Selasa malam (16-05), Concert Hall Taman Budaya tampak penuh pengunjung yang antusias menyaksikan Teater “Mentari Tenggelam di Balik Tilam” Teater tersebut menjadi puncak serangkaian acara Etnika Fest 2017 yang dipersembahkan oleh Teater Terjal, FIB. Pertunjukan yang ditampilkan terinspirasi dari cerpen karya Seno Gumira Ajidarma “Pring Reketeg Gunung Gamping Ambrol.” Karya tersebut dipilih karena dianggap sesuai dengan tema Etnika Fest tahun ini yaitu “Zaman Edan.”
Teater tersebut menceritakan dua desa yang saling bertolak belakang kehidupannya. Desa yang satu dihuni oleh masyarakat yang dipandang berkelakuan baik. Di situlah tinggal gadis desa bernama Mirah, putri dari pak Carik. Sedangkan desa yang lain, dihuni oleh para pelacur dan berandal. Di situlah tinggal seorang perjaka bernama Duhsa yang jatuh hati kepada Mirah. Pertentangan pun dimulai ketika Mirah dikabarkan telah ternodai. Hal itu sontak membuat para warga di desanya merasa telah dipermalukan dan mereka menganggap desa sebelah merupakan biangnya. Mereka tidak bisa menemukan kebenaran siapa pelakunya, karena Mirah hanya duduk diam berhari-hari dan tidak mau makan. Puncaknya, penduduk dua desa ini saling membunuh satu sama lain. Saat itu juga diceritakan pelaku di balik semua ini. Tak disangka, pelakunya adalah Jagadbaya, yakni orang kepercayaan pak Lurah untuk menjaga desa.
Masih terkait dengan pagelaran teater tersebut, Faruk Tripoli, salah seorang Guru Besar FIB memberikan sebuah orasi malam itu. Ia menyampaikan bahwasanya di tengah-tengah zaman yang serba sosial media ini, sangat susah mengambil sikap abu-abu. Faruk mengungkapkan orang-orang saat ini sedang terperangkap dalam sebuah wacana “Sing edan nggragas. Sing ora edan, ora kumanan.”
Ia juga menambahkan bahwa tuntutan negara kini adalah sikap toleran. Bukan memandang perbedaan secara hierarkis tetapi perbedaan yang setara. Pandangan secara hierarkis hanya akan menimbulkan penista. Sedangkan sikap toleran akan muncul jika memiliki pandangan perbedaan yang setara. Kita tidak bisa menganggap mana yang benar, yang bohong, dan mana yang edan. “Kita harus melihat dari bagaimana orang lain juga memandang, terkadang mengandung kebenaran tetapi tidak ada kesepakatan. Harus ada relativitas budaya,” tegasnya.
Di samping pementasan teater, malam itu juga dipamerkan sederet karya dari hasil pemenang lomba menggambar tingkat SD, yang juga rangkaian acara Etnika Fest tahun ini. Tidak hanya sebagai ajang kegiatan berunsur budaya, panitia pun juga memanfaatkan acara ini sebagai penggalangan bantuan berupa apapun. Pada setiap rangkaian acara telah disiapkan charity box. Hasil dari charity box itu sendiri nantinya akan disumbangkan pada Panti cacat ganda yayasan Sayap Ibu. Setiap pengunjung tidak hanya bisa memberikan uang, namun bisa berbentuk barang lainnya yang layak didonasikan.
Wening Udasmoro, Dekan FIB dalam sambutannya memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap kegiatan ini. Tak hanya itu, beliau juga memberikan dukungan bagi mahasiswa yang aktif di luar akademik. “Teman-teman yang meraih indeks prestasi 4 memang sangat bagus, penting itu. Tetapi, mahasiswa berhasil adalah mahasiswa yang juga mampu bersosial, melakukan kegiatan di luar akademik seperti berorganisasi,” ujarnya.
Oleh: Gloria Martha
Editor: Hakam Najah