Di tengah krisis pangan yang dialami penduduk dunia, produk rekayasa genetika digadang-gadang mampu mengatasi. “Okja” menantang anggapan tersebut.
Judul Okja
Sutradara Bong Joon-Ho
Pemain Tilda Swinton, Paul Dano, Seo-Hyun Ahn, Jake Gyllenhaal, Sheena Kamal
Durasi 1 jam 58 menit
Tahun 2017
Genre Aksi, Petualangan, Drama, Fiksi Sains
Sutradara kenamaan Bong Joon-ho kembali membuat film tentang mutan. Bong mewujudkan mutannya sebagai monster mengerikan pemakan manusia di “The Host”, film terdahulunya. Namun, dalam film terbarunya, “Okja”, yang terjadi justru kebalikannya, manusia yang memakan mutan. Alih-alih mengerikan, mutan Bong kali ini yang berupa babi malah lucu dan menggemaskan. Lucy Mirando (Tilda Swinton), Pemimpin Perusahaan Mirando, menggambarkannya sebagai “tidak hanya besar dan cantik, babi super kami juga meninggalkan sedikit jejak [ekologis], mengonsumsi sedikit makanan, dan menghasilkan sedikit kotoran. Dan yang paling penting, mereka rasanya enak!”
Pertama kali ditemukan secara ajaib di Chili, babi super ini lalu dikembangbiakkan di peternakan Mirando. Hasilnya sebanyak 26 anak babi kemudian dikirim ke para peternak lokal di berbagai belahan dunia untuk dipelihara dengan caranya masing-masing. Salah satu anak babi dikirim ke Korea dan dinamai Okja oleh si peternak, Mija (Seo-Hyun Ahn) dan kakeknya. Satu dekade mendatang, Okja dan babi super lainnya akan dikembalikan untuk mengikuti kontes babi tersuper yang dijuri oleh veterinarian nyentrik Dr. Johnny Wilcox (Jake Gyllenhaal).
Lucy menandaskan babinya sebagai revolusi dalam industri peternakan. Ia menggadang-gadang babi supernya dapat mengatasi krisis pangan dan kelaparan di dunia. Meskipun “Okja” adalah fiksi sains, namun tidak demikian dengan krisis pangan dunia yang terjadi pada permulaan ceritanya di tahun 2007. Saat itu, harga pangan melonjak tinggi akibat kenaikan harga minyak sehingga memicu naiknya angka kelaparan di dunia.[1]
Food and Agriculture Organisation (FAO) dari Persatuan Bangsa-Bangsa memperkirakan 800 juta orang kelaparan dan sebanyak 2 milyar mengalami malnutrisi.[2] Krisis pangan dalam hal ini diartikan FAO sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan. FAO mendefinisikan ketahanan pangan dalam empat dimensi: ketersediaan pangan dengan kuantitas cukup dan kualitas layak; akses untuk memperoleh makanan; utilitas pangan dengan nutrisi dan jumlah makanan yang sesuai; serta stabilitas dari ketiga dimensi sebelumnya.[3]
FAO menerangkan ketahanan pangan tercapai saat semua orang memilki akses terhadap makanan bernutrisi yang cukup untuk menunjang hidup sehat. Krisis pangan artinya tidak melulu kehabisan makanan bila mengacu definisi FAO tersebut. Menurut Amartya Sen, famine (bencana kelaparan) dapat terjadi meski tersedia cukup makanan. Hal itu dikarenakan tidak adanya akses terhadap makanan tersebut.[4] Para peneliti menyepakati bahwa ketimpangan sosial, pengucilan ekonomi dan politik, serta diskriminasi merupakan penyebabnya.[5]
Maka dari itu, untuk menanggulangi krisis pangan, Christophe Golay beranggapan benang kusut pengucilan dan diskriminasi tersebut perlu diurai lebih dulu.[6] Menilik dari sudut pandang lain, FAO menyarankan untuk mentransformasi sistem pangan yang ada saat ini agar lebih produktif namun tetap ramah lingkungan.[7] Hal itu dapat dilakukan di antaranya dengan menghentikan ekspansi lahan agrikultur, mengurangi sampah makanan, serta meningkatkan efisiensi sumber daya dan hasil panen.[8] Kaitannya dengan peningkatan panenan, terobosan bioteknologi berupa produk rekayasa genetika (PRG) diramalkan mampu mewujudkannya.
