Mulanya plastik diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. Dengan kemudahan yang diberikannya, kini plastik justru bertransformasi menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang pelik.
Pada Rabu (6-9), Orb Media yang bekerja sama dengan University of Minnesota dan State University of New York melaporkan hasil penelitian mereka mengenai kontaminasi mikroplastik pada air di laman medianya. Dalam laporan itu, para peneliti mendapati setidaknya 83 persen air di seluruh dunia telah terkontaminasi mikroplastik, sebuah partikel plastik berukuran mikroskopis. Baik air yang ada di laut, air keran, hingga air mineral siap minum terindikasi mengandung senyawa ini. Menurut mereka, sumber pencermaran berasal dari barang-barang yang tidak asing bagi kita seperti limbah cucian baju, ban kendaraan, cat, hingga beragam peralatan yang terbuat dari plastik.
Sebelum membahas mikroplastik lebih jauh, kita perlu mengetahui awal terciptanya plastik hingga penggunaannya yang semakin masif. Sejarah plastik modern dapat ditarik kembali hingga penemuan material polimer sintetis pertama bernama celluloid oleh John Wesley Hyatt tahun 1870-an. Plastik semakin berkembang hingga di tahun 1907 Leo Hendrik Baekeland, ilmuwan Belgia-Amerika, menciptakan plastik pertama yang sama sekali tidak mengandung unsur natural melainkan berasal dari minyak bumi. Ia menamainya bakelite. Plastik ini mempunyai sifat yang padat dan kuat namun juga mudah dibentuk jika dipanaskan dan diberikan tekanan pada tingkat tertentu.
Pada masanya, bakelite merupakan terobosan penting dalam sejarah manusia. Bakelite memungkinkan manusia menghasilkan barang dengan materi ciptaannya sendiri tanpa bergantung secara langsung pada faktor-faktor alam yang lebih terbatas. Barang-barang yang dulunya berbahan dasar alami seperti gading gajah untuk tuts piano, kini digantikan dengan materi sintetis yang lebih murah. Materi sintetis ini juga memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dari materi aslinya.
Biaya produksi yang lebih murah mendorong penurunan harga komoditas. Jika sebelumnya barang-barang seperti piano dan biliar hanya mampu dimiliki oleh kaum-kaum elit, kini kelas menengah mampu membelinya juga. Akibatnya, perusahaan-perusahaan memiliki pasar yang lebih luas dan produktivitas menjadi meningkat.
Penggunaan plastik kemudian menjadi semakin lazim. Hampir seluruh barang diproduksi dengan plastik sebagai bahan dasarnya. Mulai dari barang sederhana seperti sisir hingga perlengkapan militer canggih seperti radar dapat dibuat karena keberadaan plastik. Jika diakumulasi, setidaknya manusia telah memproduksi plastik hingga 8.3 miliar ton sejak awal penggunaannya secara masif di tahun 1950-an. Angka ini diperkirakan akan mencapai 12 miliar ton di tahun 2050 atau 35 ribu kali lebih berat dari gedung Empire State di New York.
Nampaknya plastik memang membantu manusia memenuhi kebutuhannya yang semakin berkembang. Tetapi di sisi lain, manusia tidak dapat lagi melepaskan diri dari ketergantungannya akan plastik. Plastik telah menguasai kita bukan sebaliknya. Rupanya pemeoĀ We Are Living In The Plastic AgesĀ sudah tidak relevan. Jika mengutip Orb, ungkapanĀ The Plastic Inside UsĀ lebih relevan karena plastik tidak lagi di sekitar kita tetapi ada di dalam tubuh kita.
Menanggapi hal ini, Tim Riset BPPM Balairung UGM berkesempatan untuk menanyakan beberapa hal terkait kontaminasi mikroplastik kepada Orb Media melalui diskusi live streamingĀ di YouTube pada 17 Oktober 2017. Diskusi daring yang diadakan oleh Orb Media ini menghadirkan beberapa peneliti yang terlibat langsung dalam riset. Di antaranya Sheri Mason, Ph.d., profesor di Departemen Geologi dan Ilmu Lingkungan State University of New York dan Dr. Amy Lusher, peneliti di Norwegian Institute for Water Research. Chris dan Dan, jurnalis Orb Media, turut hadir untuk menjadi moderator.
Kami menanyakan mengapa plastik dapat terurai dan menjadi kontaminan terhadap air di dunia. Pasalnya, dari data yang dilaporkan oleh Orb Media, 83 persen dari 159 sampel yang dikumpulkan positif mengandung mikroplastik yang berukuran 0,1-5 milimeter. Sampel berasal dari 8 negara, termasuk Indonesia (Jabodetabek), yang tersebar di 5 benua. Menurut Mason, mikroplastik tercipta akibat terurainya barang-barang berbahan plastik yang yang terpapar sinar UV maupun aktivitas kimiawi dan fisik lainnya. Selanjutnya mikroplastik akan tersebar lewat udara dan saluran air yang nantinya bermuara di laut.
