Kegiatan diksar yang dilakukan Mapala merupakan salah satu kegiatan yang berisiko tinggi. Berbagai pihak, baik Mapala dan UGM, melakukan antisipasi agar risiko ini dapat ditekan.
Gairah menjelajah alam, disadari atau tidak, senantiasa menggelegak di dalam diri manusia, Harry David Thoreau dalam bukunya Walden (1854) menyebut hal tersebut sebagai âneed the tonic of wildnessâ. Bila ditilik dari sejarahnya, kegiatan pecinta alam di kalangan mahasiswa UGM dirintis sebagai respons dari pembatasan kegiatan mahasiswa di UGM akibat aturan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Menurut Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., Mahasiswa Pecinta Alam Gadjah Mada (Mapagama) sempat berdiri di bawah kepengurusan Dewan Mahasiswa UGM pada tahun 1973. Namun, tambah pembina Mapagama ini, Mapagama sempat dibubarkan oleh pemerintah sesudah peristiwa Malari 1974 dan turunnya SK terkait NKK. âAkhirnya, kelompok mahasiswa yang suka naik gunung kembali menghidupkan Mapagama sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa tingkat universitas pada tahun 1981,â ujar Dosen Fakultas Geografi tersebut.
Pramono juga menceritakan tentang perubahan paradigma yang terjadi pada organisasi Mapala. Dahulu Mapala dianggap sebagai bentuk perlawanan mahasiswa terhadap tindakan represi pemerintah. Namun, sekarang mapala menjadi wadah menyalurkan minat mahasiswa untuk berkegiatan di alam.
Menurut Niko Ardyanto, Ketua Umum Silvagama organisasi Mapala di Fakultas Kehutanan, setidaknya ada lima kegiatan yang jamak dilakukan Mapala di UGM yakni susur gua, gunung hutan, panjat tebing, arung jeram, dan lingkungan hidup. âUntuk mengenalkan kegiatan-kegiatan ini kepada calon anggota baru Mapala, maka diadakanlah pendidikan dasar (diksar),â sambungnya. Selain sebagai sarana pengenalan, menurut Pramono, diksar juga memiliki fungsi lain untuk standardisasi keterampilan dasar calon anggota.
Sebelum memasuki tahap diksar di alam, calon anggota baru Mapala diharuskan melalui tahap pradiksar guna mempersiapkan stamina dan pengetahuannya. Setiap Mapala di UGM memiliki metode tersendiri untuk meningkatkan stamina calon anggota baru mereka. Roman Lazuardi Ketua Pelaksana Jungle School, nama diksar Kapalasastra, organisasi Mapala Fakultas Ilmu Budaya, menuturkan bahwa mereka menuntut setiap calon anggota barunya memiliki kondisi fisik yang baik. âBiasanya, kami menggunakan standar lima sampai enam putaran mengelilingi GSP dalam waktu tiga puluh menit untuk menandai kesiapan fisik peserta,â jelas Roman.
Selain itu, tahap pradiksar juga menjadi ajang pengenalan calon anggota dengan dunia pecinta alam. M. Luthfi, Koordinator Divisi Air organisasi Pecinta Alam Psikologi (Palapsi), mengatakan ada berbagai materi ruang yang disampaikan kepada peserta di dalam kelas. âDi Palapsi, kegiatan materi ruang membahas dasar-dasar pecinta alam, materi keorganisasian dan materi medis,â ujar Luthfi.
Setelah tahap pradiksar selesai, peserta akan mempraktikkan materi yang telah mereka pelajari pada kegiatan diksar. Materi yang dipraktikkan yakni materi medis dan dasar-dasar pecinta alam yang meliputi navigasi darat dan cara bertahan hidup. Ega Saâyan Maskura, Kepala Internal Satu Bumi (Satub), organisasi Mapala di Fakultas Teknik, sempat menuturkan pengalamannya saat menjadi peserta diksar di Satub pada tahun 2015. Ega menceritakan saat ia dan teman-temannya tiba di lokasi diksar, mereka diminta membuat bivak sebagai tempat hunian sementara. âSetelah membuat bivak, kami mempraktikkan metode navigasi darat yang sudah dipelajari untuk menentukan titik koordinat tertentu,â sambungnya.
