Sebuah diorama menampilkan beberapa anggota TNI yang sedang mengerumuni Lubang Buaya. Dengan seragam hijaunya, mereka tampak menggali lubang. Sisanya membawa senjata dan saling bercakap-cakap. Rupanya, para anggota TNI itu tengah melakuan penggalian jenazah Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono.
Tepat di depan diorama itu, berdiri seorang perempuan renta bernama SJ (bukan nama sesungguhnya). Ia adalah seorang penyintas kekerasan politik peristiwa ‘65. Telunjuknya bergerak membuat garis di sebuah batu marmer yang letaknya tak jauh dari diorama. Dengan tangannya, ia menunjuk kata demi kata. Pandangannya mengikuti arah tangannya. Mulutnya berkomat-kamit membaca cerita di atas batu marmer itu. Suatu ketika, tangannya berhenti di satu titik. SJ menarik napas dalam-dalam.
Hari itu, SJ tidak datang ke ruang pameran diorama empat sendirian. Ia pergi ke Benteng Vredeburg bersama-sama dengan tiga perempuan lain yang berumur lebih muda darinya. Ketiga perempuan itu adalah peserta Pesiar Angkatan 98 (21-09). Pesiar Agkatan 98 merupakan sebuah acara untuk mengingat peristiwa sejarah yang ada di Yogyakarta, tetapi tidak tercatat, sebagai upaya rekonsiliasi sebuah konflik dengan menaiki andong.
Sepanjang perjalanan, SJ mengenalkan beberapa bangunan yang dulunya menjadi tempat pemeriksaan dan penyiksaan pada peristiwa ‘65. Bangunan pertama yang ia kenalkan adalah Museum TNI AD Dharma Wiratama yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman. SJ mengatakan bahwa dulu, museum tersebut adalah salah satu tempat pengumpulan massa yang diduga sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain pengumpulan massa, di tempat tersebut juga terjadi penyiksaan terhadap tahanan. “Dulu tempat ini bernama Markas Korem 072, sekarang menjadi museum,” jelas SJ.
Setelah melewati museum tersebut, andong terus berjalan ke arah selatan. SJ melanjutkan ceritanya saat ia dijemput paksa oleh aparat. Ia mengingat jelas tanggal penjemputanya, hari itu tepat pada Selasa Kliwon, 9 November 1965. Ketika aparat datang, ia baru saja bangun dari tidur karena mendengar namanya dipanggil. Tidak hanya SJ, kakaknya yang merupakan pegawai Pamong Praja juga dibawa bersama-sama dengannya.
Ketika andong mulai mendekati Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik di Jalan Jenderal Sudirman, SJ menghentikan ceritanya. Raut wajahnya berubah menjadi pucat. Sambil mengarahkan jari telunjuknya pada kantor tersebut, ia mengatakan bahwa di sanalah tempat ia dikumpulkan dan diperiksa bersama tahanan lainnya. “Setiap kali lewat sini saya masih sering teringat, dulu saya ditanyai oleh beberapa tentara, tapi karena saya tidak tahu apa-apa saya hanya diam,” ujar SJ.
Pada saat itu, SJ adalah seorang guru taman kanak-kanak. Ia menempuh pendidikan guru selama setahun karena daerah Kulon Progo sedang membutuhkan guru. SJ bekerja di sekolah yang didirikan oleh Gerakan Wanita Indonesia. Ia menerka, karena pekerjaan itulah ia dituduh sebagai anggota PKI. Akibatnya, SJ ditahan di penjara Wirogunan selama tiga bulan lalu dipindahkan ke penjara khusus perempuan di Ambarawa hingga tahun 1968.
Tiga tahun di dalam penjara dilalui SJ dengan penuh perjuangan. SJ mengatakan bahwa saat itu, orang tuanya jarang berkunjung karena usianya yang sudah senja. Hal tersebut yang membuatnya harus tidur beralaskan koran karena tidak ada yang mengantarkan kasur maupun selimut. Menu makanan sehari-harinya adalah nasi jagung dengan porsi seadanya. Ia juga harus mandi satu sumur dengan ratusan tahanan lainnya dalam waktu satu jam. “Saya sempat sakit ketika itu, tapi untungnya tidak terlalu parah,” kata SJ.
Oleh karena keadaan tersebut, SJ sering menghibur dirinya sendiri. SJ suka bernyanyi di dalam sel. Ketika ia bernyanyi, tahanan lainnya pun turut menari bersama-sama. Kendati pertunjukan itu sering kali tidak terencana, SJ mengaku cukup terhibur dengan tepuk tangan penonton ketika ia bernyanyi.
Pada tahun ketiganya, ia diperbolehkan pulang dari penjara. Sepulangnya dari penjara, karena alasan ekonomi, ayahnya menitipkannya pada seorang perempuan tua. SJ diminta menjaga perempuan tua itu, sambil menumpang hidup. “Rumah beliaulah yang hingga saat ini menjadi tempat saya tidur,” jelas SJ sembari menerawang jauh.
Bagi SJ, perjuangannya tidak berhenti ketika ia keluar dari penjara. Ia mengatakan bahwa bahkan setelah 49 tahun ia keluar dari penjara, penerimaan tidak lantas ia dapatkan dari keluarganya. Beberapa keponakannya masih memercayainya sebagai anggota PKI. Tidak hanya itu, semenjak suaminya meninggal, ia harus bertahan hidup sendiri dengan berbagai cara. Terkadang ia menjadi penjahit, kadang membuat dingklik dari susunan botol berisi kantong plastik yang dipadatkan. Ia juga rajin mengikuti pelatihan-pelatihan di sekitar kampungnya untuk mengisi kegiatannya. “Saya mengerjakan banyak hal, yang penting saya tidak meminta,” kata SJ.
Mendengar cerita SJ, Mega Nur, salah satu peserta Pesiar Angkatan 98, mengatakan bahwa ia mendapatkan pengalaman baru. Mega mengatakan bahwa penuturan secara langsung dari SJ memberikan kesan tersendiri baginya.“Saya bisa tahu bahwa Museum TNI AD yang selama enam tahun saya lewati ternyata adalah bangunan bersejarah yang menyimpan cerita-cerita penyiksaan,” jelas Mega.
Tidak hanya Mega, Ganesh Cintika Putri selaku perwakilan panitia Pesiar Angkatan 98 menilai bahwa para penyintas ‘65 perlu diberi ruang untuk bercerita. Sebab, Ganesh memaparkan, kebebasan para penyintas tidak lantas mereka dapatkan ketika keluar dari jeruji besi. Meski jeruji besi tersebut telah hilang, kawat berduri seolah masih membungkam kata mereka. Ganesh mengatakan, kawat berduri itu bisa diurai satu per satu bila mendapatkan dukungan dari banyak pihak. “Kita membutuhkan pendidikan publik yang menghadirkan berbagai prespektif narasi sejarah supaya bisa menerima situasi yang mereka hadapi,” tutup Ganesh.
Oleh: Citra Maudy
Editor: Bernard Evan
1 komentar
[…] Menguak Kondisi Tahanan Pulau Buru dalam Sebuah Memoar – HANINDA Balairung – LPM UGM Perjalanan Menyibak Memoar Penyintas ‘65 Persma.Org Mereka yang Terhempas dan Tersingkir Di gelanggang mempertahankan hidup itu, mereka […]