“Pesta Majelis Wali Amanat” yang berakhir Senin (17-04) di Balai Senat UGM lalu telah menetapkan orang nomor satu di Universitas Kerakyatan ini. Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., akan melanjutkan estafet kepemimpinan untuk periode lima tahun ke depan. Pergantian rektor menjadi angin segar dan momentum bagi UGM untuk melakukan perbaikan dan penyelesaian berbagai permasalahan yang ada. Tumpukan pekerjaan rumah menanti rektor baru untuk segera dituntaskan.
Pada 2 Mei 2016 lalu, ribuan massa memadati gedung pusat UGM dan mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut masalah UKT, kesejahteraan tenaga pendidik (tendik) dan relokasi Bonbin. Setahun berselang, agaknya belum semua tuntutan digubris oleh jajaran rektorat universitas. Belum usai dengan urusan tersebut, kebijakan yang diberlakukan UGM akhir-akhir ini membuat para stakeholder UGM mempertanyakan kembali makna kerakyatan yang terlekat pada universitas ini. Perwujudan tri dharma perguruan tinggi yang problematis, arah pembangunan yang dinilai menjadikan UGM lebih eksklusif oleh beberapa pihak. Penentuan UKT yang dipandang belum berkeadilan oleh beberapa mahasiswa.
Bagaimana rektor baru memandang permasalahan-permasalahan UGM tersebut? Tim BPPM BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang dengan rektor terpilih pada Jumat (05-05) lalu. Alumnus Teknik Kimia UGM ini memberikan tanggapan mengenai isu-isu UGM yang sedang berkembang akhir-akhir ini di Kantor Pusat Fakultas Teknik. Berikut adalah perbincangan hangat dengan Panut Mulyono yang akan menjadi rektor ke-16 di UGM ini.
Bagaimana perasaan Anda saat terpilih menjadi Rektor UGM?
Saya terharu. Dalam hati, saya berkata bahwa ini pekerjaan berat. Tapi kalau niatnya baik, pasti akan ada banyak orang yang membantu.
Bagaimana makna Universitas Kerakyatan menurut Anda?
Pertama, UGM harus memberikan manfaat sebesar-besarnya dan memberikan kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semua rakyat diharapkan dapat berkuliah di UGM meskipun terkendala masalah finansial.
Kedua, UGM dapat melakukan hal yang bermanfaat untuk masyarakat melalui penelitian, terutama penelitian pada hal-hal yang bisa menyejahterakan rakyat. Kemudian, ilmu pengetahuan dari penelitian tersebut bisa menghasilkan produk yang dapat menambah nilai dari produk yang dihasilkan masyarakat.
Tak hanya sebatas itu, hasil hilirisasi penelitian dapat dijadikan produk komersial sehingga menciptakan industri yang akan menyerap tenaga kerja. Kemudian, produk tersebut bisa dijual dengan harga yang lebih kompetitif dan lebih murah, sehingga memberikan manfaat kepada masyarakat.
Jadi prinsipnya, makna kerakyatan itu adalah UGM memiliki kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang pendidikan seperti memfasilitasi masyarakat yang menempuh pendidikan di UGM, maupun dalam bidang lainnya.
Anda mengatakan bahwa semua rakyat bisa menempuh pendidikan di UGM, meskipun terkendala masalah finansial. Bagaimana tanggapan Anda terkait tuntutan mahasiswa UGM yang meminta adanya transparansi dan reformulasi UKT?
Kalau soal transparansi UKT, lihat saja catatan penentuan UKT tahun lalu. Jajaran rektorat universitas menentukan UKT sekian dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Penentuan besaran UKT tidak bisa serta merta begitu, harus dirinci untuk kebutuhan apa saja.
Untuk reformulasi UKT, nanti dihitung dahulu. Kita butuh dana untuk menjalankan program pendidikan dengan baik. Dari total dana yang dibutuhkan, Pemerintah Pusat (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi) memberikan subsidi sekian, sehingga mahasiswa harus menanggung sekian. Nah, untuk memperoleh sekian tadi, distribusi UKT diatur oleh masing-masing fakultas. Bagi saya, yang terpenting adalah setiap mahasiswa membayar UKT sesuai dengan kemampuannya. Kalau hanya mampu membayar 1 juta, ya bayar 1 juta. Kalau hanya mampu membayar 25 juta, ya jangan hanya bayar 5 juta.