Pada hari kedua, Ega dan teman-temannya diminta melakukan push up dan sit up dalam jumlah yang banyak hingga tubuh mereka kelelahan. Kondisi ini disebut sebagai kondisi nol, tujuannya sebagai bentuk simulasi apabila peserta tersesat di kegiatan alam. Selanjutnya diadakan evaluasi mengenai kegiatan yang dilakukan peserta selama di lapangan dan diksar diakhiri dengan pelantikan anggota.
Diksar yang diadakan oleh Mapala-Mapala setidaknya memiliki dua jenis Standar Operasional Prosedur (SOP). SOP pertama adalah SOP pemakaian alat yang menjelaskan kelengkapan alat dan tata cara penggunaannya. SOP kedua menjelaskan tentang aturan kegiatan yang dilakukan oleh peserta dan panitia selama diksar. âSOP ini dijadikan acuan dalam aktivitas Mapala,â ungkap Pramono.
Menurut Muhammad Najib, Ketua Panta Rhei, organisasi Mapala di Fakultas Filsafat, SOP dibuat sebagai batasan peserta maupun panitia dalam bertingkah laku. Meski terdapat SOP yang mengatur beberapa Mapala dalam berkegiatan, tetapi beberapa Mapala masih mengandalkan pengalaman untuk berkegiatan. Pengalaman tersebut didapat dari kegiatan diksar yang berlangsung pada tahun-tahun sebelumnya dan kegiatan tahunan yang berbeda-beda.
Yudha Trias, mantan Ketua Umum Satub 2015-2016, menjelaskan setiap Mapala memiliki persamaan garis besar SOP, meski detailnya berbeda, tergantung sejarah dan karakter masing-masing Mapala. Persamaan SOP terletak pada peraturan pemakaian alat, contohnya untuk olahraga arus deras. Luthfi menambahkan pernyataan Yudha bahwa di Palapsi detail pemakaian alat arung jeram mengikuti peraturan yang dibuat International Rafting Federation. âBiasanya tiap Mapala mengadaptasi peraturan-peraturan seperti itu untuk membuat SOP,â jelas Luthfi. Perbedaan tampak pada SOP kegiatan, masing-masing Mapala yang memiliki detail kegiatan berbeda.
Selain mengandalkan SOP, masing-masing Mapala di UGM memiliki sistem manajemen risiko tersendiri untuk menghadapi kemungkinan terburuk saat di lapangan. Mapagama dan Satub misalnya, menyediakan asuransi bagi seluruh peserta diksar sebagai upaya pencegahan. âAsuransinya meliputi awal perjalanan ke lokasi diksar sampai kembali,â ujar Ega.
Selayaknya kegiatan yang dilaksanakan organisasi mahasiswa (Ormawa) lain di UGM, diksar Mapala juga harus menuruti peraturan yang diberlakukan Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa). Ditmawa melalui surat edaran Nomor 13/UNI/DKM/KM/KM/2017 menyebutkan setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan Ormawa saat mengadakan kegiatan diluar wilayah kampus. Kelima hal tersebut adalah adanya surat keterangan sehat dari dokter; surat izin dari orangtua; memiliki SOP dan tata tertib kegiatan; memiliki asuransi keselamatan; dan menggunakan mobil yang memiliki asuransi dengan sopir dari penyedia rental tersebut. Apabila salah satu syarat dari peraturan ini tidak dipatuhi Ormawa, pihak Ditmawa tidak akan memberi izin untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
Pramono menambahkan bahwa surat edaran ini merupakan salah satu upaya peningkatan pengawasan dari pihak universitas. Menurutnya, pengawasan tidak hanya dari universitas tetapi juga dari masing-masing fakultas. âTujuan dari pecinta alam adalah zero accident. Mahasiswa selamat saat berkegiatan dan keberlangsungan alam juga terjaga,â ujar Pramono.
Ia juga mengungkapkan bahwa upaya pengawasan terus ditingkatkan oleh pihak universitas setelah terjadi kecelakaan di Gunung Slamet pada tahun 2001. Kecelakaan yang menimbulkan lima korban jiwa anggota Mapagama tersebut merupakan inisiatif dari peserta. âWalaupun bukan karena kelalaian tim, namun kecelakaan itu membuat pihak universitas memperketat peraturan,â tutupnya. [Cintya Faliana, Sandy Maulana Yusuf]