Di usianya yang ke-19 tahun, Reformasi masih menyisakan dosa yang belum terselesaikan dari rezim sebelumnya. Bungkam menjadi pilihan bagi korban pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 ketika kekuasaan justru merenggut hak mereka.
Orde Baru dikenal sebagai rezim yang bertahan selama 32 tahun dengan pemerintahan otoriter. Rezim tersebut masih menyisakan berbagai dosa dari serangkaian peristiwa kontroversialĀ yang pernah terjadi seperti pembantaian tahun 1965, krisis moneter 1997, hingga tragedi Mei 1998. Terdapat beberapa individu yang harus merasakan dampak pahitnya rezim tersebut seperti korban hilang, penganiayaan, hingga yang nasibnya masih terkatung-katung. Rezim Reformasi yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru pun dianggap sebagai angin segar terhadap perubahan.
Mereka yang menjadi korban di rezim sebelumnya seperti kasus Munir, aktivis politik ā65, dan keluarga korban aktivis yang hilang kemudian memanfaatkan rezim Reformasi untuk menuntut berbagai pertanggungjawaban kepada pemerintah. Ketika sebagian besar korban rezim Orde Baru memanfaatkan reformasi sebagai ruang perjuangan mereka, masih ada pihak lain seperti korban pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa pada tragedi Mei 1998 yang tidak melakukannya. Mereka tidak hanya menjadi korban pemerkosaan secara massal, tetapi juga penganiayaan dan kekerasan. Perlakuan tersebut membuat korban cenderung merasa trauma dan ketakutan hingga membuat mereka tidak muncul di depan publik dan memilih untuk bungkam.
Kebungkaman korban pemerkosaan massal tersebut tidak bisa cukup dijelaskan dengan alasan psikis para korbannya. Kebungkaman menurut (Brock, 2001: 92) merupakan sikap yang menandakan kekuatan sekaligus ketidakberdayaan. Sikap yang menandakan kekuatan dianggap sebagai meta komunikasi yang menyimpan pesan namun tidak ingin disampaikan. Kemudian, sikap yang menandakan ketidakberdayaan dikaitkan dengan bentuk relasi dengan kuasa. Pernyataan Brock tersebut dapat menjelaskan alasan di luar psikis yang menyebabkan kebungkaman korban pemerkosaan massal etnis Tionghoa.
Kebungkaman pada korban pemerkosaan massal tragedi Mei 1998 tersebut kemudian menggugah Rima Nusantriani Banurea, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi ā12 untuk meneliti lebih jauh melalui tesisnya. Penelitian yang dilakukannya bertujuan menganalisis relasi berbagai wacana yang diproduksi menjadi kekuasaan untuk dapat memahami kebungkaman para perempuan etnis Tionghoa korban pemerkosaan massal pada tragedi Mei 1998. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan genealogi. Genealogi adalah pendekatan yang menggunakan sejarah sebagai data primer dan memandang sejarah sebagai penyebaran dan bukan asal-usul yang tunggal. Selanjutnya untuk menelusuri kebungkaman tersebut, peneliti menggunakan pendekatan konsep kekuasaan Michel Foucault.
Menurut Foucault, kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang terstruktur atau terinstitusikan dan juga bukan merupakan perangkat untuk menjamin kepatuhan warga suatu negara. Kekuasaan menurutnya dipahami sebagai hubungan berbagai kumpulan kekuatan yang berproses tiada henti untuk memperbaharui atau mengurangi kekuasaan. Menurutnya, salah satu cara melihat kekuasaan bekerja adalah melalui wacana (1978: 92).
Wacana bukanlah serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan aturan atau mekanisme tertentu terhadap objek yang diproduksi, dikontrol dan diretribusikan dalam suatu masyarakat, (Foucault, 1998: 119). Peneliti di dalam tesisnya mengatakan bahwa kekuasaan yang bekerja dalam isu tersebut dapat dilihat dari dua wacana besar yaitu wacana tentang etnis Tionghoa dan wacana tentang perempuan. Wacana besar pertama terkait etnis Tionghoa diproduksi secara berbeda di setiap masanya. Wacana etnis Tionghoa sebagai peraup kekayaan negara yang diproduksi pada masa Orde Baru masih berlaku hingga saat ini. Meski begitu, masih ada wacana yang terus diproduksi dan dijadikan referensi, yakni etnis Tionghoa yang awalnya kawan berubah menjadi lawan pada masa VOC dan pengancam ekonomi pribumi pada masa Belanda. Selain itu, etnis Tionghoa juga dipandang sebagai pengkhianat, warga asing, hingga komunis pada masa Orde Lama.
Selanjutnya, wacana besar kedua tentang perempuan dibagi berdasarkan tiga jenis, yaitu wacana nilai-nilai feminitas, wacana keperawanan dan wacana mitos perkosaan. Wacana nilai-nilai feminitas mereproduksi wacana lama karena berlakunya agama dan budaya dalam memposisikan perempuan sebagai objek yang dikontrol dengan aturan tertentu. Di sisi yang lain, wacana keperawanan menjadi wacana dominan karena dalam budaya Tionghoa, keperawanan menjadi syarat utama untuk menikah dan dianggap sebagai aib keluarga apabila sampai keperawanannya hilang. Mitos perkosaan yang menggeser kebenaran tentang perkosaan turut menjadi wacana dengan perspektif apriori yang sarat budaya patriarki. Perspektif apriori menganggap korban pemerkosaan harus bersikap diam karena perkosaan dianggap sebagai hal yang memalukan atau aib.
