“Lemah ilang petani raiso mangan, lemah ilang kowe yo raiso mangan”. Begitu cuplikan dari lirik lagu yang dinyanyikan dalam acara demonstrasi di Taman Boulevard UGM, Kamis (30-03). Acara tersebut merupakan aksi “Tahlil dan Doa Lintas Iman untuk Almarhum Yu Patmi dan Para Pejuang Kendeng” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jogja Tolak Pabrik Semen. Aliansi tersebut merupakan gabungan dari seniman, aktivis, dan organisasi masyarakat. Mereka bermaksud mendoakan sembilan hari meninggalnya Patmi, salah satu pejuang Kendeng yang mengikuti aksi penyemenan kaki di Jakarta. Mereka juga berusaha menunjukkan dukungan mereka terhadap gerakan penolakan warga Pegunungan Kendeng atas pendirian pabrik tambang milik PT. Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
Ahmad Fatin, koordinator umum aksi tersebut mengatakan bahwa sebelumnya mereka telah melakukan tahlilan selama tujuh hari. Fatin menambahkan bahwa setelah kegiatan tahlilan tersebut, mereka mengadakan diskusi soal perkembangan isu pembangunan pabrik semen di Rembang dengan berbagai narasumber. Ia juga menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan lanjutan dari “Aksi Solidaritas Kendeng di Yogyakarta” dan “Aksi tolak kehadiran Ganjar” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dari diskusi dan aksi-aksi tersebut, Fatin mengatakan bahwa mereka telah menemukan banyak alasan dalam bentuk kajian untuk mendukung penolakan pendirian pabrik di Rembang. “Oleh sebab itu, isu ini memerlukan kepedulian dari masyarakat luas sehingga bisa mendapat tindak lanjut dari pemerintah provinsi (Pemprov) dan pusat,” jelas Fatin.
Toleriansyah, personel kelompok musik “Kepal SPI”, sepakat bahwa isu pembangunan pabrik di Rembang perlu mendapat kepedulian dari masyarakat luas. Menurutnya, dampak jangka panjang pabrik semen tidak hanya dirasakan oleh warga Rembang saja, melainkan juga masyarakat yang tinggal di sepanjang Pegunungan Kendeng. Oleh karena itu, Tole berpandangan bahwa isu ini membutuhkan pengawalan bersama untuk mengurangi potensi pemerintah dalam memberlakukan kebijakan pembangunan yang tidak adil lagi ke depannya.
Selain Tole, Jay Akhmad, selaku anggota Gusdurian Jogja, menegaskan bahwa isu agraria bukan hanya permasalahan warga Kendeng saja. Menurut Jay, urgensi pengawalan isu ini tidak hanya sebagai kritik terhadap Pemprov Jawa Tengah saja, tetapi juga Pemprov Yogyakarta. “Aksi hari ini juga merupakan bentuk kritik untuk Jogja yang sama-sama memiliki konflik agraria,” ujarnya.
Semangat pengawalan isu juga berusaha digaungkan oleh Romo Robertus In Nugroho Budisantosa. Melalui orasinya, In Nugroho mengatakan bahwa masalah ini bukan hanya berkaitan dengan isu agraria saja, tetapi juga kemanusiaan. Menurutnya, peristiwa meninggalnya Patmi merupakan salah satu wujud perjuangan seseorang terhadap kehidupan hingga akhirnya ia kehilangan apa yang ia perjuangkan selama ini. “Untuk kemanusiaan yang berusaha kita hadirkan kembali di Indonesia, merdeka! Semoga kemerdekaan muncul dari hati kita masing-masing,” ujarnya dengan lantang sambil mengepalkan tangan.
Mempertimbangkan beberapa hal serupa, Fatin kembali menegaskan bahwa isu pembangunan pabrik di Rembang ini mendesak untuk mendapat perhatian dari masyarakat luas. Fatin menuturkan bahwa setelah diskusi dan aksi yang mereka lakukan, masyarakat mulai menunjukkan bentuk kepedulian mereka terhadap isu ini. Pandangan tersebut muncul berdasarkan pengamatannya terhadap peningkatan jumlah peserta di setiap aksi yang mereka lakukan. Ia juga menambahkan, ketika aliansi sudah terbentuk sebenarnya masih ada beberapa organisasi yang ingin bergabung. “Melihat antusias dari teman-teman, kami berharap bahwa kesatuan suara yang besar ini akan membuat Presiden dan Ganjar akhirnya sadar untuk mencabut izin,” ujarnya. [Citra Maudy]