Selepas Agresi Belanda II pada 1948, kenangan yang hidup di ingatan masyarakat bukan lagi tentang desingan peluru. Melalui film Ziarah ini, BW. Purba Negara menyajikan realitas lain setelah agresi berakhir.
Judul: Ziarah
Durasi: 87 Menit
Sutradara: BW Purba Negara
Pemain:
- Mbah Sri: Ponco Satiyem
- Cucu Mbah Sri: Rukman Rusadi
Tahun: 2016
Seorang perempuan tua renta dengan wajah penuh keriput dan rambut perak duduk termangu di samping batu nisan bertulis clash II. Tanpa nama. Sebuah petunjuk bahwa kita akan diajak mencari seorang veteran yang pernah terlibat dengan peristiwa Agresi Belanda II melalui film berjudul “Ziarah”.
“Kulo niku ajeng madosi pesarehane Pak Pawiro, Pawiro Sahid. Piyambak i pun pamit maju perang, ning mboten wangsul.” (Saya mau mencari makam Pak Pawiro. Sebenarnya dia pamit berperang, tapi tidak kembali), begitu kalimat yang selalu terlontar dari mulut Mbah Sri (Ponco Satiyem) kepada orang-orang yang diyakini tahu keberadaan makam tersebut. Sebab, ia memiliki keinginan agar ketika ajal menjemputnya dapat dikebumikan di sebelah peristirahatan terakhir suaminya.
Dalam “Ziarah”, sutradara sekaligus penulis skenario, B.W Purba Negara, merekonstruksi sisi lain Agresi Belanda II tahun 1948. Hal ini berbeda dari mayoritas film berlatar sejarah yang menyajikan peristiwa besar maupun tokoh ternama. Adegan pengumpulan informasi melalui sumber lisan dalam film ini dilakukan oleh pemeran untuk mendukung roh cerita secara utuh.
Setelah Leopold von Ranke mengkritik bahwa sumber lisan tidak dapat digunakan sebagai salah satu sumber sejarah, Allan Nevins dari Columbia University menegaskan bahwa metode ini dapat digunakan sebagai sumber, dengan catatan adanya bukti rekaman dan dokumen wawancara. Fakta sejarah bisa dihimpun dari pelaku, saksi, maupun lingkaran keluarga pelaku dalam sebuah peristiwa sejarah. Cara inilah yang digunakan sang pemeran dalam penggalian fakta yang juga menggunakan metode wawancara snowballing.
Pencarian bermula ketika Mbah Sri bertemu dengan sosok Mbah Redjo, seorang veteran yang kebetulan melukis tempat kematian Pawiro. Berdasarkan penuturan Mbah Redjo, Prawiro tidak dikebumikan di taman makam pahlawan yang selama diziarahi oleh Mbah Sri. Melainkan di alas Pucung, dekat dengan tempatnya tertembak oleh pejuang lain ketika mengendarai jip hasil rampasan. Berbekal informasi tersebut, tanpa pamit kepada cucu laki-lakinya (Rukman Rusadi),— satu–satunya anggota keluarga yang tinggal bersamanya—nenek berusia 90 tahun itu meninggalkan rumah. Sayangnya, di alas Pucung ia tak menemukan sebongkah wujud pusara, melainkan danau buatan.
Ia pun berkelana, menanyakan kepada penduduk lokal tentang keberadaan makam suaminya. Namun, penduduk lokal hanya memberikan nama-nama sesepuh desa untuk dijadikan rujukan pencarian informasi selanjutnya. Pencarian berlanjut, ia bertemu dengan orang-orang baru yang menjadi saksi peristiwa. Di akhir perjumpaan, selalu terselip nama sesepuh di daerah lain yang lebih mengetahui lokasi makam. Namun, dari cerita-cerita yang dihimpun, mereka hanya menyebutkan kisaran wilayah makamnya saja. Hingga suatu ketika, pencariannya berujung pada seorang sesepuh yang menyebutkan lokasi makam yang akurat.