Banyak orang tua mahasiswa Fakultas Teknik (FT) yang memiliki penghasilan di atas 100 juta per bulan. Namun, UKT yang mereka bayarkan sama dengan orang tua mahasiswa yang berpenghasilan 10—20 juta per bulan. Hal tersebut terjadi karena aturan pemerintah memang seperti itu. Usulan saya, seharusnya golongan UKT bisa ditambah menjadi 7 atau 8. Hal ini ditujukan agar orang tua mahasiswa yang berpenghasilan lebih tersebut dapat memberikan subsidi silang kepada mahasiswa lain.
Anda juga menekankan pentingnya penelitian yang dilakukan UGM dalam rangka menyejahterakan rakyat. Terkait masalah penelitian, bagaimana tanggapan Anda tentang dosen UGM yang memberikan laporan hasil penelitian tidak valid?
Pada prinsipnya, penelitian harus bebas kepentingan dan bertujuan mencari kebenaran secara keilmuan. Data penelitian yang komplet harus disajikan secara utuh. Kemudian, persoalan data tersebut dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, itu urusan pengambil kebijakan. UGM tidak terlibat dalam hal itu.
Ketika ada peneliti UGM yang melaporkan hasil penelitian tidak valid, tentu berdampak terhadap citra UGM. Apakah Anda berencana membuat mekanisme kontrol untuk meminimalkan adanya peneliti yang seperti itu?
Tentu saja iya. Saat ini pun sudah ada mekanismenya. Menurut mekanisme, jajaran rektorat universitas akan membentuk tim penelitian yang terdiri dari dosen. Kemudian, ketua tim mengajukan proposal penelitian dan UGM akan memberikan dana. Lalu dalam melakukan penelitian, seorang ilmuwan harus melakukan tugasnya secara benar dan tidak boleh berbohong. Nantinya, tim peninjau akan memeriksa hasil penelitian tersebut, sehingga ketika dilaporkan, hal yang tidak benar dapat terdeteksi.
Tidak jadi persoalan ketika data yang diperoleh menghasilkan kesimpulan yang belum valid, peneliti berikutnya yang akan membetulkan penelitian tersebut. Penelitian memang sering kali berkelanjutan dan dapat saling mengoreksi, sehingga pada akhirnya diperoleh hasil penelitian yang valid. Jangan sampai peneliti memiliki hasil penelitian yang salah dan kemudian pihak yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut mengambil keputusan yang keliru.
Menurut aturan, apakah dosen diperbolehkan melakukan penelitian tanpa sepengetahuan UGM? Apakah ada sanksi bagi dosen dan peneliti yang tidak mengikuti prosedur yang telah diatur?
Tidak diperbolehkan. Menurut prosedur yang benar, model kerjasama penelitian harus institusional. Pihak luar harus membuat kontrak kerjasama dengan UGM. Kontrak tersebut memuat prosedur, pertanggungjawaban hasil, dan cara penyelesaian bila terjadi perselisihan. Seandainya ada dosen yang menerima tawaran penelitian tanpa melibatkan UGM, universitas tidak bertanggung jawab secara formal terhadap penelitian itu. Namun, universitas punya kewajiban moral untuk menyelesaian persoalan semacam itu.
Jika UGM tahu ada dosen yang melanggar prosedur, dosen tersebut akan diberi sanksi. Namun, jika UGM tidak mengetahui hal itu, kita tidak bisa memberikan sanksi kepada dosen tersebut.
Sebenarnya, dosen mendapat banyak keuntungan jika kerjasama yang dilakukan melalui institusi. Keuntungannya adalah peneliti hanya mempraktikkan keahliannya, sedangkan urusan administrasi dan hasil penelitian menjadi tanggung jawab UGM. Bila ada kesalahan dalam hasil penelitian, institusi yang bertanggung jawab atas itu. Oleh karena itu, institusi wajib melakukan kontrol dan menunjuk orang yang benar-benar memiliki kredibilitas.
Bersangkutan dengan makna kerakyatan, bagaimana pandangan Anda tentang peran stakeholder UGM (sivitas akademika dan pegawai) dalam kerangka Universitas Kerakyatan?
