Rintik hujan pada Sabtu (25-3) malam tidak menghalangi sebuah antrian panjang di samping sebuah rumah tepatnya di Jalan Janturan UH IV/36, Yogyakarta. Sebuah papan bertuliskan ‘Gudeg Pawon. Buka jam 22.00 WIB’ tergantung di depan rumah bercat kuning tersebut. Jika diperhatikan lebih detail, antrian itu mengarah ke sebuah pintu dapur yang terbuka di samping rumah. Dalam dapur tersebut, beberapa porsi nasi gudeg sedang disiapkan untuk mengisi perut para pembeli.
Dapur yang berukuran kira-kira 4 x 6 meter itu terasa hangat oleh bara api yang masih menyala di tungku-tungku. Di atas tungku batu ada sebuah wajan besar untuk memanaskan opor telur. Di sebelahnya, sebuah besek (wadah dari bambu) untuk memanaskan gudeg diletakkan di atas tungku tanah liat. Sementara itu, dua sisi dinding dapur berwarna kehitaman akibat panas yang dihasilkan bara api di tungku. Di sebuah sudut, persediaan bahan masakan serta besek diletakkan di atas bangku kayu.
Di dalam dapur tersebut pula, seorang pria dengan rambut mulai memutih terlihat sibuk memindahkan nasi ke piring-piring. Ia adalah Sumarwanto, pemilik sekaligus pengelola Gudeg Pawon. Bersama dengan istri dan adiknya, mereka melayani para pengunjung yang rela mengantri demi mendapat seporsi nasi gudeg. Mereka dengan cekatan memindahkan gudeg, sambal krecek (kulit sapi), telur, serta potongan ayam dari panci ke piring-piring.
Sumarwanto adalah generasi kedua pengelola Gudeg Pawon yang dirintis oleh ibunya pada tahun 1958. Awalnya, ibu dari Sumarwanto yaitu Prapto Widarso berjualan di pasar Sentul mulai pukul tiga pagi. Di pasar, banyak orang membeli gudegnya hingga lama kelamaan mereka datang langsung ke rumah. Akhirnya, sejak tahun 2000, Prapto Widarso tidak lagi berjualan di pasar. Sebagai gantinya, ia membuka dapur rumahnya sebagai tempat berjualan gudeg. “Karena sedari dulu memang di dapur, maka oleh pengunjung diberi nama Gudeg Pawon (dapur),” ujar Sumarwanto.
Konsep penyajian di Gudeg Pawon yang berbeda dari rumah makan gudeg lain membuat para pembeli tertarik untuk datang ke sini. “Saya tahu tempat ini dari acara kuliner di televisi, kemudian saya penasaran,” tutur Yeni, seorang pembeli asal Semarang. Berbeda dengan rumah makan biasa, di Gudeg Pawon pembeli harus rela mengantri untuk mendapat satu porsi gudeg. Namun, para pembeli tidak mengambil gudeg sendiri dari panci, melainkan diambilkan oleh anggota keluarga Sumarwanto. Praktisnya, pembeli hanya perlu menyebutkan berapa jumlah porsi gudeg yang diinginkan, memilih lauk, kemudian langsung membayar.
Sumarwanto memilih bertahan dengan konsep penyajian ini untuk menjaga tradisi sejak dulu saat ibunya berjualan. Selain itu, dengan konsep pembeli boleh masuk ke dapur kemudian mengambil pesanan sendiri seperti memberikan makna kekeluargaan. Sembari menunggu gudeg disiapkan, pembeli dapat berbincang dengan penjual atau pembeli lain saat sedang mengantri. “Saya jadi bisa mengenal pembeli yang lain,” ujar Imam Nazhari, seorang pembeli yang tinggal di Yogyakarta.
Setelah mendapat gudeg yang dipesan, pembeli dapat memilih untuk membawa gudeg pulang atau dimakan di tempat. Apabila ingin makan di tempat, terdapat satu meja di dalam dapur serta dua meja di samping rumah. Beberapa kursi plastik tambahan juga disediakan supaya mencukupi jumlah pembeli. Jika ingin lesehan, pembeli dapat menikmati gudeg di teras dan halaman rumah tetangga.
Satu porsi nasi gudeg yang dijual terdiri dari nasi, gori (nangka muda) yang dimasak dengan gula merah, sambal krecek , serta opor ayam atau telur. Tak lupa cabai rawit apabila pembeli menginginkan rasa menjadi lebih pedas. Masalah rasa, di Gudeg Pawon lebih gurih, sehingga cukup berbeda dengan gudeg biasanya yang cenderung lebih manis. “Rasa gudegnya tidak terlalu manis jadi enak di lidah,” ujar Yeni.
Keunikan lain Gudeg Pawon adalah proses pengolahannya yang masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan tungku kayu bakar. Sumarwanto mengaku belum pernah mencoba untuk memasak gudeg selain menggunakan tungku kayu bakar. Baginya, ketika dimasak menggunakan alat selain tungku kayu bakar, maka rasa gudeg olahannya akan berbeda. Mengenai persediaan kayu bakar, itu sudah dikontrol oleh penyedia kayu bakar langganan Sumarwanto.
Cara memasak di Gudeg Pawon tak luput dari perhatian para pembeli. Beberapa dari mereka bahkan memiliki kesan tersendiri terhadap cara memasak gudeg ini. Menurut Yeni, pengolahan gudeg di Gudeg Pawon ternyata berpengaruh pada kualitasnya. Rasa yang didapat akan lebih sedap apabila gudeg dimasak menggunakan tungku kayu bakar. “Lebih segar, karena hanya sekali masak untuk hari itu saja, kemudian habis,” ungkapnya.
Di samping itu, waktu berjualan menjadi faktor lain yang membuat Gudeg Pawon populer. Malam hari adalah waktu yang dipilih Sumarwanto. Alasannya sederhana, karena dulu ibunya berjualan mulai pukul tiga pagi, maka sekarang dimajukan menjadi malam hari. Selain itu, Sumarwanto juga ingin menghormati kenyamanan warga sekitar. “Jika Gudeg Pawon dibuka pagi hari, dan pembeli menumpang parkir di jalan kampung, akan mengganggu,” ungkap Sumarwanto.
Konsep yang ditawarkan Gudeg Pawon dalam menjajakan kuliner khas Yogyakarta ini memang sudah sangat populer. Selama ini, banyak media elektronik tingkat nasional maupun lokal yang berkunjung untuk melihat langsung keunikan dari Gudeg Pawon ini. “Hampir semua stasiun televisi pernah ke sini untuk meliput, mahasiswa juga banyak (yang meliput),” ujar Sumarwanto. Tak hanya media, beberapa pejabat seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun pernah mencicipi gudeg dan merasakan suasana di Gudeg Pawon.
Warga yang tinggal di sekitar Gudeg Pawon pun menanggapi keberadaan Gudeg Pawon dengan positif. Bagi mereka, sejak Gudeg Pawon berpindah tempat berjualan, kampung mereka menjadi lebih ramai. Bahkan beberapa warga bisa mendapat penghasilan tambahan dengan membantu berjualan minuman serta menjaga parkir. “Ya lumayan untuk mereka membeli rokok,” ujar Sumarwanto sambil tersenyum. [Kalyca Krisandini]