Usaha mengumpulkan informasi dengan cara menghimpun ingatan manusia ini, bukan tak mungkin menemui berbagai kendala. Karena informasi yang dibutuhkan berasal dari narasumber yang mengalami dan menjadi saksi peristiwa, kemungkinan besar, para informan yang terlibat telah tutup usia. Misalnya, kematian Mbah Redjo ketika cucu Mbah Sri akan mencari keterangan lebih lanjut. Sehingga jalan alternatif adalah menggali informasi dari keluarga saksi sejarah tersebut. Ingatan tentang makam tersebut kemudian diceritakan ulang oleh keturunan yang memiliki kedekatan dengan saksi menggunakan dokumen pendukung berupa kumpulan lukisan.
Kendala kedua yang dialami dapat berupa informan yang tidak bisa langsung merujuk pada informasi utama. Karena pengumpulan informasi berjalan dengan cara yang lebih leluasa. Tak ayal, informasi yang didapatkan dari masyarakat ini tidak hanya berkaitan dengan peristiwa clash II atau seputar kisah heroik. Dalam sebuah adegan film, informasi yang didapatkan justru tentang keterlibatan TNI untuk menggusur permukiman warga dalam proyek pembangunan waduk Kedungombo pada pertengahan 1980-an. Hal inilah yang menjadi keunikannya.Cerita tentang dinamika suatu wilayah turut terurai secara tidak langsung.
Untuk mendapatkan informasi tentang sejarah masyarakat kecil dari sebuah peristiwa besar memang membutuhkan ketelatenan untuk menguliknya. Dari tidak adanya data tertulis tentang jumlah pasukan yang dikerahkan maupun nama-nama yang terlibat dalam sebuah peperangan, sejarah lisan mampu melengkapi data sejarah. Sebab menurut (Kuntowijoyo, 2003: 27-30), dokumen yang memuat kejadian penting hanya akan dibuat oleh penguasa yang memiliki kepentingan saja. Kemudian menjadi sejarah yang elitis, luput merangkum kejadian individu atau kelompok kecil yang unik.
Lewat film yang diputar perdananya pada 2016 silam, Purba—panggilan akrab sutradara—berusaha untuk merekonstruksi sejarah yang bersifat egaliter dengan menghadirkan sejarah masyarakat bawah. Tentu saja hal ini mendobrak sudut pandang sejarah dari top down, menjadi bottom up. Ia menyajikan realitas sosial lain dari sebuah peristiwa besar. Ada pihak yang dirugikan seperti perempuan yang menjanda setelah perang usai. Salah satunya adalah Mbah Sri ini.
Selain itu, lewat film ini secara tidak langsung memberikan gambaran keuntungan sebuah sejarah lisan yang dapat menggali informasi secara lebih personal. Cerita unik semacam kekuatan supranatural turut menjadi bumbu dalam upaya pengumpulan informasi mengenai lokasi makam dalam film ini. Masih terdapat masyarakat yang mempercayai kesaktian keris untuk menunjukkan arah makam berada. Fakta mengenai peristiwa tersebut tidak lepas dari subjektivitas yang tinggi. Sebab, pengalaman pribadi para informan turut tecampur dalam pemberian kesaksian.
Dengan durasi 87 menit, film ini mampu mengaduk emosi para penontonnya. Tidak melulu tentang obrolan mengenai peristiwa masa lampau, tetapi juga falsafah hidup yang ditekuni oleh orang Jawa. Ada kalanya beberapa bagian film membuat terkikik geli, juga ada yang membuat penonton berempati dengan kegigihan usaha Mbah Sri. Meskipun keseluruhan adegan menggunakan bahasa Jawa, penuturannya terdengar lebih luwes karena pemainnya merupakan penduduk lokal Gunungkidul. Tidak berlebihan rupanya, jika artis, dan keseluruhan komposisi yang dibuat dalam film ini menyabet penghargaan sebagai film terbaik dalam ajang Salamindanaw Asian Festival 2016 dan mendapat penghargaan sebagai Skenario Terbaik pilihan Majalah Tempo 2016.
Oleh: Khumairoh
Editor: Kenny Setya Abdiel
Referensi:
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Edisi Kedua. Yogyakarta, Tiara Wacana: 2003