Tulisan ini berusaha menjawab kegelisahan saudara Wibi Lungidradityo, adik saya di Departemen Politik dan Pemerintahan. Saya selaku presiden mahasiswa akan menanggapi tulisan ini secara bijak sembari mengajak kita berpikir mengenai BEM KM UGM.
Ada beberapa hal yang patut kita kritisi dan juga pertanyakan kepada penulis atas tulisannya yang berjudul “Ironi Universitas Gadjah Mada: Keberagaman yang Semu”. Namun sebelum itu, mari kita baca alur berpikir penulis.
Awal dari tulisan ini sebenarnya sangat sederhana. Penulis resah tentang toleransi yang dimaknai secara sempit, yakni berlaku ketika keinginan sempit suatu pihak merasa terhalangi. Kemudian, penulis mencontohkan kasus intoleransi di UGM dengan foto yang tertera di gambar, di sana tertulis “Tanda Tangan Jaket Aksi #2. Allah Sedang Melihat Kamu.”
Ketika melihat tulisan tersebut, penulis menyikapinya dengan meminta agar BEM KM UGM mengganti diksi ‘Allah’ dengan ‘Tuhan’ dengan tujuan untuk menyikapi keberagaman identitas. Kemudian, penulis merasa naif dan kemudian menyampaikan bahwa BEM KM UGM bukan milik UGM, melainkan KAMMI dan Tarbiyah. Dengan pernyaatan itu, fokus penulis tidak lagi ingin mengingatkan tentang keberagaman. Semangat yang dibawa penulis berubah menjadi justifikasi terhadap BEM KM UGM sebagai organisasi milik KAMMI dan Tarbiyah.
Apabila benar demikian, saya kira orang-orang seperti Retas (HMI Teknik), Pras (GMNI FIB), Manda (Silakan diisi sendiri, hehe), Fajrul (KMNU FK), Farhan (HMI MPO FEB), Bintang (HMI Fisipol), Narto (HMI Teknik)—ditambah pengurus harian lain yang tidak ikut serta dalam gerakan ekstra kampus—akan sangat marah melihat pernyataan saudara Wibi. Kemudian, apabila saudara tahu jumlah pengurus harian yang Tarbiyah, itu jauh dari separuh pengurus harian. Kita bahkan selalu bertukar pikiran dan merumuskan masalah secara bersama-sama di dalam rapat rutin mingguan dan atau diskusi di grup Line pengurus harian. Sebab, kita percaya bahwa BEM KM UGM adalah tempat yang majemuk; menjadi simpul di antara ragam perbedaan.
Dengan ini, yang ingin saya pertanyakan, di mana letak ketidakberagaman itu? Bila harus jujur, di pengurus harian hanya saya dan seseorang dengan inisial N yang ikut dalam Dauroh Marhalah KAMMI. Bedanya, saya sempat menjadi anggota staf Sosial Masyarakat KAMMI UGM, sedangkan N tidak. Selain itu, tidak ada lagi KAMMI di pengurus harian. Saya kira jawaban saya di awal ini sudah mampu menjawab persoalan ‘absennya kemajemukan pola pikir’ sebelum Wibi persoalkan di akhir tulisannya.
Tentu saja membaca tulisan saudara Wibi membuat kita membatin. Di era persoalan bangsa yang rumit dan membutuhkan solusi bersama, masih saja ada upaya dari Wibi untuk menimbulkan rasa saling membenci dan meniadakan saudaranya sendiri yang berjuang. Paradigma yang dibangun pun supaya kita memusuhi KAMMI dan Tarbiyah. Dengan paradigma semacam itu, kita semua telah mengabaikan ‘kolaborasi kebaikan’.
Harus saya sampaikan, tidak mungkin akan berkembang suatu organisasi manakala hanya diisi oleh orang-orang yang homogen. Begitu terpilih sebagai presiden mahasiswa, saya hendak melakukan pendekatan untuk mencari orang-orang terbaik yang berani berjuang secara kolaboratif dan dari beragam latar belakang. Barangkali, orang-orang yang pernah saya datangi dan berbeda latar belakang itu juga bisa menyuarakannya, agar beres sudah persoalan labelling ini ke depannya.