[blockquote align=”right” author=” “]
Produk rekayasa genetika seperti jagung, kedelai, dan tebu mutan sudah beredar di Indonesia.
[/blockquote]PRG merupakan organisme yang materi genetiknya (genom) telah dimanipulasi menggunakan rekayasa genetika. Pengubahan genom dapat dilakukan dengan pembiakan konvensional seperti penyerbukan atau perkawinan silang.[9] Namun, cara tersebut hanya dapat dilakukan pada spesies yang minimal berkerabat dekat. Dengan rekayasa genetika, batasan tersebut dapat dilewati. Kini, manusia dapat memadupadankan dua spesies yang tidak ada relasinya sama sekali, bahkan lintas kingdom.[10] Contohnya adalah jagung dengan gen bakteri yang dapat menangkal hama[11], kambing dengan gen laba-laba yang susunya dapat memproduksi sutra untuk keperluan medis[12], hingga babi dengan gen manusia yang dapat menghasilkan organ untuk transplantasi.[13] Organisme fiktif yang besar, cantik, makannya sedikit, dan rasanya enak, seperti Okja, secara teoretis juga dapat dibuat menggunakan rekayasa genetika.
Pengubahan genom dengan pembiakan konvensional maupun rekayasa genetika dilakukan untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat unggul. Di bidang agrikultur misalnya, rekayasa genetika dapat membuat tanaman menjadi tahan hama dan penyakit, toleran terhadap kekeringan dan kondisi tanah yang buruk, hingga menghasilkan panenan lebih banyak, lebih bernutrisi dan enak. Dengan ciri demikian, selain meringankan beban petani, hasil panen dari tanaman tersebut dapat lebih terjamin. Itulah mengapa PRG digadang dapat mengatasi krisis pangan, khususnya di bagian ketersediaan pangan.
Walaupun demikian, sebagian masyarakat khawatir akan keamanan dan dampak buruk PRG. “Okja” membingkainya dengan menjadikan kontes babi tersuper Mirando kacau balau saat masyarakat tahu ternyata makanan yang mereka konsumsi adalah olahan PRG. Parahnya lagi, Perusahaan Mirando yang mengaku “hijau” ternyata tidak hijau sama sekali. Lucy berkilah, “Bukan salah kita konsumen paranoid akan makanan yang terbuat dari PRG.”
Meskipun memiliki banyak potensi di berbagai bidang, sebagian kalangan gamang PRG akan membahayakan kesehatan dan lingkungan. PRG yang diolah menjadi makanan berpeluang memunculkan alergen baru. Tidak hanya itu, mengonsumsinya dalam jangka panjang dikhawatirkan akan meningkatkan kemungkinan terkena gangguan pencernaan, obesitas, kanker hingga autisme.[14] Itulah penyebab masyarakat di Amerika menuntut agar makanan olahan PRG diberi label demi keamanan konsumen.
Dari segi lingkungan, PRG anti hama berpeluang mengancam keseimbangan ekologi, yakni dengan menyasar organisme yang bukan hama. Problem lainnya adalah hama dapat berkembang menjadi resisten terhadap pestisida sehingga memerlukan dosis pestisida yang lebih tinggi.[15] Penambahan dosis ini dapat berdampak buruk pada keanekaragaman hayati (biodiversitas) sebab tidak hanya mematikan hama namun juga organisme lain yang berada di lingkungan tersebut.
