Kamis (04-05), tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta membacakan hasil putusan gugatan dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY). Gugatan tersebut, telah dilayangkan oleh ABY sejak 15 Januari lalu. Mereka menggugat Sultan Hamengkubuwono (HB) X selaku Gubernur Yogyakarta untuk mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Formula Kenaikan Upah Minimum. Tidak hanya itu, mereka juga menggugat Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 235/KEP/2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Pada aksi hari buruh sebelumnya, mereka menganggap dua peraturan tersebut tidak menyejahterakan kaum buruh.
Dalam PP Nomor 78 Tahun 2015, formula kenaikan upah dihitung berdasarkan inflasi, ditambah pertumbuhan ekonomi yang dilihat melalui Produk Domestik Bruto. Namun, formula tersebut tidak menggunakan pertimbangan mengenai Kebutuhan Hidup Layak yang diusulkan oleh serikat buruh. Dengan demikian, menurut Irsyad Ade Irawan, selaku perwakilan dari ABY, PP tersebut memangkas peran serikat buruh untuk ikut andil dalam merumuskan besaran upah minimum. Padahal, hal tersebut berlawanan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2000 tentang serikat pekerja dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa serikat pekerja mempunyai kewenangan untuk mengusulkan dan membahas kepentingan hak-hak pekerja.
Adanya PP Nomor 78 Tahun 2015, kemudian dimanfaatkan oleh HB X untuk menetapkan SK Gubernur Nomor 235/KEP/2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Dalam SK tersebut, UMK di Yogyakarta dipatok hanya berkisar Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta. Dengan upah sekecil itu, Kinardi, Sekretaris Jendral ABY, berpendapat bahwa buruh akan semakin sengsara, mengingat kebutuhan hidup meningkat tiap tahunnya.
Walaupun dengan pertimbangan semacam itu, Umar Dani, S.H., M.H, selaku hakim ketua menolak untuk mengabulkan gugatan. Ia menolak tuntutan tersebut karena pertentangan antara PP Nomor 78 Tahun 2015 dengan UU Nomor 13 Tahun 2013 bukanlah pertentangan aturan, melainkan norma. Ia melanjutkan bahwa, pertentangan norma bukanlah wewenang PTUN. “Untuk pertentangan norma, gugatan tersebut hanya berhak ditangani oleh Mahkamah Agung (MA),” lanjutnya.
Akan tetapi, Umar memberi alternatif dengan membentuk Dewan Pengupahan yang menganut asas tripartism. “Dewan Pengupahan dibentuk tidak hanya melalui unsur dari Pemerintah Yogyakarta dan perusahan saja. Tetapi, unsur serikat buruh dan akademisi juga diikutkan untuk merumuskan upah minimum,” lanjut Umar. Oleh karenanya, serikat buruh akan mendapatkan peran untuk menentukan besaran UMK.
Meskipun demikian, Detkri, Kuasa Hukum ABY, menyayangkan putusan tersebut. Namun, ia menyatakan bahwa gugatan tersebut masih memungkinkan untuk melaju ke MA. Ia berujar bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan serikat buruh lainnya mengenai rencana tersebut. “Kami akan menggugatnya dengan berbagai cara, karena hal itu sudah menjadi kewajiban untuk membela dan memperjuangkan hak buruh,” tutupnya.
Penulis: Luthfian Haekal dan Citra Maudy
Editor: Abdul Hakam