Di sini, saya ingin mengajak kita untuk berpikir lebih jauh tentang keberagaman yang hakiki. Orang-orang yang beragam tersebut, yang saya minta jadi menteri pun kaget ketika saya temui. Sebab, ada beberapa pengurus harian yang bahkan belum pernah saya kenal atau bekerja sama sebelumnya. Namun, setelah saya melihat rekam jejaknya di bidangnya masing-masing, saya melihat ada iktikad baik dari mereka untuk bisa berkolaborasi dalam kebaikan. Saya menjadi percaya dan tidak khawatir untuk menitipkan amanah jabatan menteri kepada mereka.
Dengan demikian, kita sama-sama menyadari bahwa keberagaman adalah keniscayaan. Yang harus kita lakukan sederhana: membangun titik temu. Setiap orang menjadi bagian aktif, terlibat dan sama-sama bergotong-royong hanya dalam kebaikan.
Ada beberapa pernyataan dari saudara Wibi yang menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut: “Jujur, saya geli dan prihatin (merujuk deklarasi UGM sebagai Kampus Pancasila). Namun di balik kekecewaan pribadi, deklarasi tersebut seolah pas untuk mengingatkan kembali kepada segenap keluarga civitas Gadjah Mada, bahwa realita kehidupan Pancasila memang sudah redup di UGM.”
Kalimat di atas memiliki konsekuensi bahwa orang-orang akan tahu bahwa Wibi mudah memendam kecewa, misalnya terhadap Deklarasi Pancasila, juga terhadap BEM KM UGM. Dalam hemat saya, kalau boleh dibilang Pancasila bukan hanya redup di UGM, tetapi di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah belakangan gemar roadshow ke kampus-kampus untuk menghalau radikalisme dan intoleransi sebagai yang dianggap penyebab utama melemahnya Pancasila.
Kemudian, Pancasila tidak menyebutkan satu kalimat pun tentang keberagaman. Namun, Pancasila dengan sila ketiganya, yakni “Persatuan Indonesia” memegang peranan penting untuk merawat persatuan di antara ragam perbedaan. Ya, merawat kesepemahaman bukan ketidaksepemahaman. Sebab, perbedaan adalah fakta sosial dan itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Yang harus kita perjuangkan adalah persatuan Indonesia.
Setelah itu, Wibi menulis kalimat: “Namun nyatanya tidak. Setiap SC (Steering Committee) dari KPUM adalah posisi politis yang diisi oleh anggota gerakan tertentu, yang bahkan bisa dikuasai kursi mayoritasnya oleh golongan putih (KAMMI).”
Saya ingin bertanya kepada pembaca. Masihkah pembaca ingat dengan kasus mundurnya Ketua SC KPUM tahun lalu? Wibi Lungidradityo lah orangnya. Bagaimana kita tidak bertanya-tanya. Pernyataannya menjadi kontradiktif dengan sikap politik yang diambilnya. Penguasa SC KPUM pada saat itu dia yang asalnya dari HMI Fisipol, bukan KAMMI. Itu sama artinya ia menuduhkan satu telunjuk untuk menghakimi buruk orang lain, tanpa melihat keempat jari lainnya menunjuk ke diri sendiri. Wibi telah memilih untuk tidak bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Pemilwa lalu. Hal serupa pun dilakukannya ketika tahun lalu menjabat sebagai salah satu Dirjen di Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM. Ia memilih lepas tanggung jawab.
Selanjutnya, pernyataan: “Atau mungkin apakah pembaca familiar dengan PALAPA? Singkat kata, infiltrasi dan kaderisasi ideologi politik tertentu nyatanya mampu dimasuki melalui event berskala besar yang bertujuan untuk pembekalan mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada.”