Saya berprinsip bahwa dalam pengelolaan UGM, stakeholder sebaiknya berfungsi sesuai dengan peranannya masing-masing. Saya berharap, antar-stakeholder bisa terjalin komunikasi yang baik.
Pertama, mahasiswa memiliki tugas utama untuk belajar. Tidak hanya belajar mengenai mata kuliah yang diajarkan di kelas, penelitian di laboratorium, dan studi di lapangan, tetapi juga harus meningkatkan kemampuan diri pada bidang-bidang lain, seperti karakter, kemampuan bekerja dalam tim, dan berbicara di depan umum. Mahasiswa juga harus berpikir kritis. Hal-hal yang tidak sesuai norma dan aturan harus dikritisi. Misalnya, mengkritisi UU yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat atau lebih menguntungkan pihak tertentu. Menurut saya, mahasiswa tidak perlu demo untuk masalah-masalah yang cakupannya sempit seperti, masalah yang menyangkut mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan. Kalau ada peraturan yang kurang sesuai, kita diskusikan saja dan perbaiki.
Kedua, pegawai diharapkan mempunyai dedikasi yang tinggi. Hal-hal yang belum baik, mari kita diskusikan. Dosen juga diharapkan demikian. Dosen mendidik dengan empati yang tinggi dan memberikan contoh-contoh yang baik.
Anda menyebutkan bahwa mahasiswa diharapkan dapat berpikir kritis. Namun, beberapa waktu lalu diskusi ilmiah di fakultas rumpun sosial-humaniora mendapat perlakuan represif dari pihak eksternal. Bagaimana tanggapan Anda terkait kasus tersebut dan bagaimana langkah Anda dalam menanggulangi tindak represif tersebut?
Menurut saya, kajian ilmiah terhadap suatu hal itu baik. Kajian ilmiah tujuannya mencari sesuatu yang benar. Namun, masih ada ada pihak-pihak lain yang khawatir akan hasil kajian itu, sehingga ada perlawanan.
Ke depannya, kita bisa melindungi berlangsungnya diskusi internal kalau memang diskusi itu betul-betul mengkaji suatu peristiwa secara ilmiah. Kita memang harus bijaksana. Pengadaan diskusi yang sensitif perlu menilik kemungkinan risiko yang akan terjadi. Sebagai orang-orang yang cerdas, kita bisa mencari cara agar diskusi yang digelar tidak direpresi oleh pihak lain. Misalnya, diskusi yang diadakan tidak harus dalam bentuk seminar yang besar dan tidak dipublikasikan secara luas.
Anda berharap agar tendik UGM memiliki dedikasi tinggi. Salah satu hal yang mendorong produktivitas kerja adalah tunjangan kinerja (tukin). Setelah berstatus PTN-BH, tendik UGM tidak lagi mendapat tukin dari pemerintah. Apakah Anda berkeinginan untuk memberikan kompensasi tukin yang tidak lagi didapatkan para tendik?
Mengenai tukin, jajaran rektorat universitas saat ini sudah berusaha melakukan advokasi ke Pemerintah Pusat terkait tuntutan yang diajukan tendik. Harapannya, tukin enam belas bulan dapat dibayarkan, tetapi saat ini belum berhasil. Pemerintah tidak mengakui adanya tukin yang belum dibayarkan kepada tendik. Menurut saya, usaha-usaha yang sudah dilakukan jajaran rektorat universitas sebaiknya dikomunikasikan dengan baik kepada tendik agar mereka paham.
Di FT, dosen dan karyawan sudah mendapat insentif kinerja. Mereka akan mendapatkan itu jika memenuhi persyaratan. Misalnya, dosen harus melakukan penelitian, kehadiran di kelas sesuai dengan ketentuan, menyerahkan nilai tidak boleh terlambat. Di sini, insentif kinerja diberikan dua kali dalam satu semester. Saya tidak tahu di fakultas lain ada insentif semacam ini atau tidak. Kalau pola yang ada di FT ingin diberlakukan di seluruh fakultas, masalahnya adalah uangnya cukup atau tidak. Kalau uangnya tidak cukup, ini tugas jajaran rektorat universitas untuk mencari uang. Universitas tidak mungkin mencari tambahan dana dari mahasiswa, karena sudah menerapkan sistem UKT. Tambahan dana bisa didapat melalui kerjasama dengan pihak luar.