Lewat studinya, National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (NASEM) berusaha untuk memberikan kepastian. Dengan meninjau lebih dari 700 dokumen dan komentar serta mendengarkan 80 pendapat ahli dari berbagai latar belakang, studi NASEM ini menyimpulkan bahwa makanan olahan PRG sama amannya dengan makanan olahan non-PRG.[16] Laporan tersebut menerangkan bahwa pangan dari PRG tidak meningkatkan kerentanan terhadap masalah kesehatan yang dikhawatirkan. Oleh karena itu, NASEM menjelaskan pelabelan makanan yang mengandung PRG bukanlah untuk melindungi kesehatan publik, melainkan sebagai wujud transparansi bagi konsumen.
Dari segi lingkungan, tanaman PRG tidak menyebabkan berkurangnya biodiversitas, catat NASEM. Dalam beberapa kasus, yang dijumpai malah sebaliknya, yakni peningkatan biodiversitas. Laporan ini juga menemukan bahwa meluasnya penanaman tumbuhan PRG anti hama menurunkan populasi hama sehingga panenan yang rusak dapat dikurangi. Pestisida yang digunakan pun lebih sedikit dibanding rivalnya, tanaman non-PRG. Sementara itu, resistensi hama terhadap pestisida dapat diperlambat dengan membuat tanaman PRG yang mengandung cukup dosis racun.[17]
Selain menepis anggapan buruk, NASEM juga mengklarifikasi potensi PRG yang selama ini kerap dielukan. Studi NASEM menyebutkan bahwa tanaman PRG belum dapat menghasilkan panenan lebih banyak atau lebih bernutrisi dibanding rivalnya seperti yang dijanjikan. Masih diperlukan riset untuk mewujudkan potensi-potensi tersebut, tulis NASEM.
Perlu dicatat bahwa hasil studi NASEM di atas tidak untuk digeneralisasi sebab adanya batasan dalam data yang diteliti. PRG yang ditinjau misalnya, terbatas pada tanaman PRG yang sudah lama dan banyak dikembangbiakkan, seperti kedelai, jagung, dan kapas. Menurut NASEM, klaim yang menyatakan semua PRG aman atau berbahaya, tidak terlalu membantu dan problematis. Hal itu dikarenakan isu-isu yang berkaitan dengan PRG bersifat multidimensional.
Meskipun demikian, masih ada hal lain yang membuat orang meragukan PRG, yaitu peluangnya untuk dikapitalisasi oleh segelintir perusahaan-perusahaan besar.[18] Dengan mematenkan produknya, si empu dapat memanen keuntungan dengan memasang harga selangit yang bahkan tidak terjangkau oleh para petani kecil. Dengan begitu, tujuan PRG untuk membantu petani dan mengatasi krisis pangan menjadi absurd sebab kendali kini ada di tangan keuntungan, bukan lagi kemanusiaan. “Okja” merealisasikan hal tersebut. Dalam balutan senyum dan keceriaan, Lucy menegaskan akan mengatasi kelaparan di dunia dengan PRG babi supernya. Terlalu naif rasanya untuk percaya begitu saja. Dan ternyata memang benar, itu kedok belaka untuk menutupi kebusukan perusahaannya.
Namun, PRG tidak serta merta berarti perusahaan besar yang selalu dikendalikan keuntungan — retorika yang kerap diutarakan oleh para penentang PRG. Mendukung PRG juga tidak berarti mendukung kepentingan perusahaan terkait. Richard Robert, pemenang nobel yang mengkampanyekan dukungan untuk PRG, bahkan berkata, “Saya juga tidak suka perusahaan besar.”[19] Menganggap PRG identik dengan perusahaan besar dapat berakibat fatal. Karena hal itu, distribusi bibit pisang transgenik di Uganda terhambat[20], mengancam jutaan orang kelaparan.