Kedua wacana besar tersebut kemudian digunakan peneliti untuk melihat bentuk kekuasaan yang datang dari berbagai arah terhadap kebungkaman korban pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa. Terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang muncul terhadap kebungkaman tersebut, diantaranya sikap keluarga, masyarakat, dan negara cenderung menghakimi korban pemerkosaan. Bentuk kekuasaan tersebut turut didukung dengan hukuman yang tidak berpihak pada korban akibat dari bukti dan pasal hukum yang masih kaku karena tidak memaknai pengalaman korban secara kemanusiaan.
Selain itu, adanya penyebaran foto dan cerita saat peristiwa di media internet yang tidak valid merupakan bentuk kekuasaan pemerkosaan virtual. Pemerkosaan virtual yang terus diproduksi kemudian mengakibatkan viktimisasi berulang yang berakibat korban terus bungkam. Media juga memilki bentuk kekuasaannya sendiri dengan menekan korban untuk muncul di depan publik dengan menganggap remeh dan mengkomoditaskan pengalaman perkosaan. Dampak dari media memunculkan bentuk kekuasaan lain berupa perdebatan publik dan pengalihan isu yang dapat memunculkan polemik terkait kebenaran tragedi tersebut.
Berbagai bentuk kekuasaan tersebut kemudian tidak hanya dibiarkan begitu saja. Terdapat gerakan masyarakat sipil yang menjadi relawan untuk membantu korban. Namun, pergerakan mereka dibungkam oleh bentuk kekuasaan teror. Teror tersebut dimulai dari pengiriman surat kaleng, pengiriman bom molotov, ancaman langsung, penyadapan telepon, hingga pembunuhan yang mengakibatkan korban pemerkosaan bernama Ita Martadinata harus terenggut nyawanya. Padahal, Ita merupakan korban pemerkosaan yang berani muncul di hadapan publik untuk menuntut pertanggungjawaban atas tragedi tersebut. KematianĀ Ita pun seakan menjadi puncak teror yang akhirnya membuat korban pemerkosaan massal lainnya merasa sangat terancam dan semakin membuat mereka bungkam. Pada akhirnya, bentuk kekuasaan tersebut akan bekerja melalui wacana dan disiplin yang diarahkan kepada subjek yang dikenai kekuasaan.
Tidak hanya menjelaskan bentuk kekuasaan, peneliti juga menerka di dalam tesisnya terkait pelaku yang bertangungjawab dalam terciptanya kekuasaan tersebut. Mengutip pernyataan Ariel Heryanto dalam āPerkosaan Mei 1998 dan Beberapa Pertanyaan Konseptualā yang terdapat dalam buku Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan karya Nur Iman Subono, terdapat indikasi kuat bahwa pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang terbiasa dengan kekerasan. Indikasi tersebut membuat militer sebagai pihak yang paling dicurigai karena mereka terlatih dan terbiasa melakukan tindakan kekerasan. Militer yang mudah untuk dikoordinir dalam satu komando juga mengindikasikan pemerkosaan secara massal dapat terjadi dalam tragedi tersebut. Militer juga menganggap bahwa perkosaan dalam tradisi mereka adalah tindakan yang diwajarkan dan sering terjadi dalam medan perang atau daerah operasi militer, sehingga semakin memperkuat indikasi tersebut.
Terkait pengerjaan tesisnya, peneliti menganalisis berbagai arsip dari segiĀ nilai historis di dalamnya dan menghubungkannya dengan situasi, wacana dan aktor yang membentuk kekuasaan. Namun, penulis memandang dalam tesis tersebut masih ditemukan hubungan kausalitas antar variabel tidak disertai sumber yang valid dan argumen yang jelas. Pada akhirnya, beberapa kesimpulan dari hubungan kausalitas antar variabel tersebut masih perlu dipertanyakan kembali kejelasannya.
Terlepas dari kekurangannya, tesis tersebut menampakkan sebuah realita bahwa kebungkaman yang dilihat dari luar psikis korban pemerkosaan massal berdampak signifikan dalam membuat korban untuk tetap mempertahankan kebungkamannya. Selama ini, beberapa pihak hanya menganggap bahwa kebungkaman mereka hanya berasal dari diri korban dan hal tersebut terkadang dianggap wajar. Melalui tesis tersebut, masyarakat sipil yang bukan korban dapat mengurangi penderitaan mereka dengan tidak mendukung dan melanggengkan berbagai bentuk kekuasaan yang mengakibatkan para korban bungkam. Pada akhirnya, pemerintah tetap bertanggung jawab dalam mengadili para pelaku meskipun korban pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998 tetap bungkam.
Sumber :
Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Vintage Books, New York: 1998
Foucault, Michel, The History of Sexuality: An Introduction, Pantheon Books, New York: 1978
Heryanto, Ariel. āPerkosaan Mei 1998 dan Beberapa Pertanyaan Konseptualā dalam Subono Nur Iman (ed), Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta: 2000, hlm.57-113
Peggy, Brock. Words and Silences: Aboriginal Women, Politics, and Land, Allen & Uwin, Crows Nest: 2001
Sheridan, Alan. Michel Foucault: The Will to Truth, Routledge, London: 1980
Oleh: Muhammad Farhan Isnaen
Editor: Risma N.M