[blockquote align=”none” author=”Wiji Thukul”]Tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang![/blockquote]
“Setiap orang butuh tanah,” begitu tulis Wiji Thukul dalam puisinya berjudul “Tentang Sebuah Gerakan”. Wiji Thukul, aktivis yang dihilangkan oleh Orde Baru dengan tegas menyatakan kebutuhan rakyat terhadap tanah. Tak terkecuali bagi warga di sekitar Parangkusumo dan Cemoro Sewu. Rabu, 14 Desember 2016, Pemerintah Kabupaten Bantul mengerahkan Satuan Pamong Praja Bantul lengkap dengan alat berat untuk menggusur warga di sekitar Parangkusumo dan Cemoro Sewu. Sekitar 53 jiwa tergusur dari rumahnya. Warga tergusur diklaim telah menempati Zona Inti Restorasi Gumuk Pasir yang konon hanya ada dua di dunia.
Penggusuran tersebut disetujui oleh Prof. Dr. Sunarto, M.S, Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurutnya, bangunan warga telah menutup laju angin menuju kawasan gumuk pasir. Laju angin tersebut, bagi Sunarto penting, karena tanpa adanya laju angin, gumuk pasir akan lenyap. “Kalau mereka pokoknya tetap tinggal, saya juga pokoknya bongkar,” jelas Sunarto.
Lagipula, apabila Restorasi Gumuk Pasir telah berakhir, Sunarto menegaskan rakyat di sekitar juga akan mendapatkan keuntungan. Hal itu disebabkan, daerah Gumuk Pasir akan menjadi destinasi wisata sand boarding. Destinasi tersebut akan mengangkat Pendapatan Asli Daerah sektor jasa dan pariwisata. Menurutnya, masyarakat bisa berjualan oleh-oleh, ataupun berjualan di gazebo yang akan disediakan swasta dengan sistem sewa. “Silakan investor datang, nanti bikin gazebo dan mengelola wisatanya,” lanjut Sunarto.
Sugiarto, anggota Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menyatakan secara tidak langsung, restorasi Gumuk Pasir di Parangkusumo merupakan salah satu konsekuensi dari pembangunan bandara di Kulon Progo. Bandara yang akan dikenal sebagai New Yogyakarta International Airport (NYIA) dibangun di Dusun Jangkaran, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Sekitar 634,5 hektar lahan produktif dikorbankan guna pembangunan bandara. NYIA diharapkan mampu menggantikan Bandara Adi Sucipto, sehingga dapat mengakomodasi wisatawan asing yang datang ke Yogyakarta.
Selain itu, pembangunan NYIA, bagi Anthonius Tony Prasetiantono, Ph.D, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, menimbulkan trickle down effects. Ia memaparkan bahwa, trickle down effects merupakan efek tetesan ke bawah dari kegiatan investasi bagi masyarakat. Contohnya, pembangunan hotel, toko oleh-oleh, serta usaha lainnya dari investor swasta. Akibatnya, pekerjaan masyarakat akan berganti dari sektor agraris menjadi sektor jasa.
Sugiarto juga mengungkapkan ternyata,dibalik penggusuran di Parangkusumo dan Kulon Progo, pemerintah Yogyakarta menggunakan klaim atas Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG). Klaim tersebut menyatakan kepemilikan tanah tidak berada di masyarakat, akan tetapi berada pada Kasultanan Yogyakarta. Sehingga, dari klaim tersebut, rakyat tidak memiliki hak milik tanah. Dengan demikian, Anthonius menerangkan Kasultanan bisa mengklaim tanah tersebut sewaktu-waktu.
Sebelumnya, Sugiarto menceritakan klaim atas SG dan PAG pernah tidak berlaku. Diktum IV Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960, menyebutkan secara eksplisit bahwa tanah SG/PAG dan bekas tanah SG/PAG akan dihapus dan kembali menjadi tanah negara setelah UUPA disahkan. Kemudian, peraturan itu dikukuhkan pada tahun 1984, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 33/1984 tentang pemberlakuan UUPA sepenuhnya di DIY. “Dengan berlakunya keputusan tersebut, klaim SG dan PAG resmi tidak berlaku,” lanjutnya.
Namun, pada tahun 2012 dengan dalih desentralisasi, Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) yang melegitimasi kembali SG dan PAG. Menurut Sugiarto, UUK merupakan produk untuk melakukan perampasan tanah secara legal oleh pemerintah melalui klaim SG dan PAG. Senada dengan Sugiarto, Wawan Mas’udi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM menuturkan UUK tumpang tindih dengan UUPA. “UUK Yogyakarta memberikan kekuasaan penuh dan mengatur semuanya, termasuk tanah, yang seharusnya dibatasi oleh UUPA,” ungkapnya.