Terkait dengan kinerja dosen, Anda juga berharap dosen mengajar dengan empati tinggi. Namun, berdasarkan pernyataan beberapa mahasiswa, terdapat dosen yang lebih fokus mengerjakan proyek daripada mengajar di kelas. Selain itu, di beberapa fakultas masih mempekerjakan dosen-dosen yang sudah memasuki usia pensiun. Hal tersebut diakibatkan oleh sistem perekrutan dosen yang bermasalah. Bagaimana tanggapan Anda terkait fenomena tersebut?
Aturan memang memperbolehkan dosen usia pensiun masih mengajar. Mereka diangkat sebagai dosen tidak tetap dan diberikan Nomor Induk Dosen Khusus. Ada dua kemungkinan ketika kita masih mempekerjakan dosen yang sudah memasuki usia pensiun. Pertama, kita kekurangan dosen. Kedua, dosen-dosen tersebut ingin punya aktivitas. Namun, kebanyakan memang karena kekurangan dosen.
Tahun ini UGM ingin memenuhi kebutuhan dosen. Rekrutmen dosen tidak tetap sudah dilaksanakan, tetapi kemarin masih banyak pendaftar yang gagal. Jumlah yang diterima jauh lebih kecil daripada jumlah pendaftar. Persoalan-persoalan itu akan kami perbaiki, agar pendaftar yang kualitasnya betul-betul baik bisa diterima. Saya tidak menyalahkan siapa pun. Namun, barangkali memang model dan persyaratan rekrutmennya bisa ditinjau ulang.
Sebenarnya, selain mengajar mahasiswa, dosen memiliki banyak pekerjaan di luar. Namun, karena dosennya belum cukup, ada program yang belum tertangani dengan baik. Ketika nanti jumlah dosen cukup, pekerjaan-pekerjaan dari luar bisa diorganisir dengan baik, sehingga akan mendatangkan kesejahteraan bagi dosen. Menurut saya, berapapun tenaga pendidik yang dibutuhkan UGM untuk mengajar dan meneliti, penuhi saja. Sekarang, tugas jajaran rektorat universitas adalah mencari uang untuk menggaji mereka.
Anda memiliki visi untuk menjadikan UGM sebagai Universitas Kelas Dunia (World Class University). Apakah visi tersebut sejalan dengan jati diri UGM sebagai Universitas Kerakyatan?
UGM menjadi World Class University (WCU) ketika dikenal sebagai universitas yang hebat oleh dunia. Hebat itu ketika kita bisa menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa.
Misalnya, WCU mensyaratkan universitas memiliki banyak publikasi ilmiah, baik pada tataran nasional maupun internasional. Publikasi ilmiah itu harusnya berisi penelitian-penelitian yang menyangkut persoalan bangsa, bukan hal yang tidak penting bagi bangsa.
Hasil penelitian itu kemudian dipublikasikan. Kita akan dikenal oleh dunia dan mereka akan mengakui kita sebagai universitas hebat, sehingga peringkat kita naik. Cara berpikirnya jangan dibalik-balik. Penyelesaian masalah global itu maksudnya bukan menyelesaikan masalah yang ada di Jepang atau di Eropa. Indonesia bagian dari dunia, ketika kita menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Indonesia, itu berarti sudah menyelesaikan masalah dunia.
Penyelesaian masalah tersebut misalnya ketika kita mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan iklim di Indonesia, dunia akan memperoleh manfaat. Ketika hutan gambut kita ditangani dengan baik, asap kebakaran hutan tidak lagi sampai mencemari Malaysia dan Singapura.
Untuk mencapai visi sebagai Universitas Kelas Dunia, perlu dukungan infrastruktur. Namun, di UGM sampai sekarang masih ada pembangunan gedung yang mangkrak. Apa rencana Anda terkait infrastruktur UGM ke depannya dan penanganan terhadap gedung yang mangkrak di UGM ?