Lewat “Okja”, Bong mengajak kita untuk melawan lupa akan masih adanya krisis pangan. Selain itu, “Okja” juga mengangkat isu PRG ke permukaan sehingga menjadikannya kontekstual untuk didiskusikan. Itu berlaku terutama di Indonesia yang mana PRG masih tergolong asing untuk awam. Padahal, menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan, PRG seperti jagung, kedelai, dan tebu mutan sudah beredar di Indonesia.[21]
Namun demikian, “Okja” tidak akan bercerita banyak tentang PRG dan krisis pangan. Melainkan, narasinya akan bertumpu pada perjuangan Mija untuk menghindarkan Okja dari piring saji. Tidak sendirian, ia dibantu oleh Animal Liberation Front yang dipimpin oleh Jay (Paul Dano). Bersama-sama, mereka menyelamatkan Okja sekaligus membedah jeroan Perusahaan Mirando yang busuk, buruk, lagi lancung.
Krisis pangan sepertinya terlampau kompleks untuk dipecahkan sendiri oleh Okja atau PRG yang lain. Namun, itu bukan berarti PRG tidak berguna sehingga harus ditentang dan dicela. Sebaliknya, PRG perlu terus ditelaah sebab PRG bisa jadi adalah bagian dari solusi krisis pangan. Meskipun begitu, bila kelak di Indonesia dikembangkan babi super, bukan, — bukan babi, tapi — sapi super yang cantik, besar, makanan dan kotorannya sedikit, ditambah rasa dagingnya enak, maukah Anda memakannya?
Penulis: Dwiky Rama Yanuar
Editor: Risma Nur Majida
[1] Christophe Golay, “The Food Crisis and Food Security: Towards a New World Food Order?” International Development Policy 1 (2012): 215-232. Lihat paragraf 32.
[2] FAO, The future of food and agriculture – Trends and challenges (Rome, 2017) xi.
[3] FAO, The state of food and agriculture – Climate change, agriculture and food security (Rome, 2016) 8-9.
[4] Golay, “The Food Crisis and Food Security,” paragraf 10.
[5] Ibid. paragraf 13.
[6] Ibid. paragraf 66.
[7] FAO, The future of food and agriculture.
[8] Jonathan A. Foley et al., “Solutions for a cultivated planet,” Nature 478, no. 7369 (2011): 337–342.
[9] Theresa Phillips, “Genetically modified organisms (GMOs): Transgenic crops and recombinant DNA technology,” Nature Education 1, no. 1 (2008): 213.
[10] “How does GM differ from conventional plant breeding?” The Royal Society, diakses 14 Agustus 2017.
[11] Richard L. Hellmich& Kristina A. Hellmich, “Use and Impact of Bt Maize,” Nature Education Knowledge 3, no. 10 (2012): 4.
[12] Adam Rutherford, “Synthetic biology and the rise of the ‘spider-goats’,” The Guardian, 14 Januari 2012, diakses 14 Agustus 2017.
[13] Unies A. Raja, “Manusia-Babi: Antara Keselamatan dan Etika,” Balairung Press, 14 Februari 2017, diakses 14 Agustus 2017.
[14] John Fagan, Michael Antoniou & Claire Robinson, GMO Myths and Truths 2ndEdition, (London: Earth Open Source, 2014) 128-135.
[15] Fagan et al., GMO Myths and Truths, 235-240.
[16] NASEM, Genetically Engineered Crops: Experiences and Prospects, (Washington, DC: The National Academies Press, 2016) 2, doi: 10.17226/23395.
[17] NASEM, Genetically Engineered Crops, 13. Lihat penjelasan tentang high dose/refuge (HDR) strategy.
[18] Phillips, “Genetically modified organisms (GMOs).”
[19] Kavin Senapathy, “Nobel Laureate Sir Richard Roberts To Ask Religious And Government Leaders To Support GMOs,” Forbes, 21 September 2016, diakses 19 Agustus 2017.
[20] Elizabeth Lopatto, “Can GMOs end hunger in Africa?” The Verge, 18 Februari 2015, diakses 19 Agustus 2017.
[21] “Produk Rekayasa Genetika,” Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM, diakses 19 Agustus 2017.