Yang ingin kita pertanyakan, bagaimana caranya infiltrasi dan kaderisasi ideologi politik tertentu dapat dimasuki oleh BEM KM UGM? Saat PPSMB Palapa masih dipegang oleh BEM KM UGM, panitia yang berperan di atas diambil dari seluruh perwakilan fakultas dan sekolah vokasi. Hal tersebut justru menjamin adanya keterwakilan masing-masing fakultas dan SV di dalam struktur kepanitiaan untuk bisa saling melakukan checks and balances. Berbeda dengan sekarang di mana justru PPSMB PALAPA hanya menjadi sarana ideologisasi untuk sekadar patuh kepada penguasa. Lihat dan tanyakanlah ke berbagai fakultas dan SV. Dalam rapat terakhir antara KM UGM dengan rektorat tanggal 10 Juli lalu, PPSMB PALAPA dan fakultas yang sekarang banyak dikeluhkan mahasiswa karena peran mahasiswa untuk mengonsep dan menggagas menjadi tidak lentur. Bahkan untuk sekadar menyebut tokoh inspiratif, kita semua dihomogenisasi oleh pandangan bahwa yang “inspiratif” hanyalah mereka kalangan pejabat politik seperti Jokowi, dengan jajaran menterinya yaitu Pratikno, Retno, Basuki, dan Budi, ataupun Gubernur DIY, Sultan HB X. Seharusnya kita sebagai mahasiswa UGM yang memiliki cita-cita yang berbeda marah. Seolah bidang pekerjaan selain yang ada di pemerintahan tidak cukup layak dijadikan sebagai sosok inspiratif.
Pernyataan lain yang kontradiktif : “Secara organisasional, saya yakin mereka profesional (walau saya ragu).”
Sejak manusia mendalami ilmu pengetahuan, ia seharusnya mampu berpikir dengan lebih jernih. Bahwa tidak akan mungkin seseorang bisa dikatakan ‘yakin’, sedangkan hatinya sendiri ‘ragu’. Ini rancu! Tolong, jangan membuat penduduk UGM menjadi sadar betapa rapuhnya penulis membangun logika. Di saat bersamaan, saya menaruh tanya? Koq, bisa-bisanya SKM Bulaksumur meloloskan tulisan opini berikut, tanpa adanya proses editing dan konfirmasi terhadap substansi terlebih dahulu.
Terakhir, pernyataan penulis yang membuat kita mengelus dada: “Saya mengusulkan agar BEM KM diubah menjadi lembaga eksekutif Jamaah Salahuddin saja. Dan sudah jelas representasinya untuk siapa dan kepada golongan apa.”
Pernyataan terakhir Wibi telah membuat kita marah sekali lagi dengan upayanya memecah belah mahasiswa. Hal yang dilakukan Wibi ini bertentangan dengan Pancasila, yaitu sila ketiga. Wibi, di tengah tulisannya yang membahas toleransi, justru diam-diam menyerukan kepada kita semua untuk tidak toleran. Betapa tidak, saudara-saudara saya di Jamaah Shalahuddin terdiri dari beragam entitas. Bukan hanya KAMMI dan Tarbiyah. Mereka ada dari berbagai macam harokah. Bahkan, bila saudara Wibi tahu, Ketua Jamaah Shalahuddin saat ini dipegang oleh saudara Yarabisa Yanuar dari Salaf; dan ia bukan KAMMI.
Kita bisa saja marah kepada Wibi, tetapi kita tidak memilih jalan itu. Saya secara pribadi patut berterima kasih kepada tulisan Wibi yang membuka diskusi kepada kita mengenai BEM KM UGM, KAMMI dan Tarbiyah. Di saat yang bersamaan, saya menjadi bisa menjernihkan nalar publik yang sudah sering kali dikoyak oleh pandangan ngawur. Saya menyebut apa yang dilakukan Wibi sebagai paham ‘caur’, atau Caurisme, yakni paham yang memandang dunia secara serampangan (seenaknya dewek) yang berakibat fatal pada rusaknya tatanan persatuan bangsa.
Tentu sebagai satu bangsa, kita semua telah belajar untuk menjadi Indonesia dan pancasilais yang sebenarnya. Yang membuat kita intoleran hadir, justru karena kita barangkali telah mengesampingkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan.
Saya tegaskan, sebagai satu bangsa, kita telah sama-sama berkomitmen dan berkhidmat terhadap Pancasila sebagai dasar negara kita. Saya dan rekan-rekan di BEM KM UGM telah berusaha secara mastatho’tum atau sungguh-sungguh untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Mari kita merajut persatuan. Membiasakan budaya konfirmasi, menemukenali masalah sedalam-dalamnya, dan berpikir terbuka untuk adil sejak dalam pikiran terlebih perbuatan. Sebab, kita hanya bisa menitipkan masa depan bangsa kepada mereka para pemberani. Alhamdulillah, di BEM KM UGM ini saya dan rekan-rekan belajar untuk menjadi pemberani. Kamu?
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia
Presiden BEM KM UGM 2017