Untuk infrastuktur, saya ingin UGM memiliki bangunan seperti universitas-universitas di Malaysia dan Singapura. Bagunannya bagus, bersih, tertata, dan nyaman untuk kegiatan perkuliahan. Namun, itu perlu didukung dana yang besar.
Untuk bangunan yang mangkrak, di UGM ada asrama di Sendowo dan calon toko buku yang di pinggir jalan itu. Saya belum ada bayangan untuk asrama yang di Sendowo itu. Namun, harapannya akan ada proyek-proyek lanjutan. Kalau untuk calon toko buku, rencananya itu akan diratakan, lalu dibangun untuk kegunaan pembangunan yang lain. Toko buku tetap akan dibangun, tetapi bukan di situ.
Secara umum, arah pembangunan UGM mengacu pada konsep educopolis. Namun, beberapa kebijakan terkait pembangunan tersebut membuat beberapa pihak mempertanyakan jati diri UGM sebagai Universitas Kerakyatan. Bagaimana tanggapan Anda terkait keraguan pihak-pihak tersebut?
Itu bergantung pada cara kita memaknai nilai-nilai kerakyatan UGM. Nilai kerakyatan itu maksudnya bermanfaat bagi masyarakat, memberikan kesempatan belajar di UGM, dan masyarakat dapat mengambil manfaat dari aktivitas yang dilakukan UGM.
Tidak jadi persoalan jika gedung kita mewah dan bagus, asal kita tidak melupakan tujuan untuk menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Kalau ada masyarakat yang ingin masuk dan beraktivitas di kampus, kami persilahkan, asal kepentingannya memang relevan dan bisa menjaga kondisi keamanan UGM. Tidak ada helm dan sepeda motor yang hilang.
Saya ingin tidak ada jarak antara UGM dengan masyarakat. Memang sebaiknya ada kegiatan yang memungkinkan masyarakat masuk ke UGM agar tahu gedung dan tempat pembelajarannya. Dulu saat saya kuliah di Tokyo Institute of Technology , digelar sambang griya (open house) secara rutin setiap tahunnya. Semua masyarakat bisa masuk. Nanti masing-masing laboratorium melakukan peragaan ilmiah yang sederhana. Di sekitar peragaan ilmiah tersebut, ada orang yang berjualan makanan dan bermain musik.
Bagaimana cara Anda menjalin komunikasi yang lancar dengan stakeholder UGM?
Saya pribadi suka berkomunikasi dan bertemu dengan orang. Seperti di FT, dalam satu semester diadakan minimal satu kali audiensi dekanat dan saya selalu hadir kalau tidak ada acara lain. Nanti ketika resmi menjabat rektor, saya akan jadwalkan agenda serupa. Namun, kelihatannya agenda rektor banyak, mudah-mudahan waktunya ada.
Saya berharap, saya didukung oleh jajaran rektorat lainnya. Orang yang menjabat sebagai Wakil Rektor dan Direktur Kemahasiswaan sebaiknya suka bergaul dan pintar berkomunikasi dengan mahasiswa.
Jangan sampai ada hambatan dalam komunikasi. Mahasiswa harus diberi ruang untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan usulan-usulan perbaikan terhadap sistem yang ada. Ketika mahasiswa sering bertemu dan menyampaikan keluh kesah kepada pimpinannya, saya yakin tidak akan ada akumulasi-akumulasi pertanyaan dan kekecewaan. Alhasil, demo seperti kemarin tidak terjadi.
Terkait komunikasi dengan mahasiswa, pada aksi 2 Mei lalu, mahasiswa memberikan tenggang waktu hingga 24 Mei kepada UGM untuk mempertimbangkan tuntutan-tuntutan yang diajukan. Seandainya rektor yang menjabat saat ini tidak bisa memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, apakah Anda siap jika tuntutan-tuntutan mahasiswa kemarin dibebankan pada kepengurusan Anda nanti?
Iya siap. Saya siap berdiskusi untuk mencari solusi, bukan untuk memaksakan kehendak. Misalkan ada tuntutan yang tidak masuk akal, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Itu namanya bukan masyarakat ilmiah. Sebagai orang cerdas, mahasiswa harus bisa duduk bersama dan berdiskusi untuk mencari penyelesaian.
Penulis: Faizah Nurfitria, Muhammad Farhan Isnaen
Editor: Devananta Rafiq