Tabuhan rebana dan marawis oleh Komunitas Gusdurian Yogyakarta terdengar dari halaman Gedung Pascasarjana UGM. Penampilan hadrooh tersebut membuka acara pengajian “Islam Ramah di Kampus, Islam dan Keberagaman”, hari Sabtu (03-07). Acara ini mengundang Hj. Alissa Wahid dan K.H. M. Dian Nafi sebagai pembicara.
Pengajian ini merupakan rangkaian kegiatan “Kampung Ramadhan di Kampus” yang dihelat oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UGM, PMII Cabang Sleman, Komunitas Gusdurian Yogyakarta, Mata Air Regional Yogyakarta, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama UGM, dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM. Selain pengajian, ada pula acara nonton film bareng, buka puasa bersama, tarawih bersama, muqoddaman (menyelesaikan bacaan Al-Quran), dan penyelenggaraan berbagai lomba (seperti, baca-tulis puisi, baca kitab kuning, dan stand up comedy). Dandy Priyanto, selaku ketua kegiatan, menuturkan bahwa kegiatan ini bukan hanya bertujuan menyemarakkan bulan Ramadhan, tetapi juga untuk memberikan gambaran baru tentang Islam. “Kami ingin memberi gambaran baru Islam yang rahmatan lil’alamiin,” ungkapnya.
Alissa Wahid yang didapuk sebagai pembicara pertama dalam pengajian tersebut, mengaku momentum ini cukup tepat untuk mendiskusikan tema yang diangkat. Pasalnya, kondisi Islam dan keberagaman di dunia, khususnya Indonesia, sedang dalam keadaan yang kurang baik. “Ini sudah menjadi sesuatu yang sering kita perdebatkan karena di mata dunia kini, Islam dianggap dekat dengan kekerasan,” tuturnya.
Puteri Kedua Gus Dur ini menjelaskan bahwa salah satu pemicu kondisi yang dialami Islam saat ini adalah globalisasi yang memberi akses terbuka dalam pertukaran ideologi dan kebudayaan antarnegara. Hal inilah yang bagi beberapa kelompok belum bisa diterima dan memicu munculnya gerakan puritas (pemurnian) Islam sebagai cara untuk mempertahankan budaya sendiri. Akibatnya, terjadi penurunan rasa penerimaan atas keberagaman yang ada.
Pendapat tersebut disepakati oleh Dian Nafi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Widan Solo, pembicara kedua dalam pengajian tersebut. Menurutnya, globalisasi yang meningkatkan segala macam mobilitas dan konsekuensinya, perlu dipikirkan secara serius. Kondisi Muslim sebagai mayoritas di Indonesia, dengan keharmonisan yang lebih baik dibanding negara Islam lainnya, harus bisa dimanfaatkan. “Kondisi Indonesia yang lebih baik ini haruslah menjadi peluang bagi kita untuk memberikan pewarisan nilai-nilai kebangsaan yang baik bagi generasi penerus,” tuturnya.
Mengutip ucapan Ibnu Khaldun, seorang pemikir Islam dari Tunisia, Dian Nafi menerangkan empat hal penting bagi umat Islam untuk menghayati ajaran agama sebagai bekal menghadapi kondisi saat ini. Hal pertama, yaitu terkait pandangan hidup. Menurutnya, pandangan umat Islam harus ditata sesuai dengan kesepakatan hidup di Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai kesepakatan hidup, Pancasila merupakan landasan warga Negara Indonesia yang telah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa. Kedua, cara hidup, umat Islam haruslah sesuai dengan ajaran agama Islam. Ia mencontohkan seperti, etos kerja, tanggung jawab, sikap terbuka, saling menasihati, dan konsep asah-asih-asuh. Ketiga, peralatan hidup, terkait keharusan manusia untuk mampu mengontrol segala kemajuan teknologi yang ada—jangan sampai teknologi yang justru mengontrol manusia. Keempat, tempat hidup, Indonesia sebagai tempat hidup sudah sepatutnya untuk dimakmurkan bersama dengan mencurahkan segala perhatian kepada kepentingan tanah air.
Alissa Wahid sepakat dengan pernyataan terakhir yang dipaparkan Dian Nafi. Menurutnya, umat Islam Indonesia harus memikirkan dan mencintai negara, sebagaimana hadist yang berbunyi, “Hubbul waton minal iman, ‘cinta tanah air itu sebagian dari iman’.” Ia juga mengajak para hadirin untuk meningkatkan nasionalisme pada akhir ceramahnya. Tak hanya itu, ia juga mengajak untuk mempraktikkan konsep keimanan dan nasionalisme secara bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Rosalina Woro Subektie
Editor: Sitti Rahmania