Setelah menjadi mikroplastik, ia hanya bisa dilihat dengan bantuan mikroskop karena ukurannya yang bahkan lebih kecil dari plankton sagitta setosa. Dengan ukurannya yang sangat kecil, mikroplastik dapat dengan mudah masuk ke tubuh biota laut atau bahkan lolos dari proses penyulingan air minum. Maka, tidak heran jika air keran hingga air siap minum di dunia terkontaminasi oleh mikroplastik.
Kabar buruknya, plastik yang terurai menjadi lebih kecil ini mempunyai susunan kimiawi yang sama persis dengan keadannya ketika masih berbentuk utuh. Plastik tidak pernah benar-benar terdegradasi menjadi unsur yang natural. Namun ia akan tetap eksis terus menerus dan akan terkonsumsi manusia.
Mason dan Lusher mengasosiasikan mikroplastik dengan beberapa gangguan kesehatan dan penyakit seperti ketidakseimbangan hormon, kesehatan reproduksi, autisme, hingga kanker. Sayangnya, Orb Media belum mengadakan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah penyakit ini murni disebabkan oleh plastik atau karena zat berbahaya lainnya.
Keadaan ini menjadi problem tersendiri bagi para peneliti di bidang lingkungan. Banyak yang mengira bahwa solusi untuk permasalahan kontaminasi mikroplastik adalah dengan melakukan daur ulang plastik yang sudah tidak terpakai. Namun Mason menegaskan bahwa plastik merupakan material yang karakteristiknya benar-benar berbeda dari material lain seperti kaca, karet, maupun kertas sehingga proses daur ulang sangat sukar dilakukan.
Menurut Lusher, apa yang membuat plastik tidak bisa dengan mudah didaur ulang adalah karena variasinya yang sangat beragam. Misalnya polyethylene sebagai jenis plastik paling umum,Ā dengan penambahan zat aditif tertentu dapat dibentuk menjadi dua benda yaitu botol dan kantong plastik. Meskipun kedua benda tersebut berasal dari polyethylene, mereka tidak dapat disatukan dalam proses daur ulang karena zat aditif yang ditambahkan membuat susunan polimernya semakin kompleks. Oleh karena itu, penanganan terhadap limbah plastik ini mesti lebih canggih dari hanya sekadar mendaur ulang.
Marek Havrda, seorang inovator teknologi di European Commision, sebagai panelis di sesi mitigasi mengatakan bahwa perlu adanya regulasi pemerintah negara masing-masing untuk mengawasi industri plastik. Senada dengan Havrda, Mason menambahkan, pengurangan limbah plastik akan lebih efektif jika perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap barang yang diproduksinya. āSetiap perusahaan harus menerima kembali produknya setelah tidak lagi terpakai,ā tegasnya.
Lebih lanjut lagi, menurut Mason, solusi yang paling utama dalam menghadapi fenomena ini adalah dengan mengubah gaya hidup kita dalam menggunakan plastik. Inovasi bertajuk āramah lingkunganā hingga pengembangan metode waste-to-energy tidak akan optimal jika perilaku individu tidak berubah. Prinsip “sekali pakai buang” harus diganti dengan “menggunakan kembali.”
Contoh sederhananya adalah dengan membawa botol minum sendiri setiap hari, alih-alih membeli air mineral berbotol plastik. Bisa juga dengan mengisi kembali botol sampo dan sabun kita di toko khusus daripada langsung membuangnya begitu saja. Dengan demikian diharapkan setidaknya ketergantungan kita akan plastik dapat dikurangi dan dampaknya terhadap lingkungan dan manusia bisa diminimalisir.
Di penghujung diskusi, Mason menyimpulkan bahwa setiap dari kita bisa berkontribusi untuk menyelamatkan lingkungan atau sebaliknya. Ia memberi perumpamaan, jika saja setiap manusia dalam satu hari tidak menggunakan kantong plastik, maka kita sudah menghemat 7 miliar kantong plastik. āKita semua berkontribusi terhadap pencemaran ini, kita juga yang harus menyelesaikannya,ā pungkas Mason.
Penulis: Kenny Setya Abdiel
Editor: Unies Ananda Raja
1 komentar
Peranan pemerintah sangat urgen dalam mengatur pemakaian plastik, dimulai dari yang tingkat pemakaiaanya paling umum, ytas plasti atau tas kresek, Apakah dimungkinkan digani dengan bahan dasar “damen” batang padi intinya dari bahan kertas. Bukan dengan cara membeli ttas kresek dg loika yg sederhana malah menguntungfggkan produsen tas kresek, sepertti selama ini saya alami sebgai ibu rumah tangga.