Menurut Wawan, Kasultanan seolah-olah mengkonsolidasikan kembali untuk meraih penguasaan secara total atas wilayah tanah yang diklaim sebagai SG sebelumnya. Ia mengisahkan, berbeda dengan Hamengkubuwono (HB) IX, yang mencoba untuk membangun pengakuan dengan pendistribusian tanah apapun kepada rakyat, meskipun bukan hak milik. Sebaliknya, HB X berusaha menegaskan kembali penguasaannya terhadap tanah sepenuhnya di Yogyakarta.
Wawan menengarai adanya konsolidasi kekuasaan politik ditingkat lokal dan tingkat nasional dalam pembangunan NYIA. Dampaknya, tanah yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat malah dirampas. “Ketika Pemerintah Nasional dan Pemerintah Daerah Yogyakarta sudah menyetujui pembangunan bandara, maka posisi masyarakat menjadi tidak berdaya,” terangnya. Pada titik paling ekstrim, menurutnya semua kekuasaan yang harusnya mewakili rakyat sepakat untuk melawan rakyat. Dengan kata lain, tertutupnya saluran aspirasi formal rakyat sejak dari tingkat daerah.
Selain klaim atas SG dan PAG, menurut Anthonius terdapat pula titik lemah proses pembangunan NYIA dalam mengeluarkan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang menetapkan Kulon Progo sebagai lahan bandara dikeluarkan sebelum AMDAL dibuat. Padahal, Seharusnya AMDAL beserta izin lingkungan dibuat sebelum IPL dikeluarkan.[i]
Setelah keluarpun, AMDAL dianggap tidak memuaskan oleh masyarakat. AMDAL menyatakan bahwa daerah Temon dinilai tepat untuk dibangun bandara, karena daerah tersebut diklaim tidak produktif. Akan tetapi, daerah tersebut merupakan lahan produktif. Menurut Sugiarto, sebagai contoh, dalam satu bulan memanen cabai sebanyak lima kepek, sehingga penghasilan minimal sebesar 30 juta.
Mengamini Sugiarto, jika pembangunan bandara tetap dilanjutkan, menurut data dari Jogja Darurat Agraria, sekitar 30 ton per hektar per tahun komoditas cabai akan hilang. Sekitar 4000 pekerja di komoditas cabai akan kehilangan mata pencaharian. Selain komoditas cabai, sebesar 90 ton semangka per hektar per tahun akan hilang. Selain dari komoditas cabai dan semangka, Kulon Progo menjadi sektor yang memasok komoditas melon, gambas, dan terong untuk pasar lokal di Indonesia.
Penggusuran tersebut sebenarnya juga disayangkan oleh Anthonius. “Perlu diakui memang suatu hal yang merugikan, lahan yang tadinya hijau, lalu digusur,” terang Anthonius. Akan tetapi, bagi Anthonius penggusuran tersebut merupakan harga yang harus dibayar demi perputaran modal di Yogyakarta.
Sebaliknya, pengamat ekonomi kerakyatan UGM, Revrisond Baswir menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pembangunan yang berorientasi pada pandangan trickle down effects seperti yang diungkapkan Anthonius. Revrisond menyatakan pembangunan di Indonesia bias ke sektor urban, padahal pertanian adalah kuncinya.[ii] “Pemerintah harus mengedepankan pembangunan sektor pertanian untuk mendorong industri, bukan sebaliknya,” ungkapnya.
Senada dengan Revrisond, Sugiarto menyatakan ketidaksetujuannya jika lahan pertanian dikorbankan. Masyarakat Kulon Progo, terutama yang tinggal di Kecamatan Temon secara ekonomi menyandarkan hidupnya melalui lahan pertanian. “Jika lahan dikorbankan, petani akan kehilangan mata pencahariannya,” terang Sugiarto. Ia melanjutkan bahwa, transisi pekerjaan masyarakat juga susah untuk dilakukan. Karena, menurutnya masyarakat Temon sudah turun temurun hidup dan mencari nafkah sebagai seorang petani. [Luthfian Haekal, Rizky Amalia, Thovan Sugandi]
[i] Lihat di Tirto.id “Bertahan di Antara Patok-Patok Angkasa Pura”, https://tirto.id/bertahan-di-antara-patok-patok-angkasa-pura-bZHF
[ii] Lihat di Media Indonesia “Pembangunan Salah Arah”, http://ftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2010-09-17/mediaindonesia_2010-09-17_013.pdf