin nan sejuk memeluk haru tubuhnya lalu kembali berjalan. Sangat perlahan, berusaha tidak menyentuh apa-apa.
“Kenapa?” tanya Matahari kemudian.
“Aku mencintainya,” sekali lagi ia menarik dalam nafasnya. Kali ini menghembuskannya dengan cepat seketika terlihat senyum tersungging di bibirnya.
“Tapi, bagaimana dengan dia? Apakah dia juga benar-benar…,” Matahari menampiknya dengan terang.
“Matahari…,” segera Bumi menatapnya, seraya Matahari kembali meredupkan sinarnya. “Bagaimana penampilanku sekarang?” ucapnya sambil menegaskan caranya bicara.
“Emm.. kau terlihat berbeda,” jawab Matahari masih dengan keredupannya.
“Hei…ayolah, nyalakan lagi sinarnya. Agar kau bisa lebih jelas melihatku. Kemarilah!” sahut Bumi bersemangat.
“Kau terlihat…emh… gagah. Yah, lebih gagah,” jawab Matahari.
“Ya, lalu?” pinta Bumi untuk menjelaskannya lebih detail lagi. “Tak usah ragu, buka matamu lebih lebar lagi, Matahari.”
“Terlihat…kuat! Gagah dan kuat!” sinarnya masih redup. Sambil berputar menemui senja, dengan haru ia menatap Bumi. Terus menatap.
Bumi beranjak dengan gagah dari duduknya, bangkit menghadap Matahari, melambaikan tangan dan membinarkan mata birunya disertai sungging senyum pertanda ia baik-baik saja. Lambat laun Matahari beranjak bersama senja. Sementara membiarkan Matahari pergi, Bumi berbisik entah pada siapa.
“Aku mencintai seseorang, semua orang.”
Bandung, 2017
NH Maryam, mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga yang bergiat aktif di Teater ESKA.
Foto via Visual Hunt.