
©Citra/BAL
Pembubaran aksi “Tutup Freeport dan Berikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua Barat” berlanjut dengan konferensi pers dan konsolidasi pro-demokrasi, pada Senin (10-04). Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) selaku massa aksi. Berlokasi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mereka mengonsolidasikan tuntutan terkait Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) dan memaparkan berbagai tindakan represif yang pernah mereka alami.
Abidu, salah satu anggota AMP, menjelaskan latar belakang lahirnya tuntutan mengenai HMNS. Menurutnya, tuntutan tersebut berangkat dari kondisi masyarakat Papua Barat yang sering mendapat tekanan sejak peristiwa aneksasi pada tahun 1963. Ia juga menambahkan bahwa sejak saat itu hak berpolitik dan berbudaya masyarakat Papua selalu dibatasi.
Selain itu, Abidu mengatakan bahwa ketika masyarakat Papua Barat melakukan demonstrasi terhadap pembangunan proyek pengembangan nasional, pemerintah justru menempatkan satuan militer di sana. “Dengan dalil pembangunan proyek nasional, tanah-tanah masyarakat daerah digunakan seenaknya,” ucap Abidu.
Gove, selaku perwakilan dari FRI WP, turut menjelaskan bahwa ketika tuntutan mengenai HMNS tersebut dibawa dalam aksi maka biasanya mereka akan mendapatkan represi. Menurutnya, represi tersebut berangkat dari pandangan kepolisian dan beberapa organisasi masyarakat yang menganggap aksi sebagai makar. “Aksi kami bukan makar, sebab kami memandang HMNS sebagai jalan demokratis agar rakyat Papua Barat berkesempatan untuk menentukan nasib mereka sendiri,” ujarnya.
Gove juga menjelaskan bahwa aparat kepolisian kerap menggunakan alasan mengenai legalitas aksi sebagai legitimasi tindakan represifnya. Seperti kasus pembubaran aksi pada Jumat (07-04) lalu, Gove mengatakan bahwa polisi menuduh mereka tidak melakukan pemberitahuan aksi.
Selain represi, intimidasi juga dirasakan oleh anggota AMP dalam kehidupan sehari-hari. Abidu mengatakan bahwa beberapa mahasiswa Papua pernah diikuti oleh orang tak dikenal yang membawa senjata tajam. Kejadian tersebut terjadi di sekitar Asrama Mahasiswa Papua yang terletak di daerah Kamasan. Menurutnya, kejadian itu cukup membuat penghuni asrama lainnya merasa terancam saat keluar di malam hari.
Emanuel Gobay, selaku perwakilan LBH Yogyakarta, mengatakan bahwa aksi FRI WP dan AMP sudah memenuhi prosedur yang berlaku. Lelaki yang akrab dengan sapaan Edo ini menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat di muka umum telah diatur dalam konstitusi. Edo mengatakan bahwa dalam konstitusi tersebut massa aksi cukup melakukan pemberitahuan kepada kepolisian wilayah setempat, bukan mengurus perizinan. “Karena tertanggal 5 April 2017 kami telah mendapatkan surat tanda bukti pemberitahuan, maka pada prinsipnya aksi damai FRI WP dan AMP sudah legal,” ujarnya.
Meski sering mendapat represi dan intimidasi dari berbagai pihak, FRI WP dan AMP tetap teguh untuk terus melakukan aksi hingga tuntutan mereka ditindaklanjuti. Berangkat dari seringnya tindakan represif yang dialaminya selama ini, Gove mengajak masyarakat khususnya pers dan khalayak umum untuk mendukung perjuangan mereka. “Perjuangan kami bukan hanya untuk Papua, tetapi juga atas nama ruang demokrasi yang selama ini telah berusaha dibungkam,” pungkasnya. [Citra Maudy, Maria Hana]